Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: fiksiislami.com - 4 Mei 2023
Lebaran kali ini istriku mengingatkan agar
kami sekeluarga ziarah ke makam ibu. Aku setuju dan peristiwa kehidupan di masa
lalu kembali terngiang di kepala. Ibu dimakamkan di sebuah Tempat Pemakaman
Umum (TPU), di salah satu pemakaman ibukota. Sebenarnya waktu itu aku ingin
membawa mayit Ibu ke kampung halaman, menguburnya di sebelah makam kakek. Sudah
menjadi tradisi bagi kami, seluruh makam sanak famili dimakamkan secara
berdekatan. Orang-orang di kampung kami melakukan hal demikian; makam sanak
keluarga dimakamkan saling bersisian dengan makam saudara lainnya.
Di ibukota, tentu saja makam Ibu saling
berdekatan dengan entah makam siapa. Kalau saja waktu itu aku memiliki cukup
uang, tentu saja aku memilih memakamkan Ibu di kampung, bersebelahan dengan
makam Kakek dan Nenek, juga Paman dan Bibi yang sudah lebih dulu pergi ke alam
baka. Menguburkan Ibu di TPU itu pun bukan perkara mudah. Kalau saja tidak
dibantu oleh Pak Kuslan, lelaki langganan warung kopi Ibu, mungkin aku akan
kebingungan bagaimana memakamkan Ibu. Atas bantuan Pak Kuslan, akhirnya Ibu
dimakamkan di TPU itu.
ilustrasi: fiksiislami.com
Di Jakarta, di sebuah tempat di mana aku
dan almarhumah Ibuku tinggal, perkara menguburkan orang yang telah meninggal
tidak semudah di kampung. Di kampungku, sewaktu Kakek meninggal dunia, kami
cukup melapor pada ketua RT saat hendak menguburkannya. Setelah itu
tetangga-tetangga kami, tanpa diperintah, pergi ke pemakaman menggali lubang
kubur. Mayit kakek diperlakukan sebagaimana seorang muslim meninggal dunia.
Dimandikan, disalatkan, setelah itu dibawa oleh sanak keluarga dan dibantu
tetangga-tetangga dekat dengan sebuah keranda jenazah menuju areal pemakaman.
Di kampung kami, bila memerlukan keranda,
tinggal bilang pada pengurus masjid. Sebab keranda itu memang milik masjid,
yang artinya milik bersama. Semua penduduk bebas menggunakan keranda tersebut,
untuk keperluan membawa mayit ke tempat peristirahatan terakhir.
Yang terjadi di Jakarta, tempat di mana aku
dan almarhumah Ibu menetap, sungguh berbeda. Ketika Ibu meninggal, ternyata
mencari keranda jenazah tidak mudah. Pada saat aku, sebagai anggota keluarga si
mayit, bertanya di mana bisa mendapatkan keranda jenazah, aku ditanyai dari
yayasan apa, dan telah bergabung berapa lama. Saat itu tentu saja aku
kebingungan. Ternyata, menurut orang yang biasa mengurus jenazah di tempat aku
tinggal di Jakarta ini, bila tidak bergabung dengan salah satu yayasan yang
biasa mengurus jenazah, urusannya bisa berbelit-belit. Meskipun pemerintah
setempat sudah memudahkan untuk urusan ongkos penguburan yang murah, di lokasi
pemakaman kenyataan berbeda.
Kalau saja aku memiliki sejumlah uang untuk
membayar segala keperluan pemakaman Ibuku, urusan bisa lancar. Biaya itu,
menurut rincian yang disebutkan si pengurus makam, untuk petugas penggali
makam, untuk administrasi pengurus TPU, membayar mobil ambulan, tenda, dan lain
sebagainya. Belum lagi biaya yang harus aku keluarkan untuk membeli kain kafan,
kapas, minyak wangi, dan keperluan jenazah lainnya. “Kalau kamu terdaftar dalam
Yayasan Melati, semuanya sudah tinggal beres. Segala keperluan mayit dari rumah
hingga ke pamakaman akan diurus pihak yayasan,” ucap pengurus TPU yang kutemui,
dengan nada sangat ramah sekali.
