Cerpen: Zaenal Radar T.
KOMPAS, Minggu, 21 Mei 2023
Ilustrasi: Erica Hestu Wahyuni/Kompas |
“Sah...?”
“SAAAAH!!!”
Pertanyaan Pak Penghulu itu
dijawab dengan sigap dan serempak oleh para saksi. Lalu saksi dan hadirin
mengucap syukur. Setelah itu penghulu kampung membaca doa. Semua yang hadir
mendengarkan dengan khusuk dan mengaminkan, termasuk segelintir tamu undangan
lain yang hadir baik secara off-line maupun virtual, karena acara ini digelar
live melalui medsos mempelai perempuan. Elliza, perempuan cantik itu, telah
resmi dan sah bersuamikan telepon selulernya.
Para tamu undangan yang hadir
langsung memberikan selamat kepada kedua mempelai, terutama kepada mempelai
perempuan. Adapun mempelai lelaki, si telepon seluler itu, banyak mendapatkan
ucapan dari para netizen. Baik ucapan suka cita maupun pujian dan bahkan
makian. Tidak sedikit netizen mencemooh dan menghujat. Tapi kata si mempelai
perempuan, “Apa peduliku sama kaum netizen? Mereka enggak berhak ngatur
hidupku. Cuekin aja!”
Demikianlah cerita Elliza
kepada saya. Saya sendiri belum begitu percaya. Sebab saya masih belum
menemukan jawaban, apakah telepon seluler memiliki jenis kelamin? Kalau ada
telepon seluler laki-laki, tentu ada pula perempuan, atau mungkin banci? Saya
kemudian kembali mendengarkan cerita Elliza, yang tak lain sahabat saya ini.
Setelah itu, lanjut Elliza, dia
yang sudah resmi menjadi sepasang pengantin baru berpredikat suami-istri
menempati sebuah rumah baru di kompleks perumahan elite. Sengaja rumah lama di
dalam gang dia tinggalkan, berikut sejumlah tetangga yang dianggap selalu
nyinyir terhadapnya, bikin Elliza overthinking.
Di tempatnya yang sekarang, dia
katakan, berharap mendapat suasana baru, jauh dari ibu-ibu tetangganya dulu
yang selalu hectic dengan urusan orang lain. Elliza merasa tentram
setentram-tentramnya, walau baru beberapa hari tinggal di sana, bersama
pasangan hidupnya, si telepon selular.
Makhluk yang dia katakan tidak
pernah neko-neko, tidak pernah protes, tidak pernah ngambek, dan selalu setia
bersama menemani hari-harinya, yeah si telepon selulernya itu. Kalau soal
netizen yang kerap memberi komentar negatif kepada pasangan baru ini, Elliza
cukup me-nonaktifkan kolom komentar telepon selulernya, eh suaminya. Beres!
***
Dua tahun lalu, sebelum dia
memutuskan mengaku kawin dengan telepon selulernya, Elliza pernah dekat dengan
seorang lelaki. Bahkan kedekatannya dengan kekasihnya itu sudah sangat serius,
sepakat akan melangkah ke jenjang pernikahan. Tetapi entah kenapa, si lelaki
membatalkannya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Sampai saat ini Elliza
tidak pernah tahu alasan si lelaki membatalkan perkawinan mereka, meskipun
undangan sudah disebar, hotel tempat melangsungkan resepsi sudah di-booking,
dan katering sudah lunar dibayar.
Saya masih ingat, selepas
kejadian itu, sepanjang siang dan malam selama hampir seminggu Elliza mengurung
diri di kamar. Elliza tidak mau menemui siapa pun, termasuk saya yang kerap
mondar-mandir di depan rumahnya, khawatir dia bunuh diri. Setelah masa cuti
kantor berakhir, Elliza kembali bekerja seperti biasa. Hanya saja,
kepribadiannya menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Dia sudah tidak
lagi seceria sebelumnya. Elliza berubah menjadi sosok pendiam dan tertutup.
Bahkan hilang dari pergaulan dengan karyawan lain.
