Cerpen: Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah KAWANKU, No. 46/XXXII, 12-18 Mei 2003
Sumber: Majalah KAWANKU, No. 46/XXXII, 12-18 Mei 2003
Belakangan ini, setiap
malam aku selalu berharap segera pagi.
Setiap pagi aku inginnya segera siang!
Pagi sekali, setiap berangkat sekolah, aku selalu naik becak dari gang
depan rumah sampai ke ujung gerbang kompleks.
Dan siangnya, sepulang sekolah, kembali naik becak lagi, dari gerbang
kompleks sampai pintu rumah. Uh, aku
senang banget naik becak. Bukan soal
becaknya yang kupersoalkan. Tapi, abang
becaknya! Ya Si Abang Becak! Heran juga
aku, ada Abang Becak bertampang ‘cool’ macem abang becak di kompleksku
itu. Tampang kerennya enggak bisa
ditutup-tutupi oleh penampilannya sebagai abang becak!
sumber gbr: ndopart.com |
Itulah
makanya, setiap malam aku selalu berharap segera pagi. Setiap pagi inginnya beranjak siang! Aku kangen, rindu, kesengsem, sama si ‘cool’, si Abang Becak yang baru seminggu ini narik di daerah
kompleks perumahanku.
“Sekolah di
mana, non?” tanya si Abang Becak, dengan logat yang dibuat sesopan-sopannya,
saat pertama kali aku naik becaknya.
“Di 27,
bang.”
“Dua Tujuh?!”
“Ya, SMU Dua
Tujuh! Abang tahu?!”
“Oo, yang
sebelahan sama SMU Dua Delapan, yah…?”
“Salah! Yang deket Dua Enam!!”
Hehe, kami
ketawa. Dia tertawa dengan nafas
ngos-ngosan! Kasihan juga aku. Habis mau bagaimana, bukankah itu memang
pekerjaannya?
Di lain hari,
si Abang Becak yang tampangnya keren itu kembali jadi pilihanku. (O,ya, selama
dia mangkal, aku tak mau naik becak lain!)
“Bayarnya gopek aja, non.”
“Lho!?
Biasanya Seribu?”
“Iya, gopek
aja. Tapi ada syaratnya!”
“Apa bang?”
“Non yang
genjot!”
Hihihi. Aku
pingin mencubit lututnya. Tapi dia
mengelak. (Ih, genit amat ya, aku ini? Maklumlah, aku memang kesemsem berat
sama si Abang becak yang satu itu!)
Pada hari
berikutnya, si Abang Becak bilang, “Non naiknya gak usah bayar, ya..!” Lalu langsung kujawab, “Iya, bang. Tapi turunnya bayar, kan!? Atau, turunnya ditendang!!”
“Eh, serius,
non!” kata si Abang Becak.
“Kenapa?!”
“Hari ini
saya ultah!”
“Ultah!”
Siang itu aku
memang gratis naik becaknya. Dan
malahan, sebelum sampai gang rumahku, becaknya berbelok ke lain arah!
“Mau ke mana,
bang?!” aku kaget.
“Tenang! Saya
bukan penculik, kok!”
“Iya. Ke
mana?!”
“Kamu suka
bakso, enggak? Saya traktir, ya?”
Benar juga
saudara! Akhirnya kami mampir di kios
bakso langgananku. Kok, dia bisa tahu
kalo aku paling suka makan bakso di kios itu?
Dan, siang itu kebetulan aku lagi lapar berat!
“Namanya
siapa sih, non?” tanya si Abang Becak, saat nunggu pesanan datang.
“Aduh, mulai
sekarang jangan panggil saya non, ah!
Panggil saya Vinka!”
“Maaf, non! Eh Vinka! Saya kan baru tahu nama si non
sekarang…”
“Kalo abang,
siapa? Kok, bisa narik becak begini?”
Dan si abang
becak pun bercerita. Aku mendengarkannya
sambil makan bakso dan es campur kesukaanku.
Aih, aih… seru juga! Cewek SMU berduaan sama tukang becak!
Enggak
apalah! Daripada mikirin si Bergi
brengsek! Dan lagian, aku enggak ada
maksud apa-apa kok, sama si Abang Becak ini.
Dan kuharap dia pun begitu.
Tetapi kalau nantinya jadi lain, ya… gimana nanti aja lah! (Eits, jangan
harap ah, punya gebetan tukang becak!)
“Sebenarnya
saya enggak kepingin jadi tukang becak, Vin.
Lagian, siapa sih di dunia ini, yang punya cita-cita jadi abang becak?”
O’ya, abang
becak ini mengaku bernama Markum. Do’i
terpaksa narik becak demi biaya ibu dan adik-adiknya sekolah. Ibunya sudah tua, dan sering sakit-sakitan
sejak ditinggal mati suaminya. Adiknya
berjumlah lima orang yang keseluruhannya sudah sekolah semua. Untungnya, dua yang terbesar sudah bisa cari
uang sendiri, jadi tukang parkir di sebuah pertokoan sepulang sekolah! Uh, sedih juga mendengar cerita si Abang
Becak yang keren ini…
*
* *
Hari demi
hari berlalu dengan keceriaan. Hilang
segala perih di hati tentang ulah si brengsek Bergi! Ya, Bergi!
