Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Erakini.Id - 4 Februari 2025
Terik matahari tidak membuat kendur dua peminta amal di pinggir jalan untuk pembangunan sebuah masjid. Bahkan saat cuaca berubah, saat hentakan angin menerbangkan kopiah si peminta amal dan rintik hujan mulai turun, tidak menyurutkan semangat mereka. Satu peminta amal berada di kiri, satu lagi di seberangnya.
Sehingga kendaraan yang melintas dari dua arah berlawanan bisa dengan mudah
memberikan amal mereka. Dengan diberi pengaman berupa tong besar di
tengah-tengah jalan, keduanya menjulurkan jala-jala guna meraih recehan dari
pengendara yang melintas. Tidak jarang, ada satu dua pelintas jalan yang
memberikan jumlah uang cukup lumayan.
“Syukron katsiron. Terima kasih kami ucapkan kepada bapak dan ibu sekalian. Terutama kepada pemilik sedan berwarna merah. Karena telah memberikan hartanya untuk pembangunan masjid Jami Al-Barkah. Selanjutnya, terima kasih juga kami haturkan kepada pengendara sepeda motor, semoga amal bapak dan ibu mendapat balasan surga. Aamiin aamiin ya Rabbal aalamiin...”
Suara ucapan terima kasih dari pengeras suara terus terdengar sepanjang
pagi, sepanjang siang, sepanjang sore, kecuali di malam hari. Karena malam
adalah waktu yang tepat untuk menghitung berapa jumlah uang yang dihasilkan
dari meminta amal di pinggir jalan itu.
Dengan menggunakan jala-jala atau semacam serokan, yang
selayaknya untuk menangkap ikan di empang, dua petugas peminta amal menerima
sejumlah uang, yang kemudian uang tersebut disatukan, ditaruh pada sebuah wadah
berupa ember, lalu dikumpulkan pada malam harinya. Petugas peminta amal itu
bergantian, seperti layaknya pegawai berganti shif kerja.
Kalau tidak ada ucapan terima kasih atau kata-kata penyemangat untuk
beramal, karena si petugas sedang berhalangan, maka diganti dengan suara alunan
sholawat atau pengajian. Kalau tidak keduanya, diperdengarkan rekaman ceramah
da’i kondang. Yang terpenting, dua wadah untuk menaruh uang tersedia dikedua
sisi pinggir jalan, dan memudahkan siapa saja untuk menyumbang.
Di malam hari, si pengumpul dan
penyimpan uang bukanlah para petugas peminta amal, tapi seseorang yang
menyebut sebagai ketua panitia pembangunan masjid, yakni Markum, sahabat
saya sejak kanak-kanak. Untuk menjadi ketua panitia pembangunan masjid itu, dia
tidak dipilih oleh jamaah atau warga sekitar masjid, tetapi menunjuk dirinya
sendiri sebagai ketua panitia, sekaligus sebagai sekertaris dan bendaharanya.
Saya sempat bertanya, apakah para
petugas peminta amal itu mendapatkan upah. Lalu Markum menjawab, mereka-mereka
yang bertugas meminta amal langsung kepada masyarakat itu diberikan imbalan
secukupnya, sekadar buat makan atau istilahnya ongkos jajan. Namun adapula yang
melakukannya dengan ikhlas, tidak mau dibayar. Karena berharap mendapatkan
pahala surga.
Saat saya bertanya lagi, untuk membangun sebuah masjid, apa tidak ada cara
lain selain meminta-minta amal di pinggir jalan? Dengan membuat proposal,
misalnya. Mendatangi muslim kaya raya, untuk dimintakan membuat rumah ibadah.
Markum menjawab, bahwa dia pernah melakukannya. Tapi tidak berhasil.
Menyebarkan kotak-kotak amal ke berbagai tempat juga sudah dia lakukan. Malahan
dia pernah dituduh sebagai penipu, karena si pemberi amal merasa uang kotak
amal itu tidak digunakan untuk kepentingan membuat masjid seperti yang tertera
dalam tulisan pada kotak amal tersebut.
Meminta amal di pinggir jalan untuk pembangunan sebuah masjid adalah
pilihan yang tepat. Karena terlihat jelas wujud masjid yang sedang dibangun,
ada aktivitas kuli bangunan yang sedang bekerja, sehingga si pemberi amal tak
perlu mencari bukti untuk apa si peminta amal di pinggir jalan itu meminta amal
dan sedekah. Sebab, sudah terlihat jelas masjid yang sedang dibangun, yang
tentu memerlukan dana tidak sedikit. Peminta amal di pinggir jalan tidak akan
dicurigai macam-macam. Karena jelas peruntukannya. Demikian penjelasan Markum,
sahabat saya.