Hanya kepada saya Elliza
bersedia mencurahkan perasaanya. Boleh dibilang, sayalah lelaki satu-satunya
sahabat perempuan itu. Banyak orang menduga, saya kekasihnya. Padahal saya
hanya berteman biasa. Saya dan Elliza sudah bersahabat sejak kecil. Satu kelas
sejak sekolah dasar, bahkan satu sekolah di jenjang berikutnya. Setelah lulus
perguruan tinggi, takdir mempertemukan kami di tempat kerja yang sama.
Jujur saja, saya mencintainya
sejak baru mengenal arti jatuh cinta. Perasaan itu tidak pernah saya utarakan
sampai detik ini. Sebab Elliza sudah lebih dulu berucap, dia sudah menganggap
saya sebagai saudaranya. Sudah beberapa kali lelaki menjadi kekasihnya,
putus-nyambung, nyambung putus lagi, bahkan yang terakhir ingin serius menikah
dengannya. Disela-sela setiap hubungan asmaranya, saya berada di
tengah-tengahnya. Saya menjadi sapu tangan di saat dia menangis, menjadi ember
saat air matanya tumpah, menjadi sandaran saat dia terluka.
Elliza sudah tidak lagi punya
keluarga sejak kecil, ayah dan ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan kereta api.
Dia hidup dan dibesarkan di sebuah panti asuhan, sampai akhirnya berhasil
keluar setelah mendapat pekerjaan. Elliza pun telah menganggap keluarga besar
saya sebagai keluarganya.
Ada perasaan sakit bercampur
senang saat mendengar Elliza mengutarakan kepada saya dia akan melepas masa
lajang. Namun kala itu saya berharap semua berjalan dengan baik. Elliza hidup
bersama lelaki lain yang dia cintai, saya cukup menjadi sahabat selama-lamanya.
Dia katakan, dia tidak akan bisa jauh dari saya meskipun telah menjadi milik
orang lain. Waktu itu saya menyetujuinya, memakluminya, asalkan dia bahagia.
Yang membuat saya heran waktu
itu, Elliza melarang saya mengundang keluarga saya di resepsi perkawinannya.
Hanya saya yang boleh hadir. Dia bilang tidak mau mengundang banyak orang.
Tempat resepsi sengaja digelar di pelosok. Bukan di vila atau motel. Tidak
apa-apa di dusun terpencil, yang penting masih ada sinyal.
Elliza mengaku membayar
penghulu kampung. Penghulu yang dia katakan biasa menikahkan kawin kontrak,
menikahkan pasangan sejenis, bahkan sekarang si penghulu menikahkan dirinya
dengan telepon seluler. Saya shock saat tahu, pasangan hidup perempuan yang
sangat saya cintai ternyata telepon selulernya! Sayangnya, saya sendiri tidak
bisa hadir karena waktu itu sedang diare berat.
***
Saya penasaran dengan kehidupan Elliza sekarang. Apa yang dilakukan sepasang pengantin baru di rumah baru mereka, seorang perempuan yang kawin dengan telepon selulernya. Dan saat liburan kantor, pagi-pagi sekali saya tiba di kediaman Elliza. Perempuan itu menyambut saya, memeluk saya dengan hangat, lalu menarik lengan saya masuk ke halaman rumahnya yang luas. Dia bilang sudah menyiapkan hidangan untuk saya. Elliza akan mengambil sendiri minuman lebih dulu, karena dia memilih tidak punya pembantu.
Sebuah telepon seluler, yang
dia katakan sebagai pasangan hidupnya, teronggok di ujung meja taman. Saya
duduk menunggu Elliza mengambil minuman. Saya meraih telepon seluler itu,
menggenggamnya sesaat, lalu tiba-tiba saya ingin membukanya. Tapi saya ragu.
Saya takut perempuan itu tahu dan bakalan marah.
Selama ini saya belum pernah
meminjam atau memegang telepon selulernya. Baru kali ini, setelah si telepon
selulernya ini dia katakan resmi menjadi pasangan hidupnya, saya memberanikan
diri memegangnya. Saya benar-benar penasaran ingin melihat isinya.
