Mamat Metro

Mamat Metro

Kutil Marini

Cerita Pendek:: Zaenal Radar T.

Sumber:  
- Majalah KaWanku, No. 09/XXXIII, 25-31 Agustus 2003
- Buku Kantin Love Story, (LPPH, 2004)


 
foto: Audy Marissa_Harian Indo

Marini punya kutil di telapak tangan kirinya.  Mulanya satu buah.  Tapi sekarang udah bertambah jadi tiga buah. Yang satu sebesar pentul korek, dan duanya lagi sedikit lebih kecil. Sebel deh rasanya Marini, tangan halusnya mesti ditumbuhi kutil. Marini ingin mengadukannya pada papi-mami, tapi Marini takut.  Marini takut dirinya dibawa ke rumah sakit, lantas dioperasi!  Dioperasi!!?  Hiyy...!  Marini jadi merinding!

Pikir Marini, yang namanya operasi, pasti kulit kita dibelek pake pisau yang sangat tajam.  Cres! Cress! Wadow, bulu kuduk Marini berdiri membayangkannya!  Marini ogah dioperasi!  Biar aja deh tuh kutil tumbuh, yang penting nggak dioperasi!  Lagian, kutil itu nggak terlalu mengganggu.  Sebab, tangan kiri kan nggak dipake buat salaman. Kecuali kalo buang hajat (aeh... jorooook), baru deh pake yang kiri.  Dan rasain! Kutil itu dipake buat cebok!  Siapa suruh tumbuh di situ!?

“Kutil apaan sih, kak?!” tanya Rhino, adiknya yang kelas lima SD.
“Ini nih, yang namanya kutil!” ucap Marini, sambil nunjukin kutil ditelapak tangan kirinya.
“Idiih! Kok, kayak jerawat mama!”
“Husy! Awas, jangan bilang-bilang papa-mama, ya!” ancam Marini.
“Oke deh, kak! Tapi janji ya, Rhino diajak nonton bioskop lagi!”
“Iya deh, kalo ada film anak-anak lagi!”
“Janji ya, kak!”
“Kutil! Eh... kutil!!” Marini tersandung, dan teriak-teriak menyebut kutilnya sendiri.
“Ih, cerewet!” maki Marini kemudian.

Rhino senyam-senyum sambil melirik kutil kakaknya. Namun begitu, meski merahasiakan pada papa dan mamanya, suatu sore Marini menceritakan kutilnya pada Sandra.  Meski ketiga kutil itu nggak terasa sakit, Marini bermaksud mengenyahkannya!

“Operasi itu nggak sakit, monyong!” Sandra memberi jalan keluar, ketika Marini memperlihatkan kutilnya yang imut itu.
“Yang lain aja deh, asal nggak operasi!”
“Habis mau diapain?  Berobat alternatif, maksud lu? “
“Apa tuh, berobat alternatif?”
“Berobat alternatif itu berobat secara tradisional. Biasanya sama orang pintar atau semacam tabib.”
“Nggak dioperasi, dong!”
“Nggak, lah!  Nantinya kutil elu di usap-usap, disembur... ffuih...! Langsung deh!”
“Hilang?!”
“Nambah!  Huahaha...!”  Sandra tertawa-tawa, sampai tubuhnya yang gembrot berguncang-guncang.
“Eh, buldog! Gue serius nih! Kok, malah becanda!”
“Udah deh, nanti kita tanya ke Salman aja!”
“Salman!?  Nggak deh, nggak!  Gila kali lu, yah!  Salman nggak boleh tau masalah ini. Gue nggak mau kutil ini diketahui Salman!”
“Bokap Salman kan dokter!  Ntar lu bisa konsultasi sama bokapnya dia!”
“Ogah ah, buldog!  Mending gue rawat aja, daripada dioperasi!”
“Dasar monyong! Kutil kok, dipelihara!?”
“Monyong! Aeh, monyong!” Marini tersandung, ketika hendak meninggalkan Sandra.  Sandra terkekeh-kekeh sambil megangin perutnya.
“Ya udah, gue mau berobat alternatif aja!  Nanti lu anter gue. Awas ya, kalo bilang-bilang Salman.  Gue robek mulut lu!”

Marini meninggalkan Sandra yang udah rebahan di kasur empuknya. Sandra, yang masih saudara sepupunya itu, dibiarkan bersenang-senang mentertawai kutilnya.

