Cerpen Zaenal Radar T.
Dipublikasikan dalam Buku: Wak Ali dan Manusia Lumpur (FLP DKI, 2016)
Dipublikasikan dalam Buku: Wak Ali dan Manusia Lumpur (FLP DKI, 2016)
Sejak rumah kerabatnya dihantam ombak setinggi tujuh meter beberapa puluh tahun silam,
Markum berjanji di dalam hatinya, ia tak akan mau tinggal dekat-dekat dengan
laut. Saat jalan-jalan plesir ke laut-pun, Markum selalu ingin buru-buru
pulang. Ia takut laut mendadak
marah, lalu menyapu tempat plesir dan ia ikut digulung ombak.
“Hidup dan mati kita di tangan Allah, Kum,” ujar Bisri, sahabat dekatnya
yang tinggal di pesisir pantai.
“Itu benar Bisri. Tapi tak jarang manusia menciptakan peluang untuk
kuburnya sendiri,” ujar Markum, tak mau kalah. Bisri sesaat terdiam. Sementara
itu Markum menarik nafas dalam-dalam, seolah ingin kembali menghempaskan
kata-kata.
“Coba kamu bayangkan. Kenapa sebuah daerah yang tak pernah banjir, tapi
setelah hutan di atas permukiman mereka gunduli, tiba-tiba berubah menjadi
banjir bandang? Bukan cuma harta mereka, tetapi nyawa ikut melayang. Bukankah itu berarti
mereka sudah menggali
lubang kubur mereka sendiri?”
“Ya, ya... aku percaya. Tetapi kita
harus ingat, kematian itu
sudah ada yang mengaturnya.”
“Makanya, mending kamu pindah saja. Aku takut ombak akan menelan rumah dan
keluargamu!”
“Aku menyukai pantai. Lebih baik aku tinggal disini saja.”
Sejak saat itu Markum dan Bisri jarang sekali bertatap muka, kecuali saling
menelpon atau saling
berkirim pesan singkat. Sekalinya mampir ke rumah Bisri, Markum hanya beberapa
saat saja, khawatir tiba-tiba
ada ombak datang menggulungnya. Makanya, ketika membaca berita prakiraan
cuaca di televisi, saat badan meteorologi mengumumkan akan adanya ombak besar,
Markum pasti menelpon sahabatnya itu, mengingatkan Bisri agar hati-hati. Kalau
bisa, cepat-cepat mengungsi ke tempat yang jauh dari pantai.
Namun begitu, sampai beberapa tahun berlalu, Bisri tetap hidup normal
dengan keluarganya, dan mereka selamat tak kurang suatu apa. Berbeda dengan
sahabatnya, Markum, yang selalu resah dan gelisah, khawatir Bisri ditelan
lautan.
Saat ini Markum menetap di pinggiran kota yang cukup jauh dari lautan.
Markum memang tak pernah melihat air yang begitu besar jumlahnya, seperti ketika berada di bibir pantai. Tetapi
sebenarnya, bukan berarti Markum tak pernah merasakan air menggenangi halaman
rumahnya.
Suatu hari pernah hujan lebat. Rumah Markum dan tetangga lainnya ikut
terendam air. Tetapi air tersebut hanya setinggi belasan sentimeter, setelah
itu kembali terserap tanah. Markum sangat memaklumi hal itu. Dan ia tak merasa
takut sedikitpun. Banjir seperti di pinggiran kota tempatnya tinggal merupakan hal biasa. Air
bisa diduga datangnya.
Ini berbeda dengan tinggal di pantai. Ketika ombak datang entah dari ujung
laut mana, apa yang bisa diperbuat? Markum tak percaya sebuah alat canggih mampu
mencegah datangnya bencana.
***
Diwaktu berikutnya berita duka
kembali mengemuka. Ratusan rumah luluh lantah di sebuah daerah. Penyebabnya
karena semburan lahar gunung merapi. Bisri menelpon Markum, tepat satu jam
setelah kejadian.
“Kamu baik-baik aja, Kum?” tanya Bisri di ujung telpon.
“Alhamdulillah... rumah aku jauh
dari gunung, jauh dari pantai. Tak pernah ada ombak tinggi atau terkena dampak
letusan”
“Ah, biasanya kan kamu juga kebanjiran?” kali ini nada bicara Bisri seperti
menyindir.
“Di tempatku bukan kebanjiran, tapi tergenang air...”
“Apa bedanya...?”
“Beda, dong. Tergenang air tak pantas disebut banjir.”
“Setiap air yang tergenang, itu namanya banjir!” Bisri tak mau kalah.
“Oke, oke... aku ngalah. Yang
jelas, banjir yang airnya hanya menggenang tak membahayakan. Tidak sampai
menenggelamkan orang. Apalagi menghanyutkannya!”
Setelah itu, pembicaraan Markum dan Bisri sampai kepada obrolan tentang
keadaan keluarga masing-masing. Keduanya sepakat tak lagi mempersoalkan bencana
atau malapetaka apa yang akan menimpa mereka.
***
Baru kemarin sore Markum dan keluarganya berwisata di sebuah danau sekitar rumahnya. Anak-anak senang sekali melakukan berbagai permainan.
Permainan favorit mereka permainan mendayung dan permainan menyebrang dari
sebuah ketinggian. Hampir setengah harian mereka berada di sana. Setelah
selesai, semua makan-makan di restoran yang letaknya di tepi danau tersebut.
