Cerita Pendek:: Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah SYIR’AH, No. 44/V/ Juli 2005, Jumadil Akhir 1426 H
Gbr: Iphincow.com |
Sejak menikah, lelaki itu selalu pusing oleh peraturan yang dibuat istrinya. Dilarang pulang terlalu malam, padahal ia masih suka berkumpul dengan teman-temannya. Dilarang merokok di dalam kamar, padahal sejak dulu ia merokok di tempat tidur. Kalau tidur harus pakai baju tidur, padahal ia lebih suka tidur pakai kaos oblong atau pakaian sesukanya. Mesti sikat gigi sebelum tidur, padahal ia malas ke kamar mandi kalau sudah ngantuk berat. Dan macam-macam peraturan lainnya.
“Dulu, aku nggak pernah merasa tersiksa begini?” ucap si suami.
“Kenapa mesti merasa tersiksa?! Aku hanya ingin mengajarkan disiplin. Dan kamu mestinya sadar diri. Bahwa sekarang ini kamu tidak lagi hidup sendiri. Tidak lagi bisa hidup bebas seperti dulu lagi,” sang istri menerangkan
“Ngerti! Tapi bukan begini caranya! Apa-apa mesti diatur...!”
“Kalau tidak begitu, aku yang tersiksa!”
“Oo... jadi peraturan itu sengaja untuk menyiksaku, agar kamu terlepas dari perasaan tersiksa?! Egois banget kamu...!!?”
“Bukan begitu. Kamu harusnya ngerti dong, bahwa sekarang ini kamu sudah punya istri. Istri yang harus kamu hormati!”
“Ah, peduli amat! Kamu yang harusnya menghormati suami! Jangan bikin peraturan semaunya!”
Setelah berkata begitu, si suami menyulut rokoknya. Lalu merokok sambil tidur-tiduran. Tidak hanya itu, si suami ternyata masih saja memakai baju kerjanya. Hari itu ia memang sengaja pulang sangat larut!
“Mas, kalau begini caranya, kayaknya aku nggak tahan hidup sama kamu!”
“Ya, aku juga begitu! Kita belum sebulan menikah, tapi kita nggak punya kecocokan!”
“Ya sudah... kalau kamu seperti ini, aku nggak bisa tidur di samping kamu!”
“Terserah kamu mau tidur di mana...!!”
Si istri keluar kamar. Ia tidur di sofa ruang tengah.
2.
Di sebelah rumah suami istri pasangan muda yang tengah bertengkar itu, tinggal seorang perempuan yang masih melajang. Usianya empat puluh tahun lebih. Ia perempuan yang karirnya sangat bagus. Materinya berlimpah. Hidup serba berkecukupan.
Ia masih terjaga meski hari telah larut malam. Perempuan itu tengah memikirkan nasibnya yang tak jua mendapatkan pasangan hidup.
“Seandainya kudapatkan jodohku dalam waktu dekat ini, aku berjanji akan merawatnya. Menyayanginya dengan sepenuh hati. Apapun akan kulakukan, untuk membahagiakannya!”
“Tapi kapan aku mendapatkan laki-laki itu...?”
Sebenarnya tidak sedikit laki-laki yang menginginkan perempuan lajang ini untuk mendijadikannya istri. Ia cantik, menarik, pintar, dan punya kedudukan tinggi. Mungkin karena ia sangat pemilih, sehingga sulit mewujudkan keinginanannya berumah tangga.
***
1.
Malam terus merambat. Di sebuah bilik lusuh, seorang perempuan mengerang kesakitan, berjibaku mengeluarkan bayi dari rahimnya. Seorang dukun tua membantunya. Suaminya ikut menemani dengan malas, menggerutu sambil sesekali menyumpah-nyumpah.
“Perut kamu itu mesti disiram minyak tanah, Mun!” ujar si suami, saking kesalnya dengan perut istrinya yang lagi-lagi buncit. Bersamaan dengan itu, si istri berteriak-teriak, mengerang, dan keluarlah bayi dalam kandungannya. Itu adalah bayi yang kesepuluh, yang lahir dalam kurun waktu sepuluh tahun!
