Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: fiksiislami.com - 2 November 2023
Kedatangan Kyai Haji Zulfikar bin Haji
Matsani sangatlah ditunggu-tunggu para santri. Sebab telah diceritakan
ke-seantero santri bahwa yang bersangkutan adalah Kyai Sepuh yang ilmunya
teramat luas, dan dipercaya membawa keberkahan. Ustadz Zaini Miftah S.Ag,
pemilik sekaligus pengajar di pesantren Miftahul Jannah, sebuah pesantren kecil
di pinggiran kota, pernah bercerita bahwa Kyai Haji Zulfikar memiliki kharisma
yang tiada tanding. Wajahnya bercahaya bagai ciri penghuni surga. Beliau tidak
banyak bicara. Ngomong seperlunya saja. Lebih banyak tersenyum, senyum yang
membuat siapapun yang melihatnya menjadi damai nan tentram.
Siapa Kyai Haji Zulfikar sesungguhnya.
Beliau tak lain salah satu guru dari almarhum Kyai Haji almukarom Ahmad Makmun,
pendiri pesantren Miftahul Jannah. Kyai Haji almukarom Ahmad Makmun sendiri
sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah karena terserang paru-paru. Tetapi
gurunya Sang Kyai Sepuh yang sebentar lagi akan mampir ke pesantren selepas
ibadah haji, masih sehat walafiat. Apa penyebabnya, semua santri penasaran.
ilustrasi: fiksiislami.com
“Beliau, yang mulia Kyai Haji Zulfikar,
tidak pernah makan sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang,” Ustadz
Zaini Miftah bercerita, suatu ketika. Lalu lanjutnya, “Selain itu, beliau tak
pernah kehilangan air wudhu, giat solat berjamaah di masjid, selalu menyambung
tali silaturahim, rutin berjalan pagi selepas subuh, selalu berzikir dimanapun
berada, dan tak pernah meninggalkan kebiasaan menulis kitab, serta membaca
Al-Quran sebelum dan setelah tidur.”
Semua santri yang mendengarkannya
mengangguk-angguk. “Kyai Haji Zulfikar tidak pernah terlihat sedih di dalam
hidupnya, karena dia merasa bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, seperti
mampir ngopi. Dunia ini hanyalah tempat mengumpulkan amal dan ibadah, untuk
persiapan hidup yang kekal di akhirat nanti. Itulah mungkin, meskipun sudah
sepuh, yang mulia Kyai Zulfikar terlihat awet muda. Ada yang mengatakan umur
sang kyai sudah melewati angka seratus! Dan hari ini kyai sepuh akan mampir ke
pesantren ini sepelulang beliau dari Mekkah, kalian harus bersikap sopan dan
menaruh hormat, kalau ingin tertular kepandaian dan mendapat keberkahannya…”
Para santri kembali mengangguk. Semua santri
semakin penasaran, ingin melihat seperti apa rupa Kyai Sepuh. Dan yang paling
penting, mendapatkan keberkahannya. Sebab mereka yakin, apabila mendapat
keberkahan dari Kyai Sepuh, maka hidup akan menjadi mudah penuh barokah.
***
Pagi-pagi sekali, saat mentari masih
malu-malu, ketika sebagian besar santri berada di dalam kamar masing-masing
selepas solat tahajud dan subuh berjamaah di masjid dan dilanjutkan tilawah
Quran, seorang lelaki tua berdiri di depan pintu gerbang pesantren Miftahul
Jannah. Salah seorang santri yang kebagian tugas bersih-bersih melihatnya
langsung terkesima. Santri itu memandangi lelaki tua dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Lelaki tua itu mengenakan gamis putih. Warna rambutnya perpaduan
antara coklat dan putih, bagaikan bulu jagung tua yang hendak dipanen. Si
pemilik bulu jagung tua itu tidak terlihat keseluruhannya, karena tertutup oleh
kopiah putih. Sebuah tasbih berukuran sedang tergenggam di tangan kanan.
