Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber. erakini.id - 9 Februari 2024
Makan malam yang syahdu mendadak terusik bau menyengat
dari luar tembok kompleks. Hidangan super nikmat resto mewah, menu kesukaan
sang mertua, berantakan oleh bau tak sedap yang melumat harumnya aroma
hidangan. Padahal hidangan itu sudah jauh-jauh hari disiapkan buat Sukomalingo,
lelaki tua yang baru bebas dari penjara lantaran kasus mega korupsi itu.
Drajat sebagai menantu
yang dipercaya menyambut kembalinya bapak mertua ke alam bebas tidak mampu
menahan marah. Apalagi Sukomalingo langsung memuntahkan makanan yang baru saja
dilahapnya, menu makanan pembuka pada suapan pertama, tersebab hidungnya
menghirup aroma busuk yang sangat menganggu penciumannya.
“Ini semua salah mama.
Kenapa mama memindahkan tempat jamuan makan malam kakek di ruang terbuka
halaman belakang ini?” protes Bani, anak tertua Drajat yang kuliah smester dua.
“Tahu nggak, Ma. Tembok
kompleks ini berbatasan dengan tembok kampung sebelah. Kita nggak tahu ada apa
dibalik tembok kompleks kita ini? Harusnya kita makan di ruang makan dalam,
atau di ruang makan lantai dua,” tambah Bani, sambil memperlihatkan wajah
kesalnya.
“Ini semua karena
keinginan kakek kamu, nak. Berpuluh-puluh tahun kakek mengaku makan malam di
dalam sel, wajar kalau dia ingin makan di ruang terbuka setelah bebas”
“Mama yakin koruptor makam malam di dalam ruang sel?”
“Plak!” Drajat marah dan refleks menampar pipi anaknya.
Semua kaget, Restu si
anak tengah langsung beringsut meninggalkan meja makan, Rafa anak yang paling
kecil menangis dan Lidya meminta salah satu pembantu menggendongnya ke
dalam kamar. Bani membanting pisau dan garpu lalu pergi dengan muka merah.
Drajat mau mengejar tapi ditahan istrinya.
“Kenapa jadi kasar
begitu, Pah?” Lidya protes pada Drajat yang akhirnya terdiam, setelah menyesali
tindakannya menampar si sulung.
“Harusnya Bani
menyadari, dia tidak pantas bicara begitu. Dia harusnya tahu, selama ini,
bertahun-tahun kita hidup disokong oleh kakeknya itu. Tubuh rentanya boleh saja
dipenjara, tapi bantuanya tidak pernah berhenti mengalir ke keluarga kita ini.”
Lidya akhirnya ikut
terdiam. Suasana menjadi semakin hening, tak ada denting sendok dan garpu, atau
derit pisau memotong tenderloin di atas piring. Makan malam yang harusnya indah
dan ceria berubah menjadi hancur berantakan. Penyebabnya bau tak sedap yang
asalnya dari seberang tembok kompleks rumah mereka.
Kompleks hunian elite
tempat Drajat dan keluarganya tinggal tepat bersebelahan dengan perkampungan
padat penduduk. Letak rumah-rumah mereka, antara kompleks perumahan dan
perkampungan padat penduduk hanya dibatasi tembok setinggi lima enam meteran.
Entah apa yang membuat aroma tidak enak itu muncul dari balik tembok kompleks
itu.
Siangnya Drajat
memanggil tukang kebun untuk menyelidiki dari mana sumber bau itu
berasal. Didin, si tukang kebun yang kamarnya di gudang samping, dekat halaman
belakang tempat berlangsungnya makan malam itu, mengatakan bau tak sedap dari
luar tembok kompleks sudah dia rasakan sejak menjadi tukang kebun di
rumah ini.
Itu artinya, sudah
terjadi bertahun-tahun silam. Makanya para tetangga rumah membangun ruangan
tertutup di bagian belakang, tidak membangun taman seperti halaman belakang
rumah tuannya. Didin juga heran, kenapa majikannya baru mempermasalahkannya
sekarang? Apa karena ada hubungannya dengan kedatangan mertua lelaki
majikannya itu?
“Jadi bau ini sudah ada
sejak dulu?”
“Iya, tuan. Apalagi kalau hujan turun, aroma tak sedap itu makin menyengat.”
“Kamu tahu, di seberang tembok kompleks ini sebenarnya ada bangunan apa?”
“Saya belum pernah melihatnya, tuan. Ini baru mau saya lihat.”
Siang itu juga Didin
memberikan laporan pada Drajat majikannya, bahwa di seberang tembok yang
berbatasan dengan taman belakang rumah ini ada comberan.