Cowok playboy kelas nyamuk itu.
Ternyata lebih plong enggak ada cowok!
Tahu-tahu begini, udah dari dulu aku putusin si Bergi itu. Habis, nyakitin melulu. Siapa sih cewek yang rela dibohongin
terus-menerus!?
Dan sekarang,
setelah si Bergi udah pergi jauh-jauh dari kehidupanku, aku enggak mau berfikir
tentang cowok dulu. Aku mau belajar yang
rajin. Cari kegiatan positif. Bukannya anti cowok, lho? Berkawan sih oke-oke aja. Tapi kalo sampai dijadikan ‘bokin’, entar
dulu deh! Lagian kalo aku mau serius, aku bisa kok ngegaet cowok-cowok teater
yang lumayan manis-manis itu! Asal tahu
aja, aku emang lagi tergila-gila sama teater!
Mulanya sih ngilangin suntuk aja.
Tapi lama-lama jadi kecanduan!
Kembali ke
soal si Abang Becak yang ca’em itu.
O’ya, akhirnya si Abang Becak bukan cuma mengantarku pagi dan siang aja,
saat aku pergi dan berangkat sekolah.
Karena gedung teater enggak jauh dari rumah, aku pun minta dianter ke
gedung teater dengan becaknya.
“Biar nanti
bareng mami, Vin! Kamu mau latihan
teater, kan? Sekalian aja ikut mobil
mami. Kebetulan mami mau ambil jahitan,”
rayu mami suatu sore. Tapi kutolak
dengan halus.
“Sori deh,
mi. Vinka naik becak aja…”
“Kan sama
mami lebih enak!?”
“Naik becak
aja, mi. Lagi enggak buru-buru, kok?”
“Demen amat
naik becak, sih? Pagi becak! Siang becak!
Sore…”
“Ih, mami
ini! Bagi-bagi rejeki, mi…!”
Mami
diam. Padahal semua itu cuma alasanku
saja. Kalo dipikir-pikir, daripada naik
becak si abang kan emang lebih oke naik sedannya mami. Apalagi, terus terang aja, si Abang Becak
yang satu itu bawa becaknya suka agak kaku gitu. Agak zig-zag!
“Kamu kayak
si Inem aja, Vin!”
“Emang kenapa
dengan si Inem, mi?”
“Kalo mami
perhatikan, dia itu akhir-akhir ini demen banget naik becak! Sebentar-sebentar ke pasar. Sebentar-sebentar ke warung. Tau deh beli apa. Jangan-jangan dia emang cuma kepingin ketemu
sama si abang becaknya yang katanya kece berat itu? Emangnya tukang becaknya ada yang keren
ya,Vin?”
Ya ampun,
mami! Pertanyaannya kok ngejebak begini?! Wuah, kalo mami sampai tahu
tukang becaknya keren banget, bisa-bisa dia juga jadi demen naik becak
nih! Hihi, enggak lah! Papi kan enggak kalah keren dibanding sama
tukang becak langgananku itu! Eh, eh, tega-teganya membanding-bandingkan papi
sama tukang becak!
“Vin! Denger
mami, enggak?!”
“Eh, oh…
iy-iya mi! Kenapa mi?!”
“Itu, tukang
becak yang mangkal di gang depan. Kata
Inem kayak bintang filem… Bener,
enggak?”
“Yaa,
mami! Biar keren begitu kan dia cuma
tukang becak?!”
“Husy! Jangan suka ngerendahi orang kayak gitu!”
“Habis, mami
sih...?!”
“Mami kan
cuma nanya, Vin. Kok jadi sewot begini?”
Hihi, mami
benar juga. Kok, aku jadi sewot, ya?
“Biar cuma
jadi tukang becak, yang penting halal,
Vin!” lanjut mami.
“Iya, mam…”
“Sekarang kan
jamannya krisis. Mungkin orang cakep
kayak dia terpaksa narik becak!”
“Iya, mam…”
“Daripada kaya
raya, tapi korupsi?”
“Iya, mam…”
“Tuh lihat,
mantan pejabat yang di penjara!”
“Iya, mam!
Uh, kok jadi nyerempet-nyerempet politik, sih?
Nanti aja deh, kalo papi pulang.
Ngomong politiknya sama papi aja!”
Mami diam.
Kelihatan misuh-misuh. Lalu kutinggalkan
mami. Berlari ke luar rumah, ke gang, ke
pangkalan becak! Pasti Si Abang Becak
udah nunggu di sana.
*
* *
“Waduh non,
sekarang dia udah ora narik laghi!” kata seorang tukang becak,
dengan logat Jawa yang kental.
“Abang tau,
enggak?”
“Mas ora ta-hu!”
“Nah, becak
ini!? Ini kan becaknya dia?!”
“Enak aj-ha!
Ini mbecaknya juragan! Tahu, ndak!”
“Tolong deh
mas, antar saya ke rumah juragannya.”