Untung waktu itu ada Pak Kuslan. Kalau saja
tidak ada beliau, mungkin Ibu akan kumakamkan di dalam rumah kontrakan, atau
mungkin kuhanyutkan ke sungai Ciliwung. Sebab aku sudah hilang akal. Untuk
biaya mengurus mayit Ibu ketika masih di rumah kontrakan saja sudah
menghabiskan seluruh modal dan barang dagangan Ibu. Malangnya, harta yang kami
miliki itu tak cukup untuk membawa mayit Ibu ke kampung. Kalau saja bisa, tentu
aku tak akan serepot itu.
***
Sebelum Ibu wafat, aku dan Ibu telah hidup
bersama-sama mengontrak sebuah rumah petak. Ibu membuka kedai kopi
kecil-kecilan di dekat salah satu terminal bus kota. Sepanjang aku sempat, aku
membantu Ibu membawakan dagangannya dari rumah kontrakan hingga ke kedainya.
Meski Ibu kerap melarangku, aku tak pernah peduli. Ibu bilang padaku, “Sam,
kamu tidak usah bantu Ibu. Ibu bisa mengurus dagangan ibu sendirian. Kamu ke
kampus saja.”
“Tenang saja Bu, Sam bisa bagi waktu. Sam masih punya waktu buat bantu-bantu
Ibu.”
“Tidak usah, Sam. Nanti kamu malu sama teman-teman kamu. Masak sih punya Ibu cuma
jadi penjual kopi…”
“Bu…!”
Saat itu cukup lama aku menatap Ibu. Ibu
membalas tatapanku dengan senyuman. Aku tak membalas senyumnya, melainkan
menggeleng-gelengkan kepala. Aku hanya mau mengatakan, sebaiknya Ibu jangan
berkata begitu. Tapi mulutku mendadak kelu. Tak terasa, airmataku tumpah ruah.
“Kamu kenapa? Kok, malah nangis? Anak laki-laki jangan cengeng, ah!”
“Bu…” kugenggam tangan Ibu yang sudah mulai keriput, “Kenapa Ibu ngomong kayak
gitu?” akhirnya kata-kata itu keluar juga.
“Memangnya Ibu ngomong apa, Sam…?”
“Ibu pikir, Sam malu ya punya Ibu penjual kopi…? Sam nggak malu, Bu! Sam justru
bangga sama Ibu…”
“Sam, Sam… masak sih, kamu bangga punya Ibu penjual kopi?”
“Benar, Bu. Sam bangga sekali memiliki orangtua
seperti Ibu! Ibu banting tulang siang malam demi Sam.”
“Sam,” Ibu membelai rambutku yang panjang.
Rambutku memang agak gondrong. Soal rambutku ini Ibu tak pernah menyuruhku
memotongnya. Malah Ibu pernah bilang ketika rambutku kupangkas agak pendek,
“Sam, kalo Ibu perhatikan kamu kok lebih ganteng rambut gondrong…?” Entah Ibu
sungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu, atau cuma main-main. Sejak saat
itu, aku tak pernah memangkas rambutku jadi pendek.
“Sam…” Ibu kembali menyebut namaku sambil
membelai-belai rambutku.
“Ya, Bu…”
“Apa yang Ibu lakukan selama ini, memang sudah menjadi tanggungjawab Ibu. Kamu
kan tahu, Bapak kamu itu nggak bertanggung jawab. Dia menelantarkan hidup kita.
Kalau bukan Ibu, siapa yang mengurus kamu…”
“Tapi Bu…”
“Sudahlah, Sam. Ibu mampu mengurus kamu tanpa bantuan bapakmu itu. Yang
penting, kamu harus terus belajar. Nanti kalau kamu sudah lulus, kita pulang
kampung saja. Nanti Ibu akan kembali menetap di sana, dan kamu bisa bekerja.
