Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Buku Kumpulan Cerita Islami, “Ketemu Camer”, Dar! Mizan, Bandung, 2004
Sumber: Buku Kumpulan Cerita Islami, “Ketemu Camer”, Dar! Mizan, Bandung, 2004
Semua
orang takut kepadanya. Padahal tubuhnya
tidak besar, bertinggi badan pas-pasan, dan berpenampilan biasa-biasa
saja. Tapi kalau sudah mengamuk, dia
memang tidak pandang bulu. Semua jawara
kampung ditantangnya. Diajak ribut, dengan
golok atau tangan kosong. Makanya,
orang-orang menyebutnya preman.
Ini memang bukan jamannya Ikang Fawzi,
yang nyanyi ‘pak cik pak pak preman-preman, oo, pak cik pak pak
metropolitan.’ Di metropolitan kini
memang jarang terdengar preman, sejak preman-preman di Tanah Abang digusur
pihak keamanan. Tetapi di pinggiran kota di mana dia tinggal, dia masih dianggap preman. Barangkali seperti juga di Tanah Abang, ada
juga preman kecil-kecilan yang masih kelihatan petantang-petenteng minta jatah
kepada para pedagang. Bersaing dengan
orang-orang berseragam pemda.
Gbr: kolorman ®gykolor |
Usianya belum tergolong tua. Sekitar 30 tahun. Dan masih membujang pula. Dia bilang pada anak buahnya, ia belum mau
kawin dulu. Lagipula, ia pikir, siapa sih
yang mau punya menantu preman? Sebab
kalau punya menantu preman, biasanya, yang pernah terjadi terhadap anak buahnya
yang juga dicap preman dan telah berumah tangga, kalau ada masalah dengan
kepolisian yang dicari-cari ya mertuanya.
Seperti Bang Sanip yang sering was-was karena anak perempuannya selalu
ketar-ketir karena lakinya yang preman itu sering dicari-cari tekap.
Namun tiba-tiba, dia, si tokoh preman
kita, jatuh cinta? Dia menjilat ludahnya sendiri. Malahan, dia
bilang pada anak buahnya, bahwa tak lama lagi dia bakalan kawin! Dia jatuh hati pada Maesaroh, putri tunggal
seorang jawara kampung bernama Haji
Markum. Heran juga dia, banyak sekali
perempuan yang dia lihat, baik di pelataran parkir ruko atau di halaman
diskotik, tapi dia tidak kepincut sedikitpun!
Berbeda dengan Maesaroh, yang kerap bikin jantungnya nyaris copot setiap
kali ia melihatnya. Saban anak gadis
berkerudung itu melintas, dia merasa sesak nafas!
Dan
berkat jasa ‘mak comblang’ salah satu anak buahnya, ternyata dia berhasil
menarik hati si gadis yang diincarnya.
Maesaroh khabarnya menerima berkawan dekat dengan si preman. Siapa sih, yang tak kenal dengannya? Termasuk si Maesaroh, putri jawara kampung
bernama Haji Markum yang punya kontrakkan berpuluh-puluh pintu itu. Hanya saja, Haji Markum belum mencium kabar
ini. Kita tidak tahu, apa yang akan dilakukan Haji Markum, kalau dia mendengar
berita bahwa putrinya yang cantik, solehah, semata wayang, tiba-tiba berpacaran
dengan seorang preman!
Dan tentu Haji Markum sulit
mempercayai, kalau putrinya bisa tertarik begitu saja dengan pemuda preman
macam dia. Apalagi kalau tidak berpikir
yang macam-macam, menuduh si preman main pelet?
Hmmm…
Pak
Haji Markum mungkin tidak akan pernah paham tentang cinta. Seperti khabar adem ayem putrinya yang
diam-diam jatuh cinta pada sang preman!
***
Perkenalannya dengan Maesaroh tidak
semudah kabar yang berhembus, seperti debu tertiup angin. Sebelum ini, dia tidak bisa begitu saja
berdekat-dekatan dengan Maesaroh sang pujaan hati. Begitu panjang dan berlikunya proses yang
telah dia jalani untuk mendapatkan sang putri.
Tidak seperti Pangeran, yang tinggal bilang pada sang raja bila ia punya
suka.