“Comberan?”
“Ya, tuan. Comberan. Orang juga menyebutnya empang.”
“Maksud kamu empang untuk memelihara ikan?”
“Bisa tuan.”
“Kamu ngomong yang
jelas, Din. Dulu saya sering memancing di empang, tapi tidak bau seperti ini!”
“Makanya tadi saya sebut comberan, tuan. Comberan itu bentuknya seperti empang,
bisa buat pelihara ikan tapi bisa juga hanya untuk menampung air saja.”
“Kenapa bau sekali?”
“Ya namanya juga comberan, tuan. Biasanya yang namanya comberan itu bau.”
“Iya, kayak mulut kamu! Tadi kamu sarapan apa, sih?”
“Saya belum makan apa-apa dari tadi pagi, tuan.”
“Pantas. Sana kamu ke
dapur minta makan sama Bik Syahrini.”
“Saya ke warung saja, tuan. Maaf, makanan di dapur tuan nggak cocok sama perut
saya. Permisi tuan.” Didin pamit ke luar, dia langsung melipir jauh ke
gang sebelah kompleks, di sana ada sebuah warung kopi.
***
Penyelidikan Didin si tukang kebun selesai dilakukan. Didin mengatakan comberan salah satu warga yang menghuni perkampungan itu berbatasan langsung dengan halaman belakang rumah majikannya. Ukurannya sekitar lima kali empat meter. Di atas comberan ada jamban untuk keperluan buang hajat.
Didin tidak akan salah
kalau comberan itu yang jadi biang keladi sumber bau tak sedap, karena dia bisa
melihat dua pohon alpukat dari balik tembok di bibir comberan, pohon kesayangan
milik majikannya yang selama ini dia rawat.
“Comberan itu milik Bang
Markum, tuan.”
“Kamu kenal dia?”
“Kenal tuan. Dulu istrinya pernah jadi pembantu di rumah sebelah.”
“Apa bisa saya ketemu Bang Markum? Suruh orang itu menghadap saya.”
“Baik tuan. Nanti saya kasih tahu orangnya dulu, tuan.”
Sorenya, rencananya
Drajat akan dipertemukan dengan Bang Markum, si pemilik comberan yang ada
dibalik tembok rumahnya itu. Tapi sudah dua jam menunggu, lelaki yang disebut
sebagai Bang Markum itu tidak muncul. Didin dimarahi, dan diminta mencari tahu
kenapa Si Markum tidak menepati janjinya. Ya, kali ini Drajat marah sekali. Dia
tidak menyebutnya Bang Markum lagi, tapi Si Markum!
Didin dengan wajah
takut-takut dan tubuh sedikit gemetar mendatangi rumah Markum. Markum
sepertinya tidak suka melihat kedatangan Didin.
“Kenapa bukan bos lu
yang dateng ke sini?”. Pertanyaan itu membuat Didin bingung harus
menjawab apa. Didin akhirnya jawab sekenanya, bahwa majikannya lagi sibuk.
Markum semakin marah,
“lu pikir cuman dia doang yang sibuk? Bilang sama bos lu, suruh dia sendiri
dateng ke sini!”
Didin balik lagi ke
rumah majikan, dan melaporkan apa yang diucapkan Bang Markum, tidak dia kurangi
atau tambah-tambah. Drajat murka! “Kurang ajar tuh orang!? Siapa sih Markum?
Berani dia sama saya!? Pengen saya tembak dia!”
Lidya datang menyabarkan
suaminya. Lidya minta masalah ini jangan dibesar-besarkan, karena hanya masalah
comberan. Tapi Drajat tidak terima. Menurut Drajat, gara-gara comberan itulah
bapak mertuanya kecewa. Sekarang dia menginap di rumah anaknya yang lain. Apa
jadinya kalau sampai dia marah dengan keluarga kita?!
Akhirnya Drajat yang
datang sendiri ke rumah Markum. Drajat sudah menyiapkan amunisi untuk
menghadapi Bang Markum. Drajat diantar Didin dan sopirnya karena untuk sampai
pintu belakang kompleks, walaupun letak rumah dan comberan itu bersebelahan,
karena dibatasi tembok kompleks untuk sampai ke rumah Markum jarak tempuhnya
lumayan jauh. Setelah gerbang belakang kompleks, dilanjutkan berjalan
kaki beberapa meter, melewati gang-gang sempit dan satu dua rumah penduduk
lain.
Di hadapan Markum,
nyatanya Drajat berubah lembek. Mirip ayam sayur. Nada bicaranya pelan dan
santun, seolah seorang bawahan sedang berhadapan dengan atasan.