Walah,
akhirnya aku nekad ke rumah juragan becak! (Hihi, jangan-jangan tuh cowok anak
juragan becak yang pura-puranya jadi abang becak?) Enggak tahu deh, kok bisa jadi begini. Aku tiba-tiba kangen banget sama dia. Dan aku enggak mau kehilangan dia. Habisnya
udah dua hari ini si Abang Becak itu enggak kelihatan di pangkalan atau
di gerbang kompleks. Ke mana ya, dia?
Apa dia sakit? Apakah ibunya yang
sakit parah? Atau… telah terjadi sesuatu menimpa dirinya, sehingga dia enggak
bisa lagi narik becak?
Di rumah
juragan becak itu aku enggak berhasil mengorek informasi tentang si Abang Becak
itu. Semua penarik becak enggak tahu
siapa si Abang Becak yang kumaksud.
“Ngakunya sih
adiknya si Parto, neng!” ujar salah satu tukang becak.
“Tapi… si
Parto sendiri ndak kenal dia… si
Markum itu…”
“Tapi kagak apalah, dia anaknya baik, jujur,
setorannya lancar! Malahan, si Parto
dipersen segala!” tambah si juragan becak.
Orang-orang
di rumah juragan becak itu berkomentar tentang si Abang Becak yang kucari-cari.
Aku tak menemukan tanda-tanda mereka tahu siapa si Abang Becak itu!
Uh,
seumur-umur baru dua kali ini aku begitu kangen sama cowok. Pertama sewaktu pertama kali kenal sama
Bergi, waktu Bergi pergi naik gunung selama setengah bulan di gunung
Pangrango. Dan sekarang… sama si Abang
Becak itu!?
*
* *
“Vin, kok
melamun terus, sih?” mami mengagetkanku.
“Iya nih,
mi…” aku enggak punya semangat ngobrol sama mami.
“Kayak si
Inem aja!”
“Kenapa si
Inem, mi?” aku sedikit tertarik.
“Murung!
Biasa… mungkin karena ditinggal sang pujaan hati…”
“Maksud
mami?!”
“Tukang becak
yang katanya keren itu udah enggak nongol-nongol lagi di pangkalan!”
“Ah, mami…”
Sepertinya
mami tahu perasaanku. Tapi, sebisa
mungkin kututup-tutupi apa yang sesungguhnya terjadi menimpaku. Terus terang, aku gengsi mengakuinya. A-aku kangen berat sama si Abang Becak, namun
malu mengakuinya! Oh, menyedihkan… Atau…
justru memalukan…?!
“Udahlah,
Vin. Jodoh itu enggak akan
kemana-mana...”
“Miii…!!”
“Jodoh,
rejeki, kematian, ada di tangan Tuhan!”
“Mi! Maksud
mami apa, sih?”
“Kalo si
Bergi jodoh kamu, pasti dia akan tetap jadi milik kamu!”
“Bergi!!? Ih,
si brengsek itu…?”
“Terus… siapa
lagi, dong?!”
“Mi?”
“Jangan-jangan…”
Aku bergegas
meninggalkan mami. Kutinggalkan mami sendirian! Jangan-jangan mami memang tahu apa yang
tengah kupikirkan!
*
* *
“Vin! Vinka!
Ada tamu!” mami teriak-teriak dari luar kamarku.
“Siapa sih
mam, siang-siang begini, ngeganggu orang
tidur siang aja!”
“Vin…” mami
berbisik dari pintur kamar, saat pintu kamar kubuka.
“Tahu enggak,
siapa yang dateng…?”
“Si-siapa,
mam?”
“Bergi!”
“Bergi?!
Bilang ya mi, Vinka lagi enggak ada!
Atau, lagi latihan teater!”
“Tapi Vin…
Berginya lain! Keren banget!”
“Berginya
lain? Keren banget? Bukankah si Bergi juga keren?”
“Bergi kalah
keren, Vin…”
“Ih, mami
genit amat, sih?”
“Ya udah,
kalo enggak mau ketemu! Ada si Inem
ini!”
“Si Inem?!”
“Dia lagi
asyik ngobrol sama Inem!”
“Haaahhh…!!?
*
* *
Ternyata
benar pembaca! Tamuku siang ini si Abang
Becak! Tapi penampilannya lain dari
kemarin-kemarin. Kali ini bukan cuma tampangnya yang keren. Tapi penampilannya juga oke punya! Akhirnya kami ngobrol lama banget, setelah
dengan susah payah menyingkirkan Inem.
Kami lebih banyak ngobrol tentang teater!
“Pantes, kalo
kamu nganter aku latihan teater, anak-anak teater pada ketawa cekikikan!”
“O,ya?!”
“Enggak
taunya, kamu sendiri anak teater!”
“Sori ya,
Vin…”
“Enggak papa,
Jay. Ngomong-ngomong, khabarnya
anak-anak teater yang senior mau pada main sinetron? Sinetron apa yang bakal
kamu bintangi nanti? Serial remaja atau
dewasa…?”
“Belum tahu,
Vin. Tapi judulnya sih udah tahu…”
“Apa?”
“Abang
Becak!”***
*)
Pamulang Barat, Ciputat, 07
Desember 2002
0 comments:
Posting Komentar