Biji-biji tasbih itu terus berputar di pergelangan tangannya yang kokoh,
seiring mulutnya yang komat-kamit melapalkan bacaan.
“Saya hakul yakin. Tak salah lagi… Ini
pasti Kyai Sepuh! Selamat datang Kyaiii!”
Lelaki yang disebut Kyai Sepuh melepas senyum. Deretan giginya yang putih
kecoklatan terlihat. Santri terkesima. Dia bangga sekali pagi ini. Karena
menjadi santri yang pertamakali bertemu dengan Kyai Sepuh. Satu-satunya santri
yang pertama kali menyambut Kyai Sepuh sekaligus mencium tangan sang Kyai.
Santri lalu mengajak Kyai Sepuh masuk ke dalam lingkungan pesantren. Santri
lain yang sedang dapat hukuman bersih-bersih karena kemalasan mereka, demi
melihat berdatangan Kyai Sepuh, langsung mengerumuninya. Semua berebutan
bersalaman dan mencium tangan Kyai Sepuh. Abdullah Miftah Lc, adik kandung
Ustadz Zaini Miftah meminta para santri menyingkir karena Kyai Sepuh harus
istirahat setelah perjalanan jauh. Abdullah menelpon kakaknya yang tengah
mendapat undangan ceramah di kampung sebelah akan kedatangan Kyai Sepuh. Pesan
di telepon, Ustadz Zaini Miftah menyarankan Kyai Sepuh beristirahat di kamar
pendopo dekat masjid.
Para santri pemalas itu kecewa karena Kyai Sepuh langsung masuk ke pendopo dan
tidak terlihat lagi sampai selesai waktu solat zuhur berjamaah. Mereka
bertanya-tanya kenapa Kyai Sepuh tidak terlihat di masjid. Padahal Ustadz Zaini
Miftah pernah mengatakan bila Kyai Sepuh tak pernah meninggalkan solat
berjamaah.
“Mungkin Kyai Sepuh kelelahan karena perjalanan jauh.”
“Tadi saya lihat Kyai Sepuh sempat keluar dari pendopo dan duduk-duduk sambil
merokok!”
“Kyai Sepuh tidak merokok!” Abdullah Miftah buru-buru meluruskan. Semua santri
terbengong-bengong.
“Sudahlah. Kita berbaik sangka saja, mungkin Kyai Sepuh sudah meng-khada
solatnya, karena beliau melakukan perjalanan jauh dari Mekkah. Ibadah haji,
meskipun mungkin sudah berkali-kali beliau lakukan, adalah ibadah fisik yang
tidak ringan mengingat usia beliau yang sudah sepuh. Sekarang kalian istirahat.
Nanti jam dua kembali ke masjid untuk sama-sama mengkaji kitab.”
Tidak semua santri beristirahat. Diam-diam
beberapa santri bandel tadi berada di samping pendopo, mengintip ke arah pintu
pendopo tempat dimana Kyai Sepuh tinggal. Mereka ingin melihat langsung apa
yang sedang dikerjakan Kyai Sepuh. Kyai Sepuh ternyata sedang duduk-duduk
sambil menyeruput kopi. Kyai Sepuh melambaikan tangan ke arah santri yang
mengendap-endap di samping pendopo.
Demi dapat berdekat-dekatan dengan Kyai Sepuh, para santri bengal itu pun
menghampiri Kyai Sepuh dan duduk bersama-sama dengan sopan sesopan sopannya.
“Silakan… silakan duduk…”
Para santri pun duduk mengelilingi Kyai
Sepuh. Kyai Sepuh kembali menyeruput kopinya. Sssssshhhhh…!! Mulutnya mendesis
nikmat setelah semua kopi hilang dari gelasnya, hanya menyisakan ampas. Lalu
Kyai Sepuh mengambil rokok dan menyalakannya sebatang. Ketika ujung rokok sudah
menyelip di kedua bibirnya yang kehitaman, ujung tembakau itu sulit sekali
menyala karena api mati sebelum benar-benar menyulut ujung rokok. Kyai Sepuh
berusaha terus menyalakan rokoknya sambil menahan terpaan angin yang berembus.