***
Seminggu kemudian Marini mendatangi Sandra pas bubaran sekolah.  Sesuai kesepakatan lewat telpon semalam, siang ini mereka mencari tempat pengobatan alternatif, guna memusnahkan kutil terkutuk itu! Yeah, mereka sepakat untuk mengenyahkan kutil Marini dari muka bumi ini! (Huehe, seru juga yah!)
O’ya, beberapa hari lalu Sandra mendapat secarik kertas, berupa selebaran, tentang pengobatan alternatif. Selebaran itu ia dapat dari perempatan jalan, saat mengantar maminya ke pasar. Seseorang menyebarkan selebaran berupa secarik kertas itu kepada mobil-mobil yang melintas. Dalam selebaran itu tertera alamat lengkap si ahli pengobatan alternatif.  Sederet nama-nama penyakit yang bisa diobati tertera di sana, kecuali kutil. Ahli alternatif itu bernama Tabib Markum.

“Kok, kutil nggak ada?” selidik Marini, setelah membaca isi selebaran itu.
“Bacanya teliti, dong! Nih, lu liet! Jantung, kencing manis, asam urat, ginjal, kanker ganas, kanker  rahim, batuk menahun, tumor jinak, tumor ganas...!”
“Apa hubungannya sama kutil!?” potong Marini.
“Uh, monyong, monyong! Tumor ganas aja bisa do’i tangani, apalagi kutil?!”
Marini berfikir sebentar, lalu manggut-manggut.
“Pinter juga lu buldog!”
“Jangan panggil gue buldog, dong!” kali ini Sandra protes di panggil buldog.
“Habis, gue kan nggak monyong, kok dipanggil monyong?!”
“Ya udah, gimana kalo gue panggil kutil?  Si kutil? Hehe, si ku-til! Keren juga!”
“Gembrot, gembrot! Si Gem-brot!”
“Stop! Stop!  Kita damai aja!  Lu jangan panggil gue buldog atau gembrot, dan gue janji nggak manggil elu monyong atau si Kutil! Oke, nyong? Aeh... hehe, ee... gimana Marini manis?” cerocos Sandra, sambil menepuk pundak Marini.
“Buldog! Aeh... buldog! Gembrot! Aeh... gembrot! Aduuh... gimana dong!”
“Weleh-weleh, abad dua puluh udah lewat kok masih latah aja, non!”
“Elu sih, pake ngagetin gitu?”
“Sori, sori! Nah, sekarang gimana dong, setuju nggak?”
“Setuju bul..., hehe, Sandra yang imut!”
“Kok, sandra yang imut sih? Emang gue imut?”
“Habis apa, dong?!  Mau yang sebenarnya... Sandra yang...”
“Stop! Stop! Gue setuju, Sandra yang imut!”
“Sandra yang imut, kita berangkat sekarang!”
“Nah, gitu doong!”
***
Ketika mereka ke luar rumah, Salman udah nunggu di pintu gerbang.  Marini kaget, karena sebelumnya Salman nggak pernah janji mau menjemputnya. Maka, dengan berat hati, ia mengusir cowok cakep itu jauh-jauh.

“Wadoh, hebat amat nih kutil! Sampe si Salman aja mesti diusir jauh-jauh!” maki Sandra, pada si kutil, eh... Marini.
“Habis gimana dong, buldog! Daripada dia tahu, kan lebih baik dihindari!”
“Mulai lagi deh!”
“Aeh, Sandra imut! Maaf.. maaf.”
“Gitu dong!  So... sekarang gimana, Salman udah kita usir. Semua angkutan di rumah ini lagi nggak ada.  Waduh,  kita naik angkot doong!”
“Emangnya kalo naik angkot kenapa? Takut diomelin sopir lagi, yah?  Makanya, kempesin tuh badan, biar langsing kayak gue!”
“Kok, jadi nyerempet ke soal yang lainnya sih? Biar deh, ntar gue sekalian nanya sama ahli pengobatan alternatif, gimana supaya badan gue nggak gembrot begini.  Tapi, meski gue gembrot, yang penting nggak kutilan kayak elu, kan?”
“Biar kutil kan, gue nggak gembrot!”
“Buat apa langsing, cantik, tapi punya kutil?  Huahaha!”
“Buldooooggg!”
“MONYOOONG! KUTILLLL!”
“Kok...?”
“Makanya, berhenti panggil gue Buldog!”
“Gue kan latah?”
“Nanti sekalian kita tanya sama ahli penghobatan alternatif itu!”
 “Hehe, gembrot, kutil, latah... banyak juga ya!”
“Taelaaa, baru tiga jenis! Penyakit kronis dan komplikasi aja dia sanggup tangani!”
***
Ternyata nggak terlalu susah menemukan tempat ahli pengobatan alternatif itu.  Dengan bantuan selebaran, setelah empat kali naik angkot, alamat Tabib Markum berhasil mereka temukan!

“Kok, sepi?” tanya Sandra terheran-heran, sambil melap peluh.
“Iya, ya.  Apa kita salah alamat?  Ahli pengobatan bermacam-macam jenis penyakit kok bisa sepi begini?”
“Eh, nggak bakalan salah, San!  Tuh, papan namanya ada!”