Sementara dia tidak punya siapa-siapa
selain teman-teman yang akhirnya jadi anak buahnya. Dengan menggunakan jasa salah satu anak
buahnya itulah, ia selalu menitipkan pesan pada Maesaroh. Dan ketika itu, Maesaroh menanggapinya dengan
dingin. Atau mungkin dengan dada
deg-degan tersebab takut diperkosa.
Namun begitu, sang preman tak pernah
berhenti menitip salam. Hampir setiap
hari Maesaroh mendapatkan salam dari si preman.
Sampai Maesaroh mungkin merasa bosan dengan titipan salamnya itu. Hingga pada suatu sore, Maesaroh, dengan
takut-takut, memutuskan minta dipertemukan dengannya. Barangkali Maesaroh
kesal, sehingga dia nekad ingin bertemu dengan orang yang tiada bosan-bosannya
menitip salam.
Setelah
kabar itu disampaikan padanya, dia bukannya girang atau melompat-lompat gembira
seperti pemuda kebanyakan yang mendapat respon dari orang terkasihnya. Dia takut setengah mati! Dia mengaku deg-degan dan sulit
bernafas. Barangkali karena kadar
cintanya pada Maesaroh yang begitu meletup-letup?
Ketika itu, kalau tidak dibujuk rayu
oleh kawan-kawannya, ia nyaris membatalkan pertemuan itu. Dan dengan bujuk rayu itu, dia memberanikan
diri menemui sang pujaan hati. Tentu
dengan jantung yang berdebar-debar.
Karena hati yang penuh gejolak api asmara.
Sungguh berbeda situasinya,
dengan ketika ia merebut sebuah lahan
parkir dari tangan Baron. Baron yang
sekujur tubuhnya penuh tato itu dia hadapi dengan sepenuh jiwa. Tanpa sedikitpun timbul rasa ragu.
Sehingga dengan beberapa hentakan saja, dia berhasil melumpuhkan lawannya. Tapi dengan Maesaroh?
Saat sudah berhadap-hadapan dengan
Maesaroh di sebuah tempat makan lesehan, dia benar-benar tak berkutik. Tak tahu jurus apa yang harus ia
keluarkan. Tak berani memandang Maesaroh seperti ketika memandang Baron tempo
hari. Kalau tak mau malu, mungkin waktu
itu dia kepingin kencing di celana!
Bagaimana tidak, Maesaroh yang diimpi-impikannya duduk saling
berhadap-hadapan, dalam satu tempat.
Namun ketika detik demi detik berlalu,
kekakuan itu mencair. Maesaroh
menebarkan senyumnya, senyum yang sering ia dapati ketika dulu dia sering
meledeknya. Senyumnya itulah sebenarnya,
yang membuat ia sulit bernafas. Senyum
khas dari perempuan terkasihnya.
Setelah pertemuan yang tak banyak
mengeluarkan obrolan itu, di waktu-waktu
berikutnya mereka saling berbagi janji.
Hingga akhirnya mereka semakin akrab satu sama lain. Kalau sudah begitu, dia tak lagi butuh peran
anak buahnya. Dia bisa menghubungi sang
pujaan hatinya sendirian. Tapi tentu,
harus tanpa sepengetahuan Haji Markum,
atas permohonan Maesaroh.
***
“May tidak keberatan abang melamar
saya. Tapi, bagaimana dengan Babeh?”
ucap Maesaroh padanya. Dan dia menghela
nafas. Jadi bingung dia. Sial benar dia,
selama ini dia tak pernah bingung. Dia
tak pernah berpikir keras seperti ini.
Seperti ketika merebut lahan parkir sebuah ruko sebulan lalu, dia
langsung main hajar. Dan berhasil. Tapi, apakah dia harus menghajar Haji Markum,
calon mertuanya, untuk mendapatkan cintanya?
“Kalau abang bertaubat, mungkin Babeh
punya pikiran lain. Ada peluang dia
bakal menerima abang.”
“Bertaubat?! Memangnya abang salah apa, May?”
“Mungkin abang tidak merasa
bersalah. Tapi, coba abang
merenung. Apa yang telah abang lakukan
selama ini.”