Para santri sabar menunggu hingga api membakar ujung rokok itu. Kyai Sepuh
menghisapnya, dengan tenaga yang lebih giat lagi, hingga tembakau yang terbakar
terdengar mengeretek dan mengeluarkan asap berkepul-kepul.
“Pak Kyai, bukankah merokok itu diharamkan
oleh beberapa ulama tertentu…?” sindir salah satu santri, yang kemudian lengan
santri itu ditepuk oleh santri lainnya karena dianggap lancang.
“Sudah… jangan ribut. Kalian tentu ingin tahu alasan kenapa saya tetap merokok,
meskipun ada yang mengharamkannya. Menurut saya, merokok itu hukumnya mubah.
Dikerjakan atau ditinggalkan, tidak apa-apa.”
“Bukankah rokok dapat merusak kesehatan, Pak Kyai?”
“Benar, kisanak. Pernah ada dokter yang menasihati saya begitu. Tapi saya
merokok saja sampai sekarang dan tetap sehat. Dan dokter yang menasehati saya
itu malah sudah meninggal dunia! Hahaha.”
Kyai Sepuh tertawa, semua santri bengal ikut cekikikan. Kyai Sepuh kembali
menghisap rokoknya dalam-dalam. Santri yang terkena asap rokok
mengibas-ngibaskan tangan.
Adik pemilik pesantren, Abdullah Miftah
datang mendekat, membuat para santri bengal itu ketakutan. “Kalian sedang apa
di sini? Kalian mengganggu Kyai Sepuh yang sedang beristirahat. Mau dapat
hukuma lagi…???”
“Alhamdulillah… saya tidak merasa terganggu. Saya malah senang dengan anak-anak
santri yang kritis.”
Meskipun Kyai Sepuh tidak keberatan atas
keberadaan mereka, anak-anak santri memilih pergi dari pendopo. Gelas kopi Kyai
Sepuh diambil, dan di belakang pendopo, para santri bengal itu berebutan
mencecap ampas kopinya, demi mendapatkan kepintaran dan keberkahan Kyai.
Kini Abdullah yang duduk saling berhadap-hadapan dengan Kyai Sepuh. “Saya
dengar Pak Kyai baru pulang haji lagi? Bagaimana keadaan di sana sekarang?”
tanya Ustadz Abdullah, yang mendengar Kyai Sepuh naik haji dari Ustadz Zaini
Miftah.
“Saya ndak mau naik haji kalau masih banyak masyarakat yang kelaparan.”
Semua terdiam mendengar ucapan Kyai Sepuh.
“Jadi Kyai Sepuh tidak jadi berangkat haji lagi?”
“Ndak jadi! Naik haji kok dijadikan trend! Cuma semacam gaya hidup!”
Abdullah kerongkongannya seperti tercekat. Dia kesulitan menemukan kata-kata.
Dia berpikir, lebih baik berhadapan dengan para Profesor yang menguji tesisnya
kala dia ujian S2 di Libya, daripada bicara dengan Kyai Sepuh yang tengah
dihadapinya.
“Maaf Kyai, saya dengar Kyai ada rencana ceramah di salah satu stasiun
televisi?”
“Oh, itu hanya kabar burung! Saya ndak
mungkin ceramah di teve. Memangnya saya artis? Saya juga ndak akan mau ditawari
main iklan. Saya ini Kyai. Bukan public figure! Enak ceramah di mushola, di
langgar, di masjid, atau dari rumah ke rumah. Kalau saya ada masalah, jadi ndak
perlu masuk acara infotainment . Coba pikir, masak Kyai ada di acara gosip?
Yang benar saja!”
Abdullah benar-benar kehilangan kata-kata.
Kini kerongkongannya seperti tercekat!***
0 comments:
Posting Komentar