Beberapa saat kemudian seorang lelaki setengah baya keluar dari pintu yang dindingnya ditempeli papan nama itu.  Lelaki setengah baya itu bertubuh tambun, bercambang panjang, dan tumbuh bulu jenggot jarang-jarang.   Kepalanya sedikit botak, yang segera ia tutupi dengan peci lusuh berwarna putih.
“Assalamu’alaikum, Pak Haji!” ucap Sandra.
“Wa’alaikum salam... maaf ya dik, jangan panggil saya haji! Panggil Pak Tabib Markum aja.  Saya memang pakai peci putih, tapi belom pernah naik haji! Heheh.  Mau berobat kan? Heheh... Sudah banyak lho, yang berobat ke sini dan nggak balik-balik lagi! Heheh, mungkin karena langsung sembuh! Heheh, Tabib Markum mah udah terkenal mujarab!  Semua orang udah tau itu! Heheh!  Silakan masuk. Heheh!”
“Terimakasih, pak tabib!”

Sandra dan Marini, dengan ragu-ragu,  masuk ke dalam rumah pak tabib. Mereka langsung ke sebuah  ruangan pengobatan.  Ketika duduk, pak tabib ceramah dulu, sebelum menanyai penyakitnya .
“Ya, silakan duduk. Heheh. Berobat di sini pasti manjur. Untuk pengobatan di sini, saya menggunakan sistem pijat refleksi. Selain itu, dibantu dengan ramuan dan jamu buatan saya sendiri! Heheh... Tapi, saya sarankan, kalo berobat jangan sekali. Kalo merasa tidak sembuh, segera balik lagi! Heheh... Biasanya, satu bungkus jamu seharga dua puluh lima ribu. Dan itu, jamu untuk penyakit apa pun! Heheh... Pernah sih, orang kanker ganas berobat ke bapak.  Setelah itu, langsung nggak pernah kembali! Pernah juga orang kena stroke berobat ke sini.  Sekali datang, langsung nggak pernah berobat lagi!  Heheh, hebat nggak?!  Nah, sekarang  diperiksa dulu, apa penyakitnya! Non sebutin deh penyakit yang diderita? Heheh...”

“Maaf pak Tabib, eee... temen saya ini menderita sebuah penyakit...”
“Heheh... saya tahu itu! Heheh... ayo sebut saja, jangan malu-malu!  Sudah banyak kok, yang berobat ke saya! Heheh...!”
“Ini pak... saya... punya penyakit yang sangat memalukan...”
“Heheh... tenang! Tenang! Semua penyakit bisa disembuhkan.  Tak ada penyakit di dunia ini yang tidak bisa bapak sembuhkan! Heheh...!  Nama penyakitnya apa?!”
“Kutil, pak!”
“Apa?!”
“Kutil! Kutil, pak.  Nih, seperti ini!” Marini menunjukkan kutil itu.
“Oooh, kutil! Heheh. Bapak juga punya!  Yang seperti ini, kan!?” pak tabib mengangkat lengan bajunya, menunjukkan kutil-kutil yang bersarang di tangannya.
“Bukan cuma di sini!  Di sini juga ada!” kembali, pak tabib menunjukkan kutil yang bersarang di telapak kakinya!
“Bisa hilang nggak, pak?”
“Wah, gampang! Coba, bapak periksa dulu!”
Pak Tabib memeriksa kutil Marini.  Lalu menyemburnya, sambil membacakan mantra-mantra. Setelah selesai, pak tabib memberikan jamu-jamu ramuannya.
***
Minggu berikutnya, Marini sudah berada di rumah sakit.  Dengan operasi kecil, kutil-kutil Marini dibabat sampai keakar-akarnya!
“Coba kalo dari dulu dioperasi!  Kan udah ilang dari dulu!” ucap Salman, menasehati Marini.
“Habis, gue kan cuma menjalankan saran Sandra!”
“Kok, gue yang disalahin!” Sandra berang.
“Hehe, sori! Gue becanda! Semua ini emang salah gue.  Untung obat dari tabib gadungan itu nggak gue minum! Makasih ya, Man!  Kalo nggak ada elu, mungkin kutil  gue bisa tambah banyak!”
“Hehe, gue juga minta maaf. Terpengaruh sama selebaran asal itu. Kalo dipikir, tabib itu jadi kayak ‘semut di ujung lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tak tampak!’”
“Maksud lu apa, San?!” Salman keheranan.
“Maksudnya, seperti yang semalem gue ceritain ke elu!  Pak tabib yang mau ngobatin  Marini sendiri kutilan, bahkan kutilnya lebih banyak dari kutilnya Marini!”
Huahaha, semua tertawa. Mereka sampe lupa, kalo mereka tengah berada di ruangan sebuah rumah sakit. Hingga akhirnya, seorang suster menempelkan telunjuk dibibirnya, mengharapkan mereka tenang.***
  
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...