“Jangan bilang begitu, bang! Kalau bukan karena abang, apa mungkin perutku melendung begini!?” jawab si istri, sambil terengah menahan capek.
“Sudah, jangan banyak ngomong! Kamu kan enak, tahunya melahirkan. Nih, aku yang cari duit setengah mati buat biaya mereka!”
“Kalau begitu abang saja yang melahirkan, biar saya yang cari duit!”
“Sudah, sudah, jangan ribut terus... Malu sama bayinya. Tuh, sudah waktunya diadzanin!” dukun beranak itu pun menengahi pasangan suami istri yang ribut.
Tak lama kemudian, sang suami mengumandangkan adzan si bayi. Adzan di telinga bayinya yang ke sepuluh.
2. Diwaktu yang bersamaan, sepasang suami istri masih belum tidur meski jam menunjukkan pukul dua dini hari. Di rumahnya yang sangat luas dan berhalaman dua kali lapangan sepak bola itu, si suami sejak sore berkeluh-kesah di dekat istrinya yang sungguh cantik, namun belum bisa memberikan anak meski sudah sepuluh tahun menikah.
“Kita sudah berobat kemana-mana. Ke dokter, ke dukun, orang pintar, bahkan ke luar negeri. Tapi... hasilnya nihil...”
“Kan dokter memang sudah menyatakan bahwa aku mandul, pap...”
“Aku tidak percaya, mam.”
“Terus gimana, dong?”
“Ya, gimana?”
“Apa lebih baik kita mengambil anak saja?”
“Aku nggak mau!”
“Seperti Niken, dia kan pernah mengambil anak...”
“Aku nggak setuju! Aku hanya mau punya anak, dari darah dagingku sendiri!”
“Caranya...?!”
Setelah itu keduanya diam beberapa saat lamanya. Si istri sudah merasa ngantuk sekali. Sedangkan si suami masih tampak semangat, ingin segera memuntahkan segenap perasaannya detik itu juga.
“Kamu keberatan nggak, seandainya aku... mencari perempuan lain...”
“Maksud papa?!!”
“Aku menikah lagi...”
Si istri yang sudah mengantuk itu tegar kembali. Ia bangkit dari tempat tidur yang empuk itu, lalu melotot di depan suaminya.
“TIDAK, PAP! Aku nggak mau dimadu!!”
“Terus gimana, dong?! Kalo begini terus, kapan aku punya anak? Kapan aku punya keturunan?!”
“PAP!! Tega sekali kamu bicara begitu!!”
Si istri berjalan ke luar kamar, dan tak kembali lagi. Suaminya akhirnya bisa mendengkur dengan pulas.
***
1. Malam ini laki-laki itu lupa! Harusnya ia tidur di rumah istrinya yang tua. Mengapa ia masih saja tidur dengan istri mudanya? Kalau begini caranya, ia tidak adil! Dulu, ia sudah berjanji pada istri tuanya, bahwa ia akan berlaku seadil-adilnya!
“Kok, dari tadi melek aja, mas?” tanya istri mudanya.
“Aku nggak bisa tidur?”
“Kenapa? Soal kerjaan? Mikirnya besok aja, mas!”
“Bukan soal kerjaan.”
“Lantas?”
“Aku ingat anak-anak...”
Istri mudanya bangkit. Ia menghela nafas, sambil terus menatap suaminya.
“Kalau begitu mas pulang saja sekarang.”
“Maunya sih begitu...”
“Ya sudah, tunggu apalagi?!”
“Kamu mengusir saya?”
“Bukannya mengusir. Habis, mas sendiri yang kelihatannya bingung begitu.”
“Maaf, sayang...”
“Sudah, nggak usah ngerayu!”
“Nggak pa-pa nih, aku pulang?”
“TERSERAH!!!”
2.
“Hey, jangan bertengkar terus!” teriak seorang janda kembang, mendengar tetangganya yang tinggal di kontrakkan sebelah. Tetangga si janda kembang itu seorang istri muda, yang suaminya sudah punya istri dan banyak anak.