“Maaf Bang Markum,
comberan abang itu baunya sangat tidak enak. Itu menganggu kami sekeluarga.”
“Eh, apa peduli gua? Emang comberan itu jadi bau karena kemauan gua, hah?”
“Maksud saya, apa comberan itu bisa ditutup atau diusahakan bagaimana
supaya tidak bau, bang”
“Lah, pegimana caranya? Mau ditutupin maksud, lu? Mana ada orang nutupin
comberan?”
Drajat terdiam, Bang
Markum masih menunggu apa kira-kira yang akan diucapkan Drajat selanjutnya.
“Begini saja bang Markum, bagaimana kalau kolam comberan ini diurug nanti biar
biayanya saya yang nanggung”
“Kagak bisa!”
Drajat kaget dengan jawaban
spontan Bang Markum. Lalu Bang Markum mengepalkan tangan, seperti orang lagi
marah mau mukul lawan bicara. Didin yang ada di sebelah Drajat memberanikan
diri memegangi bahu tuannya, dengan maksud menyabarkan Drajat agar tidak lagi
meladeni Markum. Tapi Drajat bergeming, menunggu apa yang akan diucapkan Bang
Markum.
“Denger ya... lu orang
gedongan! Dulunya sebelum jadi rumah lu, tuh tanah sawah darat sama kali dan
ada jalan tembus. Setelah tuh kompleks berdiri, kali diilangin jalanan lu
tembok! Kita-kita yang ada di kampung ini kalo jalan jadi ngeliwing,
muter-muter jauh banget! Udah gitu malemnya diportal sampe jem sepuluh.
Nah ini, saluran air gua kepotong, makanya gua bikin comberan. Comberan
gua juga kagak ngalir aernya, karena kepotong tembok berlin kompleks lu! Nah
sekarang... lu mau ngatur-ngatur gua? Nyuruh gue nutup comberan gua, lah! Lu
tau kagak, keluarga gua mandi, kencing sama berak aernya ke comberan itu.
Emangnya boleh kalo gua alirin ke rumah lu? Mau lu!??” Bang Markum mencerocos
sampai nafasnya ngos-ngosan.
Drajat terdiam melongo
seperti sapi kekenyangan minum. “Kalau memang Bang Markum tidak mau menutup
comberan itu tidak apa-apa. Saya permisi bang. Tapi ingat ya, abang jangan
nyesel kalau suatu saat terjadi apa-apa.”
“Bujug, lu ngancem
guahhh?!”
“Udah bang Markum,
udah... kita damai aja bang. Tuan ayo pulang...” Didin langsung menarik
pulang Drajat. Darah Bang Markum mendidih. Di rumah, istri,
anak-anak, bapak, ibu mertua yang hidupnya menumpang di rumah Markum, juga
adik-adiknya, menyabarkan Bang Markum agar tidak emosi.
***
Satu bulan berlalu sejak
kejadian itu. Drajat di rumahnya semakin gundah gulana. Drajat yang tidak biasa
duduk-duduk di halaman yang temboknya berbatasan langsung dengan tembok kampung
itu belakangan ini jadi sering ada di situ. Sehingga dia semakin sering
merasakan adanya bau tidak sedap yang menguar dari balik tembok, yang sumbernya
dari comberan rumah Bang Markum.
Drajat memanggil Didin
untuk membicarakan lebih lanjut soal comberan itu. Drajat berencana akan
membeli comberan itu, atau kalau perlu rumah Bang Markum sekalian. Drajat sudah
membicarakannya pada bapak mertuanya. Sukomalingo setuju setelah mendengarkan
keluhan menantu kesayangannya itu, bahwa dia siap menggelontorkan sejumlah uang
untuk membeli tanah, rumah sekaligus comberan Bang Markum. Tidak
tanggung-tanggung, harga yang ditawakan di atas harga tanah pasaran di kampung
itu.
***
Di depan Bang Markum, Didin
gugup saat ditanya kenapa bukan majikannya yang menghadap. “Ah, gua tauuu!
Pasti majikan lu males kan ke sini? Deket tapi jalannya muter-muter! Salah
sendiri bikin tembok tinggi-tinggi?”
Lalu Didin mengungkapkan
keinginan majikannya menawar tanah berikut comberan milik Bang Markum. Bang
Markum bukannya senang tanah dan comberan dihargai mahal sama Drajat,
tapi malah marah semarah-marahnya. “Bilang sama majikan lu yang sombong itu,
gua tersinggung! Lu pikir semua urusan bisa kelar sama duit! Kasih tau majikan
lu, gua kagak terima! Gua marah!”
