Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: litera.co.id - 27 Desember 2023
Wak Jeple barangkali bengkong atawa tukang sunat tradisional terakhir
di kampung kami. Sebab tidak ada anak atau cucu yang bisa melanjutkan karirnya
sebagai bengkong. Dengar-dengar Wak Jeple masih tampak gagah walau usianya
sudah lebih dari delapan puluh tahun.
Menurut cerita kakak-kakak saya, Wak Jeple itu macam orang
sakti. Dia pernah menyunat tiga puluh anak dalam sehari! Tapi itu dulu.
Belakangan ini, di kampung kami belum pernah lagi terdengar ada anak yang
disunat menggunakan jasa bengkong. Karena warga lebih memilih anak-anak mereka
disunat mantri kampung atau dokter.
Saya sendiri lupa kapan persisnya saya disunat. Kata ayah ketika
saya berusia 2 tahun. Padahal di kampung kami rata-rata usia seorang anak
lelaki disunat saat berumur 7 tahun ke atas. Kenapa saya sunat pada umur
segitu, karena masih menurut ayah, ‘burung’ saya mengalami kelainan. Hal itu
yang mengharuskan saya disunat lebih awal dari pada anak lain seumuran. Dan
saya tidak ingat ketika seorang dokter datang ke rumah dan menyunat saya.
Berbeda dengan kakak-kakak saya, mereka mengaku disunat oleh Wak
Jeple. Bahkan paman dan saudara lelaki saya dari pihak ibu juga hampir semuanya
sunat dengan Wak Jeple. Usia mereka waktu disunat rata-rata tujuh tahun lebih.
Tentu umur segitu seorang anak telah memiliki ingatan yang cukup. Dan mereka
tidak akan pernah melupakan momen-momen ketika berhadapan dengan Wak Jeple,
bengkong yang mengesekusi ‘burung’ mereka.
Menurut cerita kakak tertua saya, ketika dirinya disunat dengan
Wak Jeple, pagi-pagi sekali sebelum disunat dia sudah harus mandi, tepatnya
setelah terdengar azan subuh. Mandi pagi sengaja dilakukan, menurut Wak Jeple,
agar nantinya tidak terlalu sakit saat disunat. Tubuh yang dingin menggigil
dipercaya akan menambah daya tahan tubuh dari rasa sakit disunat. Setelah mandi
dikenakan baju koko, lalu memakai kain sarung. Menunggu Wak Jeple datang
merupakan hal yang sungguh menegangkan, seperti menunggu seorang ekskutor yang
akan mengambil ujung kulit yang teramat vital!
Waktu itu, menurut cerita kakak kedua, yang juga disunat oleh
Wak Jeple, dia hampir kabur dari rumah saat mendengar suara bel sepeda yang
berhenti di samping rumah. Itu adalah sepeda khas Wak Jeple. Wak Jeple waktu
itu masih gagah-gagahnya, dan dia selalu bersepeda saat menyunat pasiennya. Itu
dia lakukan karena dia tidak mau merepotkan keluarga sang pasien. Dia tidak
ingin dijemput atau diboncengi. Dia datang sendiri dengan sepeda ontelnya.
Setelah memarkir sepeda, dia langsung menemui keluarga pasien sambil membawa
tas koper berukuran kecil berisi alat sunat.
Wak Jeple bertubuh kekar dan tidak terlalu tinggi untuk ukuran
laki-laki normal. Kedua lengannya besar-besar, dan selalu terlihat pakai kain
sarung meskipun mengenakan celana panjang. Kemeja putih dan peci hitam salah
satu trade mark-nya juga. Kabarnya, saat Wak Jeple masih aktif jadi bengkong,
anak-anak ketakutan saat mendengar bel sepedanya, seperti kakak saya sewaktu
disunat dulu.
Sebelum eksekusi dilakukan, biasanya Wak Jeple mengobrol dulu
barang sebentar dengan keluarga dan anak yang akan disunat, dan ucapan yang
keluar dari mulutnya selalu hal-hal yang lucu. Ini dia lakukan karena ingin mengusir
ketegangan bagi si anak dan keluarga. “Dibuang ujungnya aja, kok? Dikiiit
banget. Kagak bakalan sakit. Lebih sakit digigit semut!” begitu ucap Wak Jeple
setiap akan beraksi.