Sebab kalau kamu jadi orang pintar, Ibu yakin kamu akan diterima bekerja di
mana saja…”
“Ya, Bu. Sam janji, kalau Sam lulus dan bekerja, Sam akan merawat Ibu…”
Waktu itu kupeluk Ibu erat-erat. Dan tanpa
kusadari, ternyata itu adalah pelukan terakhir aku dan Ibu. Karena beberapa
minggu kemudian, Ibu berpulang menghadap Sang Maha Pencipta.
Kepergian Ibu seperti sebuah gelegar petir di siang bolong. Aku tersentak
ketika temanku mengabarkan, bahwa Ibu tergeletak kaku di dekat meja
dagangannya. Langganan ibu yang sedang mengopi di tempat Ibu berjualan, masih
menurut temanku, langsung membawa Ibu ke rumah kontrakan. Setelah itu barulah
diurus, yang dibantu oleh Pak Kuslan.
Aku tidak tahu kenapa Ibu mendadak
meninggal dunia. Barangkali Ibu menyimpan penyakit yang tak pernah kuketahui.
Sebab selama ini Ibu tak pernah mengeluh di depanku. Bila di suatu kesempatan
kulihat wajahnya memucat, beliau selalu mengatakan baik-baik saja. Aku yakin,
Ibu menyimpan penyakit yang sudah teramat parah, namun hanya ia rasakan saja.
Ibu tak mau memeriksakan diri ke dokter, karena ia pikir biaya kuliahku yang
besar lebih penting. Ibu… (Sungguh, menyadari hal ini airmataku tak bisa
berhenti menetes!)
Sebenarnya, bulan depan aku sudah harus
mengajak Ibu menghadiri wisudaku. Aku ingin menunjukkan pada Ibu, inilah hasil
jerih payahnya selama ini. Anak Ibu menjadi seorang sarjana. Anak seorang
penjual kopi di terminal jadi orang pintar. Masih lekat dalam ingatanku, biaya
terakhir yang Ibu keluarkan untuk membiayai skripsiku, adalah lebih dari
setengah modal dari barang dagangannya. Ibu mengatakan akan meminjam dengan Pak
Kuslan, seorang sopir bus yang kudengar pernah menjadi teman Ibu semasa di
kampung.
***
Setelah Ibu wafat dan dimakamkan, aku
kembali ke kampung dengan gelar sarjana. Selama lima tahun, aku cuma dua kali
ziarah ke makam Ibu di Jakarta ini, itu pun hanya saat lebaran. Itu terjadi dua
tahun lalu. Sudah setahun ini, aku tak bisa datang berziarah ke makam Ibu. Hal
itu menyangkut kesibukan pekerjaan baruku di kantor gubernur. Aku diterima
bekerja di pemerintahan sebagai seorang pegawai negeri. Tuhan, seandainya Ibuku
masih hidup, pasti beliau akan senang sekali.
Mengingat TPU tempat Ibu dimakamkan, aku
jadi terbayang akan kesulitan yang kurasakan beberapa tahun silam, ketika aku
kebingungan bagaimana harus memakamkan Ibu. Ini sebuah pelajaran hidup yang
bisa kuambil hikmahnya, untuk kujadikan sebagai bekal hidupku dikemudian hari.
Setelah menjabat sebagai salah satu kepala bidang pemerintahan di daerahku, aku
menginstruksikan kepada pemuka masyarakat dan para pengembang pemukiman baru,
agar mereka memperhatikan Tempat Pemakaman Umum di daerah mereka masing-masing.