Markum dan istrinya menempati sebuah rumah kontrakan sederhana, tidak jauh
dari masjid yang sedang dibangun. Markum memiliki istri dan dua anak yang sudah
beranjak remaja, masing-masing di sekolah menengah dan atas. Dia memiliki dua
sepeda motor. Satu untuk dirinya, satu untuk istrinya buat keperluan antar
jemput sekolah anak-anak.
Yang saya dengar, Markum dan
keluarganya akan pindah ke daerah lain, tapi dia urungkan mengingat katanya,
pembangunan masjid tempat dia meminta amal yang sekarang belum selesai
pengerjaanya. Lantai satu sudah rapih, lantai dua sedang proses finishing.
Kubah juga baru saja rampung dipasang. Pekerjaan selanjutnya adalah pengecatan.
Setelah pembangunan masjid dianggap selesai, dan pemasukan untuk amal
dianggap telah memenuhi target, Markum ada akal. Dia mengatakan kepada saya,
akan merenovasi masjid menjadi tiga lantai! Kata saya, apa untungnya? Apakah
karena masjid yang kamu bangun tidak muat menampung jamaah? Sambil tersenyum
masygul, Markum menjawab bahwa dia ingin kegiatan meminta amal terus berlanjut,
sehingga roda kehidupan akan berputar sebagai mana mestinya.
Sebentar, sebentar. Saya belum
mengerti apa maksud ucapan Markum. Saya berusaha mencernanya, agar sedapat
mungkin bisa memahaminya. Maka Markum pun bercerita, bagaimana dia mengelola
amal itu. Dan hal yang membuat saya tercengang, bahwa Markum dan kelurganya
mencari makan dari penghasilan meminta amal dari pinggir jalan itu, yang
besarnya tidak sedikit.
Saya yang tidak terlalu paham agama berusaha meminta penjelasan, apakah
dibolehkan mengambil bagian amal yang sesungguhnya diperuntukkan untuk
pembanganunan masjid itu? Markum menjawab, yang terpenting ada bukti otentik
sebuah masjid berdiri, dan khalayak mengetahui semua itu hasil dari perolehan
amal. Saya mengangangguk-angguk, berusaha paham. Lalu apakah ada pihak yang
mengaudit? Markum bilang ini bisnis akhirat, pertanggungjawabannya bukan kepada
manusia, tetapi kepada yang maha kuasa!
Saya hanya geleng-geleng kepala. Saya tidak tahu, apakah peminta amal di
pinggir jalan untuk pembangunan sebuah masjid di tempat lain melakukan hal yang
sama dengan apa yang dilakukan Markum, sahabat saya. Saya semakin paham, bahwa
selama ini ekonomi Markum lebih makmur diantara sahabat-sahabat lainnya,
lantaran dia mampu mengelola kegiatan meminta amal di pinggir jalan seperti
ini.
***
Sejak kecil saya bersahabat dengan
Markum. Dia anak yang cerdas di sekolah. Setamat SMA, Markum melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi agama tetapi tidak lulus. Entah apa sebabnya.
Waktu itu komunikasi saya dengannya sempat terputus. Saya sendiri hanya tamatan
SMA, setelah lulus langsung bekerja sebagai office boy.
Saya dengar dari teman lain, Markum menikah dengan pujaan hatinya, putri
seorang kepala desa. Setelah itu dia merantau beberapa tahun ke luar pulau
Jawa, dan kembali setelah punya dua anak.
Pertemuan saya dengannya di sebuah masjid yang sedang dalam proses
pembangunan, namun sudah bisa digunakan untuk solat lima waktu. Di situlah saya
akhirnya kerap bertemu dengannya, dan tahu kalau dia memiliki pekerjaan meminta
amal di pinggir jalan, dengan merekrut beberapa orang untuk membantunya.
Setelah pertemuan itu, saya menjadi semakin sering menemuinya,
bercengkerama, membicarakan masa kecil kami, sampai akhirnya saya dan Markum
menceritakan tentang diri kami masing-masing, termasuk bagaimana dia
berada di posisi seperti sekarang ini sebagai peminta amal di pinggir jalan
untuk pembangunan sebuah masjid.
Satu pesan yang selalu dia katakan
kepada saya, yang selalu dia ulang-ulang setiap diakhir perjumpaan, adalah agar
saya secepatnya menikah. Saya katakan saya belum berani mengambil keputusan,
karena takut tidak mampu mengongkosi perempuan yang akan menjadi istri saya.
Apalagi kalau sudah punya anak. Untuk biaya hidup sendiri saja saya masih
kembang kempis, gali lobang tutup lobang. Saya masih punya ibu yang harus saya
tanggung, dan dua adik yang masih butuh biaya sekolah.