Koper kecil dibuka dan alat-alat sunat dikeluarkan. Ada penjepit
khusus, ini terbuat dari besi. Lalu pisau kecil seperti pisau lipat, alat yang
digunakan untuk memotong. Selain pisau lipat itu, sebenarnya ada alat lain yang
digunakan, yakni olat.
Olat terbuat dari kulit bambu yang dibuat pipih dan tipis pada bagian tepinya,
sehingga ketajamannya menyerupai pisau yang baru diasah.
Sebelum sunat dilakukan, ada semacam ritual dan doa-doa yang
dilafalkan Wak Jeple. Tidak ada suntik bius atau memberikan obat pereda rasa
sakit yang diberikan kepada si anak yang akan disunat. Dua orang dewasa
biasanya berada di sisi kiri dan kanan, berdiri di dekat bahu si anak. Mungkin
disiapkan untuk memegangi si anak kalau-kalau dia berontak. Wak Jeple
berjongkok, kemudian dia siap menjepit ujung ‘burung” si anak, setelah itu
memotongnya. Cras!!! Selesai. Oh, belum. Biasanya si anak diberikan obat merah
dulu, semacam obat luka.
Kakak saya bilang, sewaktu selesai disunat, dia menangis keras.
Di situlah Wak Jeple langsung menghiburnya, mengatakan itu semua tidak apa-apa.
Nanti juga waras. (maksudnya, sembuh). “Kagak usah nangis. Pan jauh ke perut!”
Setelah itu Wak Jeple membersihkan alat sunatnya, dan siap mengikuti sedekah
sunatan. Sedekah sunatan ini semacam kendurian yang dipimpin oleh seorang
ustaz, dengan diikuti oleh para tetangga sekitar rumah. Selepas sedekah, seekor
bekakak ayam yang ada di areal sedekah itu dibawa ke anak yang sunat, sebelum
dibagikan kepada yang lain. Si anak yang sunat dapat jatah makan bekakak ayam
lebih dulu. Setelah itu uang sawer pun berdatangan, baik diberikan begitu saja
maupun menggunakan amplop.
Saweran uang itulah yang sebenarnya menjadi iming-iming seorang
anak bersedia disunat, karena dia bakalan dapat saweran dari sanak family dan
warga sekitar. Uang itu diberikan kepada si anak, lalu si anak memasukkanya ke
dalam saku atau dompet besar yang telah disiapkan.
Ada juga yang mengarak pengantin sunat keliling kampung diiringi
ondel-ondel. Dan tidak sedikit keluarga si anak yang sunat menggelar hajatan
dengan hiburan layar tancap atau lenong keliling. Semua dilakukan untuk menyenangkan
hati si anak yang baru saja kehilangan ‘ujung burungnya’.
Ada beberapa pantangan untuk anak-anak yang telah disunat. Ini
diucapkan Wak Jeple sebelum pamit. Pantangan pertama adalah jangan terlalu
banyak bergerak, jangan makan yang amis-amis dan pedas, jangan mandi dulu.
Boleh berjalan tapi jangan jauh-jauh. Tapi memang dasar kakakku katanya anak
bandel, selepas sunat dia sudah pergi ke sana ke mari, sehingga malamnya dia
menangis karena masih merasakan nyeri.
Satu hal lagi, pantangan bagi anak yang baru disunat, yaitu
pantangan tidak tertulis yang dipercaya membuat anak yang disunat lama
sembuhnya. Yakni saat berjalan dia tidak boleh melangkahi daun kering. Jadi
saat berjalan, dia harus benar-benar melihat apakah ada daun kering di
hadapannya atau tidak. Kalau memang ada, daun kering itu harus disingkirkan
lebih dulu sebelum dilangkahi. Untuk menyingkirkan daun kering yang menghalangi
jalan, si anak sunat membawa tongkat. Agar kain sarung tidak mengenai ‘burung’
yang habis disunat, biasanya menggunakan tepes atau potongan sabuk kelapa kering
yang diikat di pinggang bagian depan si anak. Sehingga saat berjalan, tepes
tersebut memberikan perlindungan agar terhindar dari gesekan-gesekan. Tapi saat
ini, ada kain dan alat pelindung khusus yang bisa digunakan oleh pengantin
sunat, jadi tidak perlu sibuk mencari sabuk kelapa.
***
Dan sebentar lagi keluarga kami akan menggelar sunatan untuk
adik kami. Usianya sudah lima belas tahun lebih dua bulan. Tapi Syahroni, adik
laki-laki bontot kami, belum juga disunat. Alasanya, karena Syahroni takut
dokter. Jangankan didekati, melihat dari jauh dia sudah lari terbirit-birit.