Sayang, saya gagal membukanya,
karena tidak tahu kata sandinya. Saya letakkan kembali telepon seluler itu,
sambil menunggu kedatangan Elliza membawa minuman. Elliza datang membawa dua
cangkir kopi dan menyodorkan satu untuk saya. Dia tak perlu bertanya lagi soal
selera saya pada kopi hitam dengan sedikit gula.
Sebelum kami minum, terdengar
notifikasi telepon selulernya. Lalu dia pamit sebentar dan berjalan menjauh,
duduk di sudut dekat kolam renang. Elliza tidak bicara di telepon selulernya,
melainkan menekan-nekan tuts telepon selulernya sambil tertawa-tawa, entah
sedang mengetik apa. Dia terus menatap layarnya, memandanginya beberapa saat,
setelah itu dia tertawa lagi. Elliza tampak bahagia sekali. Saya belum pernah
melihat perempuan itu sebahagia seperti sekarang. Tawanya begitu lepas.
Saya terus menunggu dan
memerhatikannya. Apa yang sedang dia lakukan terhadap pasangan hidupnya...
telepon selulernya?
***
Sampai sore saya berada di sampingnya, ngobrol ngalor ngidul soal banyak hal, ditemani telepon selulernya. Saat saya pamit pulang, Elliza meminta saya untuk menginap. Elliza bilang saya bisa tidur di kamar tamu, sedangkan dia di dalam, sekamar dengan telepon selulernya.
Apa yang dilakukan sepasang
pengantin baru, seorang perempuan dan pasangannya; telepon selulernya? Apa
mungkin Elliza masih belum puas asyik masyuk dengan telepon selulernya itu.
Seharian ini, di sela-sela percakapan kami, selalu saja diselingi dengan
permintaan maafnya karena harus menjauh dari saya demi bercakap-cakap dengan
telepon selulernya. Atau kadang dia tertawa terpingkal-pingkal sambil tangannya
terus memegang erat telepon selulernya, sorot matanya tidak pernah lepas
menatap layarnya, seolah-olah tiada peduli dengan siapapun di dekatnya.
Berkali-kali dia meminta maaf karena sudah nyuekin saya.
Saya terhenyak saat Elliza
menceritakan kenapa dia harus kawin dengan telepon selulernya. Elliza sempat
mengatakan bahwa sebenarnya dia mencintai saya, dan pernah berharap menjadi
istri saya. Tapi semua itu harus dia buang jauh-jauh. Elliza tidak ingin
pertemanan yang sudah lama terjalin harus berakhir jika saya dan dia harus
hidup bersama.
Elliza sudah seringkali
mendengar ada pertemanan yang harus bubar gara-gara perceraian, Padahal sebelum
menikah hubungan mereka baik-baik saja. Itulah yang membuat Elliza berharap
hubungan saya dengannya cukup sebatas sahabat. Elliza hanya ingin hidup seperti
sekarang ini, terus menjalin persahabatan dengan saya, merawat pertamanan yang
sudah sekian lama terjalin, lalu memutuskan kawin dengan telepon selulernya.
Mendengar jawabannya, entah
kenapa saya seolah terhipnotis kata-katanya. Saya jadi berpikir untuk menjadi
seperti dirinya, kawin dengan telepon seluler saya. Tapi ini tentu sulit
terjadi. Saya harus menghadapi keluarga besar saya, yang tentu akan menentang
keinginan itu. Saya berbeda dengan Elliza, yang hidup sebatang kara, tidak
seorang pun mampu menghalang-halangi keinginannya memutuskan hidup sesuai
pilihannya.
“Kenapa perempuan itu menikah
dengan telepon selulernya?” tanya atasan saya, perempuan lajang yang sudah
berumur, saat saya ceritakan tentang Elliza.
Saya tidak mau menjawabnya langsung. Saya minta dia membuka email-nya besok pagi, semua alasan Elliza memilih menikah dengan telepon selulernya akan saya tuangkan semua di situ malam ini.***
Tangerang
Selatan, 2021-2023
0 comments:
Posting Komentar