Dengan didirikannya banyak hunian baru berupa perumahan real estate,
kompleks-kompleks RSS (Rumah Sangat Sederhana), biasanya menyediakan berbagai
fasilitas. Ada fasilitas olahraga, pusat perbelanjaan, pendidikan, rumah
ibadah, dan lain-lain. Lebih-lebih ada sebuah pengembang yang membangun
lapangan golf.
Satu hal yang kerap kali terlewatkan oleh
mereka adalah, fasilitas pemakaman. Seringkali aku menegur pengembang, mengapa
mereka lupa memerhatikan pemakaman? Hal itu kulakukan bukan hanya karena aku
mengingat mayit Ibuku ketika meninggal dunia, tetapi coba bayangkan, dimana
para penghuni perumahan baru itu dimakamkan jikalau keluarga anggota mereka
meninggal dunia, bila tidak menyediakan fasilitas pemakaman? Terutama bagi
keluarga yang tidak mampu. Apakah mereka dimakamkan di rumah masing-masing?
Atau jangan-jangan -ini tentu cuma guyon- untuk efesiensi lahan mereka
dimakamkan dengan posisi berdiri…? Aku khawatir kejadian yang pernah menimpaku
ketika mengurus mayit ibuku di ibukota terjadi pada orang lain.
Oh, aku sekarang sudah berada di TPU dimana
Ibuku dimakamkan. Lebaran kali ini tidak berbeda dengan biasanya, banyak orang
mendatangi makam sanak keluarga mereka untuk berzirah. Aku berjalan menuju ke
tempat di mana mayit Ibu ditanam. Sudah hilir mudik hampir tiga kali, aku tak
juga menemukan makam Ibu. Apakah aku datang ke pemakaman yang salah? Kurasa
tidak. Mendiang Ibu memang dimakamkan disini. Aku masih ingat benar, Ibu
dimakamkan di sudut paling belakang tak jauh dari dinding pembatas pemakaman
dengan rel kereta api.
Aku memerhatikan nama-nama pada batu nisan.
Dan ternyata memang tidak kutemukan nama Ibuku. Jangan-jangan aku memang salah
alamat. Tapi, rasanya aku tidak salah. Lebih baik kuhubungi pengurus TPU.
Seorang lelaki yang beberapa tahun kutemui, lelaki ramah yang murah senyum,
segera kusapa.
“Saya mencari makam…” aku menyebutkan nama almarhumah, sekaligus mengingatkan
si pengurus makam tentang siapa aku sebenarnya.
Lelaki itu nampak mengingat-ingat. Setelah
memerhatianku dengan seksama, sepertinya dia ingat siapa lelaki muda yang dulu
tak henti-hentinya mengeluarkan airmata di dekat makam ibunya.
“Maaf, Nak. Karena masalah administrasi, makam Ibu kamu telah kami satukan
dengan makam lain yang baru…”
“Maksud Bapak…?”
“Mungkin kamu lupa pada peraturan di TPU ini? Kalau terlambat membayar iuran
tahunan selama dua tahun berturut-turut, maka pihak TPU berhak menggantikan
makam itu dengan makam baru…”
Mendengar kata-kata si pengurus makam,
sesaat aku terdiam seperti patung Jenderal Sudirman yang berdiri tegak diapit
gedung-gedung menjulang. Kini semakin kusadari, betapa mahalnya ongkos hidup di
kota besar seperti Jakarta, hingga manusia yang sudah meninggal dunia pun
meninggalkan beban biaya hidup.
Setelah mendengar penjelasan si pengurus
TPU, aku segera membayar hutang makam Ibu yang belum dibayar. Meski lelaki baik
itu menolak, aku tetap memaksa agar ia mau menerima uang pemberianku. Aku
berharap, semoga almarhumah Ibuku tidak memiliki beban hutang setelah ia
meninggal dunia. Dan aku pun selalu berdoa, semoga Ibu memiliki rumah yang
lebih besar dan indah di kehidupan selanjutnya, tanpa harus menyewa seperti di
TPU yang sempit dan kecil ini.***
0 comments:
Posting Komentar