Ketakutan Syahroni terhadap dokter bukan tanpa alasan. Saat usianya delapan
tahun, ketika mau disunat dia mendadak sakit. Entah sakit karena stress mau
disunat atau karena apa. Syahroni dibawa ke dokter dan disuntik. Syahroni
merasakan pantatnya keram selama dua hari dua malam. Sejak saat itu dia menolak
untuk dibawa ke dokter ketika sakit. Walaupun dijanjikan tidak akan disuntik,
Syahroni kapok ke dokter.
Malam itu selepas isya, kami berembuk di ruang keluarga.
“Kalo sama dokter bae dia
takut, pegimana cara
nyunatinnya?” tanya Bang Sukron, kakak tertua saya. Dia yang paling khawatir
kalau-kalau Syahroni tidak disunat sepanjang umurnya. Mengingat siapapun tahu,
muslim laki-laki wajib disunat kalau sudah akil balik. Dan Syahroni seperti
yang kami tahu, sudah lewat akil balik.
“Kita bius bae!”
seloroh Bang Sukma, adiknya Bang Sukron.
“Jangan ngaco! Ini serius!” kata ibu saya akhirnya. Kemudian
semua orang menatap saya. Saya terdiam karena belum dapat ide. Lalu saya
menjentikan jemari, semua senang. Mereka yakin saya sudah punya pendapat. Tapi
kemudian saya menunduk lemah, karena ragu untuk bicara.
“Huuuh, gua kirain lu udah punya ide!” Bang Sukron melirik saya
dengan wajah gedek banget.
“Maaf sebelumnya nih abang-abang. Si Syahroni kan bukan takut di
sunat, ye? Dia takut sama dokter, kan?” ucap saya akhirnya, berusaha membuka
kebuntuan sidang keluarga. Semua mengangguk. Saya melanjutkan, “Kalo gitu gini
aja. Di Kampung kita kan masih ada Wak Jeple, bengkong yang suka nyunatin
anak-anak. Dulu kalo kagak salah Bang Sukron sama Bang Sukma disunat sama Wak
Jeple, kan?”
“Itu mah dulu, Kum. Semua anak lelaki di kampung ini emang sunat
sama Wak Jeple. Zamannya udah beda. Udah kagak ada lagi anak yang sunat sama
bengkong!”
“Dicoba aja dulu. Siapa tahu kalau sama bengkong Si Syahroni mau
disunat.”
“Apa Wak Jeple masih mau nyunatin anak-anak?”
“Kita belum tanya ke beliau, jadi kita belum tahu dia mau atau
enggak nyunatin si Syahroni”
Semua anggota keluarga menghela napas panjang. Rapat keluarga
ditutup dengan hasil menggantung. Dan semua sepakat, saya mendapat tugas
menghubungi Wak Jeple.
***
Keesokan harinya saya langsung menemui Wak Jeple di rumahnya.
Saya sempat tanya sana sini dan tersesat jalan, karena memang tidak pernah lagi
ke rumahnya sejak sepuluh tahun terakhir. Selepas kuliah dan bekerja, saya
sudah menetap di pusat kota, karena dapat jatah rumah dinas. Paling cepat
pulang ke rumah orangtua tiga bulan sekali, karena selalu berkomunikasi
melalui video call atau
Hp. Saat pulang saya pun tidak kemana-mana, hanya berdiam di rumah.
Kali ini saya pulang untuk acara sunatan sang adik. Ternyata
jalan menuju rumah Wak Jeple sudah banyak perubahan di sana sini, baik bangunan
rumah maupun jalan-jalan gang sekitar umah warga. Sudah tidak tampak lagi tanah
becek, karena semua sudah diaspal. Tanah-tanah kosong sudah berubah jadi
cluster-cluster, kompleks perumahan sederhana yang terdiri dari puluhan unit
saja. Dan rumah Wak Jeple terjepit di ujung tembok cluster salah satu kompleks.
Wak Jeple tinggal bersama cucu dan cicit-cicitnya. Dia tersenyum
saat saya datang dan meminta untuk menyunati adik saya esok lusa. Saya
perhatikan wajahnya yang menua tapi tetap kelihatan segar, rambut kepala dan
kumis serta jenggotnya memutih. Kulit tangannya mengisut, dan tampak gemetar
jemarinya saat merokok. Sudah setua ini, kata cucunya dia masih sulit dilarang
menghisap nikotin.