“Kalau kamu berfikir seperti itu terus, kapan kamu memikirkan diri kamu
sendiri. Usia kamu terus bertambah. Kamu semakin tua dan rapuh. Ketika sudah
tua baru punya istri dan anak, nanti kamu akan kepayahan. Mumpung masih muda
dan tenaga masih kuat, menikahlah.”
“Saya belum bisa, Kum. Lagian biaya menikah tidak kecil. Apalagi kalau ada
pesta?”
“Pasti ada jalan keluarnya. Tinggal kamu mau apa nggak.”
Nyatanya, sejak lima tahun terakhir
saya bertemu kembali dengannya, saya masih melajang. Masih kepayahan mengelola
keuangan, walaupun perusahaan sudah menaikkan jabatan saya satu tingkat
menjadi; kepala office boy.
“Sampai kapan kamu begini? Saya dengar adik kamu sudah punya pacar?”
Saya katakan, adik saya menghamili putri orang, sudah hamil duluan, harus
segera dinikahi. Dan tabungan saya tidak cukup. Mendengar itu, Markum terlihat
berpikir dan mengangguk-angguk. Lalu dia katakan kepada saya, “tenang saja,
pasti ada jalan keluarnya. Saya pasti akan bantu kamu, karena kamu salah satu
sahabat terbaik saya.”
Markum benar-benar sahabat sejati, seorang sahabat yang mau mendengar
keluhan saya. Dan dia selalu membantu saya, terlepas dari sisi yang tidak saya
sukai, yakni soal pekerjaanya meminta amal di pinggir jalan untuk pembangunan
masjid.
***
Masjid yang dibangun Markum bersama sejumlah orang yang direkrut
membantunya meminta amal di pinggir jalan sudah selesai berdiri. Dengan alasan
ingin direnovasi dan ditingkat menjadi tiga, maka meminta amal di pinggir jalan
itu terus dilanjutkan.
Saya mendatangi Markum dan kelurganya. Markum bilang sebentar lagi dia akan
membeli mobil. Mobil tidak hanya diperuntukkan untuk keluarganya, tetapi untuk
jamaah masjid juga. Lantas uangnya dari mana? Dari pendapatan meminta amal di
pinggir jalan itu?
“Mau dari mana lagi?”
“Memang uangnya cukup?”
“Dicicil, tidak sekaligus.”
“Kamu serius?”
“Sudah kita bicarakan dengan jamaah.”
“Apa tidak ada yang menentang, atau mempermasalahkan?”
“Ada satu dua jamaah. Tapi anggap saja angin lalu.”
Kembali saya tercengang dengan jawaban Markum. Keinginannya sudah mantap.
Dan baru beberapa minggu saat saya mampir ke rumahnya, mobil sudah terparkir di
depan rumah. Luar biasa. Berani sekali dia.
“Apa ini tidak menyalahi peraturan?”
“Peraturan apa? Tidak ada yang mengatur orang meminta amal di pinggir jalan.”
“Kamu nggak takut dosa?”
Markum terdiam, lantas dia tersenyum
datar, “Kapan uang pinjaman akan kamu kembalikan,” Markum balas bertanya kepada
saya. Saya hampir oleng. Sudah hampir setahun uang pinjaman dari sahabat saya
ini belum bisa saya kembalikan. Saya kehilangan kata-kata untuk beralasan.
“Belum ada, Kum.”
“Nggak apa-apa. Aku cuma tanya. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu itu sahabatku
satu-satunya yang tersisa. Sejak aku melakukan bisnis amal di pinggir jalan
ini, tidak ada sahabat lama yang mau mendekat. Hanya kau seorang.”
Saya mengangguk ragu. Markum kembali tersenyum, seolah ingin mendamaikan
perasaan saya soal hutang yang sudah setahun lebih belum bisa saya kembalikan.
“Kamu pasti tahu kan, dari mana uang pinjaman yang aku berikan kepadamu.”
ujar Markum akhirnya. Saya terdiam. Saya tahu, uang itu dari hasil meminta amal
di pinggir jalan. Mau dari mana lagi? Saya pernah bilang, uang itu pasti akan
saya ganti. Saya memang belum tahu akan mendapat uang dari mana, karena gaji
saya pas-pasan untuk biaya hidup sehari-hari.
Setelah berkata begitu, Markum malah menawarkan kepada saya agar mengikuti
jejak karirnya sebagai peminta amal di pinggir jalan, dengan alasan membangun
sebuah masjid. Saya tidak menolak atau menyetujuinya. Namun Markum sudah tahu
jawaban saya, karena bukan kali ini saja dia menanyakannya.
“Saya tahu, kamu pasti tidak berani.
Kamu sudah saya ceritakan bagaimana saya mengais rezeki seperti ini. Pesanku,
jangan kamu ceritakan kepada siapapun. Aku khawatir ada orang lain menirunya.
***
Tangerang Selatan, 2025
0 comments:
Posting Komentar