Dia
pun merenung. Mengingat-ingat apa saja
yang terlintas dibenaknya. Menghajar orang.
Memalak para pedagang. Membuat
keonaran. Mabuk-mabuk. Teler.
Sampai pada sering melamun, memikirkan seseorang yang kini ada
didekatnya.
“Demi May, abang mau bertobat! Tapi bagaimana caranya?”
“Mulai sekarang, abang harus
meninggalkan semua pekerjaan yang saat ini abang lakukan!”
“Abang harus kerja apa?”
“Nanti May yang ngomong sama Babeh.”
***
Sepandai-pandainya orang menyimpan
bangkai, suatu saat tercium juga
baunya. Sebetapapun pintarnya mereka
menyimpan rahasia, akhirnya ketahuan juga.
Haji Markum mengetahui hubungan mereka.
Namun begitu, beliau tidak berani berbuat macam-macam. Haji Markum pun hapal benar dengan sifat
kekasih putrinya.
“Apa kagak ada
laki-laki lain, selain dia?” ucap Haji Markum pada putrinya.
Maesaroh diam seribu bahasa. Dia tak menjawab. Tertunduk.
Seperti seorang pesakitan di kursi terdakwa.
“Kamu mencintainya karena benar-benar
cinta, atau kamu takut menolak cintanya karena kamu takut?” desak Haji Markum,
dengan wajah marah semarah-marahnya.
“Saya... mencintainya, Beh...”
Demi mendengar kata-kata putrinya,
Haji Markum terkulai dikursinya. Lemas.
Beliau tak menyangka sedikitpun, bila putri semata wayangnya harus kawin dengan
pemuda yang sangat dibencinya. Pemuda
yang sempat berkelahi dengannya dulu, lantaran memalak salah satu
penghuni rumah kontrakannya.
Haji
Markum tahu siapa calon menantunya itu.
Dan beliau tidak asing lagi dengannya.
Kehidupannya. Dunianya. Tak tega ia serahkan putri tercintanya pada
seorang preman, yang sudah barang tentu pasti punya banyak musuh.
Tetapi
apa mau dikata. Haji Markum menerima
keputusan putrinya dengan lapang dada.
Ia tak mau putrinya sengsara karena cinta. Selain itu, ia mendengar pengakuan calon menantunya, bahwa
ia telah bertobat. Soal materi, ia tak
khawatir. Beliau punya segudang warisan
yang tak akan habis di makan tujuh keturunan.
***
Semua orang merasa lega atas perubahan
drastis yang terjadi terhadap si pemuda.
Dia yang terkenal disebut sebagai preman akhirnya bisa berbaur
sebagaimana layaknya pemuda kebanyakan.
Dan sebentar lagi akan menghadapi hari yang berbahagia, hari perkawinan.
Segala sesuatunya pun dipersiapkan
dengan matang. Undangan disebar. Hingga jatuh ke tangan salah satu musuh
bebuyutannya, Baron. Baron yang diam-diam
tengah menyiapkan serangan merebut lahan parkir, merasa berang. Ia pun berencana akan menghancurkan tempat
pesta perkawinan itu berlangsung.
Di sisi lain, kawan-kawan yang menjadi
anak buahnya pun sakit hati. Karena
selama berhubungan akrab dengan Maesaroh, dia banyak berubah. Dia tak mau membantu kawan-kawannya yang
terancam tergusur oleh preman geng lain, seperti dulu lagi. Beruntungnya Baron, jadi tak repot-repot
merebut lahan parkir yang dulu direbutnya.
Karena kini bekas anak buahnya sepakat untuk bersama-sama
menghancurkannya.
Dan ketika hari perkawinan itu
berlangsung, segerombolan preman dengan parang dan golok dibalik kemeja datang
dengan maksud memenuhi undangan. Namun
mereka tak berkutik. Karena di dekat
kursi pelaminan, tampak para jawara kampung duduk berdesak-desakkan. Haji Markum sendiri dengan sopan menerima
para undangan, dengan golok terhunus dipinggang.***
*) Pamulang Barat, Banten, 2003
Agen Slot Terbaik
BalasHapusAgen Situs Terbaik
Situs Agen Judi Online
https://bit.ly/2ENk1VF