Inti pembicaraan kami adalah, cucu Wak Jeple menolak permintaan
saya dan keluarga untuk menyunati adik saya. Karena sudah lebih dari tujuh
tahun Wak Jeple sudah tidak lagi jadi bengkong, seseorang yang berprofesi
sebagai tukang sunat. Cucu Wak Jeple menyarankan saya menemui dokter atau
mantri sunat. Apalagi sekarang sudah ada pula dokter sunat menggunakan
teknologi laser.
Masalahnya, adik saya tidak mau disunat mantri atau dokter.
Jangankan disunat, bertemu saja dia langsung kabur karena trauma. Saya pun
akhirnya memaksa sang cucu agar mengizinkan Wak Jeple menyunati adik saya.
Anggap saja ini terkahir buat Wak Jeple sebagai bengkong. Sang Cucu akhirnya
luruh dan menyerahkan semua ini ke Wak Jeple. Wak Jeple mengangguk sambil tak
lupa tersenyum. Kali ini dia tak berucap barang sekata dua kata seperti biasa.
Saya tak mendengar canda tawa yang keluar dari mulutnya seperti cerita
kakak-kakak saya.
Saya pulang dan mengabarkan kepada keluarga, lusa pagi Wak Jeple
akan datang menyunati adik saya. Berbagai hal dipersiapkan. Ayah saya senang
karena akhirnya anak bontotnya akan disunat setelah menunggu lebih dari lima
belas belas tahun. Dan tentu akan mengakhiri gunjingan beberapa warga karena
sudah setua itu adik saya belum disunat.
Dan hari yang dinanti tiba. Syahroni sudah dipaksa mandi
pagi-pagi sekali. Setelah itu dia mengenakan baju koko dan kain sarung. Karena
sudah beranjak remaja, sunat akan dilakukan di dalam kamar, tertutup untuk umum
dan keluarga. Hanya aku dan paman yang dibolehkan menemaninya. Kakak-kakak aku
menyerah dan memilih kabur saat ditugasi ayah membantu Wak Jeple. Mereka
memilih menyiapkan segala sesuatu untuk acara sedekah dan jamuan buat sanak
family serta para tetangga.
Sampai hari menjelang siang, Wak Jeple yang ditunggu-tunggu
belum juga tiba. Bengkong terakhir di kampung kami itu belum juga nongol batang
hidungnya. Bel sepeda-nya yang khas belum terdengar. Dan saya akhirnya ditugasi
menjemputnya. Siapa tahu sepedanya rusak di tengah jalan, atau memang dia perlu
dijemput karena sudah tidak muda lagi. Saya lupa menanyakan nomor yang bisa
dihubungi, sehingga terpaksa saya harus ke rumahnya.
Dengan menggunakan sepeda motor, saya berangkat menjemput
Wak Jeple. Setiba di gang depan rumahnya, setelah melewati jalan dan gang-gang
beraspal dan cluster perumahan, saya dikejutkan oleh warga yang sedang memasang
bendera kuning. Ini pertanda ada seseorang yang meninggal. Saat saya tanyakan,
ternyata Wak Jeple baru saja berpulang.
“Innalillahi wainnailaihi roojiun.” Saya benar-benar shock.
Saya langsung menemui cucu Wak Jeple yang tengah berduka.
Sebelum saya berkata-kata, si cucu sudah langsung mengutarakan permintaan maaf
karena belum sempat mengabarkan saya dan keluarga. Wak Jeple meninggal dunia
selepas solat subuh di kamarnya. Cucu Wak Jeple mengira Wak Jeple sudah bersiap
mendatangi pasien terakhirnya yang akan disunat, tapi ternyata tubuhnya telah
kaku.
Saya langsung pulang untuk mengabarkan kepada keluarga dan adik
saya yang akan disunat. Setelah memarkir motor di samping rumah, keributan
sudah terdengar dari luar. Kakak tertua saya sedang marah-marah, mengatakan
kalau adik saya Syahroni kabur karena mengaku belum siap disunat. Semua anggota
keluarga menatap kedatangan saya dengan raut wajah kecewa. Mereka tidak
menanyakan kenapa saya tidak bersama Wak Jeple yang akan menyunati adik saya.
Semua malah berlari mengejar adik saya yang kabur melalui pintu belakang
sebelum saya berkata-kata.***
*)Tangerang Selatan, 2023
0 comments:
Posting Komentar