“Udah hampir pagi begini masih aja pada ngedumel!” tambah perempuan itu.
Setelah itu si janda kembang diam. Karena tetangganya memang sudah tak lagi bicara. Beberapa saat kemudian terdengar kreot pintu di sebelah rumahnya terbuka. Si janda kembang itu mengintip keluar bilik. Seorang lelaki keluar rumah, meninggalkan rumah kontrakan itu. Mungkin lelaki itu hendak pulang ke rumah istri tuanya.
***
Menjelang Dini Hari Lelaki pengantin baru yang marah-marah karena peraturan istrinya, akhirnya menyadari kekeliruannya. Lelaki muda itu malu sendiri. Sebelum menikah, ia sudah berjanji pada istrinya, akan mematuhi segala ketentuan yang telah mereka sepakati bersama. Setelah menikah, segalanya memang tak bisa dilakukan semaunya sendiri. Perkawinan adalah bersatunya dua insan, terlepas dari perbedaan masing-masing. Laki-laki yang telah menyesali tingkah laku terhadap ketentuan pasangannya setelah menikah itu, membopong istrinya yang tertidur di sofa. Ia membuang rokok yang tersisa. Lalu mengganti baju kerjanya dengan pakaian tidur. Ia peluk istrinya erat-erat, setelah lebih dulu ke kamar mandi untuk sikat gigi. Sambil memeluk istrinya, lelaki itu berjanji bahwa ia tak akan mampir dulu sepulang dari kantor.
Lajang yang tinggal sendirian di sebuah rumah megah, segera meraih henponnya. Ia menghubungi seorang laki-laki yang selama ini sering mengajaknya menikah. Perempuan itu bertekad ingin segera melepas masa lajangnya. Untungnya lelaki itu menerima telponnya, meski hari masih gelap, dan kantuk tentu tengah menyergapnya.
Sementara itu, seorang suami yang marah-marah pada istrinya yang melahirkan anaknya kesepuluh, mencium kening istrinya. Istrinya tidak tahu, karena sudah tertidur. Mungkin kelelahan sehabis melahirkan. Setelah itu, lelaki itu menggendong bayinya sambil bersiul-siul. Lelaki itu baru menyadari bahwa selama ini istrinya telah berjuang melahirkan anak-anaknya dengan taruhan nyawa. Seharusnya ia bangga memiliki istri yang kini dimilikinya.
Diwaktu yang bersamaan, lelaki yang bertengkar dengan istrinya karena tak jua punya momongan akhirnya tersadar. Ia memeluk istrinya erat-erat. Ia minta maaf atas perkataan yang telah menyakitkan istrinya. Dan berjanji tak akan menikah lagi dengan perempuan lain. Ia berniat memungut anak. Memenuhi keinginan istrinya yang mandul. Atau mungkin mengupayakan untuk melakukan bayi tabung.
Masih di waktu yang sama. Di sebuah rumah kontrakkan, seorang istri muda sudah terlelap. Ia tak lagi memikirkan suaminya yang sudah pulang ke rumah istri lainnya. Istri muda itu memaklumi keinginan suaminya. Suaminya sudah tiga malam berturut-turut tinggal bersamanya. Sudah waktunya ia pulang menemui anak istrinya.
Si janda kembang yang tinggal di sebelahnya pun sudah terlelap. Sebelum itu ia tersenyum melihat lelaki itu pulang. Si janda kembang teringat pada masa lalunya. Dulu ia juga sering bertengkar dengan mantan suaminya. Sebelum akhirnya menceraikannya. Si janda kembang berjanji pada dirinya sendiri, bila nanti mendapat suami lagi, ia tak akan mau bertengkar. Ia ingin hidup damai seperti pasangan hidup lainnya.
Sudah dulu ya. Hampir pagi. Sudah waktunya menyelesaikan cerita ini. Semuanya sudah saya bikin damai seperti yang saya inginkan. Sekarang saya harus tidur. Capek.***
*)Pamulang, 14/10/2004. 03.25.07 wib.
0 comments:
Posting Komentar