Didin kembali ke rumah
majikan, dan leklok di depan Drajat yang juga memarahinya. Di sana dimarahi, di
rumah majikan dimarahi.
Keeseokannya hujan turun
semalaman. Hujan itu membuat comberan Bang Markum luber. Dan air comberan
ternyata rembes ke tembok kompleks, airnya yang hitam kental dan berbau itu
masuk ke halaman belakang rumah Drajat. Hal ini membuat Drajat semakin jengkel.
Pagi-pagi sekali dia datangi rumah Bang Markum dengan diantar Didin pakai moge.
Drajat protes pada Bang Markum yang sedang berada di dekat comberannya.
“Ini sudah keterlaluan,
Bang! Comberan abang sudah semakin meresahkan keluarga saya. Kalau
kemarin-kemarin baunya cuma ada di halaman belakang rumah, sekarang baunya
sudah masuk sampai ke dalam rumah saya!”
“Heh, orang gedongan!
Emang selama ini tembok kompleks perumahan lu kagak ngeganggu gua? Gua kagak
pernah protes, tuh?! Nah elu, cuman gara-gara bau comberan aja udah
blingsatan!”
“Oh, jadi abang
ngelawan? Oke, bang! Saya akan lanjutkan masalah ini ke pihak berwajib!”
“Terserah lu! Lapor aja
ke Presiden sekalian, gua kagak takut!”
Drajat menelan ludah,
lalu dia langsung angkat kaki tanpa permisi. Didin yang hanya berani mengintip
di kejauhan buru-buru nangkring di moge majikannya.
***
Siang ini cuaca mendung.
Hujan seperti akan kembali tumpah ruah malam ini. Pagi tadi, setelah
ribut-ribut dengan Drajat, Markum menyuruh istrinya beli jengkol lima
kilo, petai sepuluh keris, ditambah sayur asem, sambal terasi dan ikan jambal
asin. Istrinya kaget mendengar perintah Bang Markum. Tapi dia tidak berani
bertanya-tanya lebih jauh, malah senang karena pasti siang ini keluarga mereka
akan makan dengan lahap.
Di balik tembok comberan
Bang Markum, Drajat terdiam dengan wajah marah sekali. Drjajat tidak akan
melapor polisi karena kasus comberan ini. Lidya meminta mereka sebaiknya
membuat tembok lebih tinggi saja, nanti soal biaya Lidya akan minta pada
bapaknya. Drajat diam saja mendengar usulan istrinya.
Dan siang itu, Bang
Markum meminta keluarganya makan lebih banyak dan sekenyang-kenyangnya karena
hidangannya menu kesukaan keluarga mereka; semur jengkol, ikan asin jambal dan
lalap petai, dengan tambahan sayur asem ditemani sambel terasi. “Ntar kalo lu
pada mules dan pengen buang hajat, jangan buang di tempat laen. Lu berak di
comberan belakang!!!”
Semua mengangguk
mendengar permintaan Bang Markum yang berapi-api. Seperti biasa, semua menurut
kalau Bang Markum yang bicara. Semua anggota keluarga Bang Markum memenuhi
perintah untuk buang hajat di jamban comberan itu. Entah bagaimana nanti bau
kotoran mereka, perpaduan jengkol dan petai bersatu.
Malamnya hujan turun
lumayan deras. Air comberan itu luber. Airnya rembes ke tembok kompleks hunian
elite, lalu mengalir ke halaman belakang rumah Drajat. Jangan ditanya lagi bau
busuk yang menyengat dan menusuk-nusuk hidung itu, membuat keluarga Drajat yang
sedang berkumpul di ruang tengah langsung bubar. Sungguh ajaib, bau menyengat
itu bisa tembus ke dalam rumah.
Drajat semakin murka.
Lidya mengajak anak-anak menutup pintu kamar rapat-rapat. Di tengah hujan,
diam-diam Drajat ke luar rumah. Drajat berjalan cukup jauh untuk sampai ke
seberang tembok kompleks. Drajat akan bertemu dengan Bang Markum sambil membawa
senpi untuk menakut-nakuti.
Langkah Drajat terhenti
di depan rumah Bang Markum. Dia kaget karena rumah Bang Markum kebanjiran.
Terlihat genangan itu datang dari comberan belakang rumahnya sendiri. Drajat
menutup hidung karena aroma busuk yang menguar. Dia melihat Bang Markum dan
keluarga naik ke atas balai-balai rumah mereka. Di kampungnya musim korona
sudah habis, tapi Bang Markum sekeluarga masih memakai masker tiga lapis.
(Tangerang Selatan, 2024)
0 comments:
Posting Komentar