Sepulang dari kegiatan rutin keluarga itu, Markum mengajak istri dan
anak-anaknya langsung pulang. Sebab hujan sudah mulai turun sejak siang hari,
setelah mereka selesai mengikuti rangkaian permainan di tempat rekreasi
tersebut. Hujan bukan hanya deras, namun begitu panjangnya.
Setibanya di rumah, Markum dan keluarganya berkumpul di ruang tengah. Istri
dan anak-anaknya nampak kelelahan. Markum sendiri terduduk di sofa malas sambil
menonton acara televisi. Markum berniat tidur lebih awal dari biasanya, sebab
esok hari ia akan bertugas keluar daerah.
Hari ini Markum memang sengaja berlibur bersama keluarganya. Sebab keesokan
harinya, meski sebenarnya hari libur, Markum mendapatkan tugas dari tempatnya
bekerja untuk mengontrol kantor cabang jauh di luar kota. Itulah sebabnya hari
ini ia minta libur satu hari, agar bisa liburan bersama dengan istri dan kedua
anaknya yang masih berumur tiga dan lima tahun itu.
Saat istrinya beranjak menidurkan kedua anaknya di kamar masing-masing,
Markum hendak menyusul ke kamar. Di luar hujan kembali tumpah ruah. Rasanya tak
ada kegiatan lain yang lebih indah selain merebahkan tubuh dan menarik selimut
rapat-rapat. Tetapi belum jauh Markum beranjak, sebuah ketukan pintu depan rumah mengurungkannya. Markum
jengkel bukan main. Siapa sih malam-malam
begini bertamu?
Dengan malas, Markum melangkah menuju pintu depan. Markum membukakan pintu,
dan seorang lelaki paruh baya tersenyum tipis padanya.
“Pak RT...?”
“Maaf kalau saya ngeganggu Pak
Markum...”
“Tidak apa-apa Pak RT. Ada apa
ya...?”
“Anu Pak Markum. Eee... barusan saya dan beberapa warga mengontrol ke
sekitar tanggul danau,
sepertinya ada rembesan di bagian tepinya...”
“Maksud Pak RT...?”
“Tanggul situ itu... danau
itu… saya khawatir airnya akan limpas”
Sesaat Markum nampak berpikir. Tidak seperti biasanya Pak RT terlihat resah
seperti ini. Pasti ia mengkhawatirkan warganya yang berada di sekitar lembah
yang letaknya di bawah danau
itu.
“Coba Pak Markum perhatikan. Air udah mulai masuk ke halaman rumah Bapak,”
ucap Pak RT, sambil memandang ke luar rumah Markum. Markum pikir ini biasa,
karena sepanjang siang dan malam ini langit seperti menangis tiada henti-hentinya.
Air hujan itu belum mampu meresap ke dalam permukaan tanah.
“Saya harus bagaimana, Pak RT?” tanya Markum, sambil menatap air muka Pak
RT yang terlihat penuh kekhawatiran.
“Sebaikanya Pak Markum dan keluarga siaga. Saya takut tanggul situ jebol!”
Markum menyunggingkan senyuman, seolah-olah kalimat yang diucapkan Pak RT
barusan sebuah bualan belaka.
“Sudah ya Pak Markum, saya harus memberi tahu warga lainnya. Selamat
malam!”
“Baik Pak RT. Terima kasih. Selamat malam.”
Pak RT bergegas meninggalkan rumahnya, lalu masuk ke teras rumah warga lainnya.
Markum memandangi kepergian Pak RT, lalu tatapannya memandang kepada limpasan
air yang terus memenuhi halaman rumahnya. Setelah itu ia masuk kamar.
Sampai larut malam, Markum yang berniat tidur lebih awal masih belum mampu
memejamkan kedua matanya. Kata-kata Pak RT terus-menerus menggedor-gedor isi
kepalanya, “Sebaikanya Pak Markum dan
keluarga siaga. Saya takut tanggul situ jebol!”
Lewat tengah malam, Markum bangkit dari tempat tidurnya. Sebelum melangkah
keluar kamar, sesaat Markum memandangi istrinya yang tertidur lelap. Rasanya ia
tak tega membangunkannya. Markum beranjak ke luar kamar, lalu memasuki kamar
anak-anaknya. Kedua anaknya nampak tidur lelap, diapit beberapa bantal yang
menyerupai binatang lucu.
Saat beranjak ke pintu depan, Markum melongok ke halaman rumah. Gerimis
masih sesekali tumpah, namun genangan air terlihat semakin meninggi. Beberapa
warga nampak berjalan tergesa-gesa sambil membawa buntalan dan anak-anak
melintasi depan halaman rumah Markum.
“Pak... Pak... ada apa Pak...?” selidik Markum.
“Kami mau mengungsi dulu Pak. Air makin tinggi! Apa bagak kagak ngungsi?”
“Eee... iya Pak, nanti saja...”
Lelaki tersebut kembali melangkah sambil menuntun seorang anak dan istrinya
yang menggendong satu anaknya lagi yang masih kecil. Markum masuk ke dalam
rumah, dan ia semakin tak bisa tidur. Kegelisahan mulai menyergapnya.
Kekhawatiran menghantuinya. Tapi Markum yakin, keadaan akan baik-baik saja.
Sebelum memasuki kamar, Markum membangunkan kedua anaknya agar pindah ke
kamarnya. Hal ini membuat istrinya sedikit jengkel.
“Kenapa sih Pak...? Ganggu mereka tidur aja...?”
“Biar saja Bu, aku kangen sama mereka. Besok kan aku sudah harus meninggalkan
anak-anak.”
“Kamu nggak kangen sama aku?”
“Ya kangen dong, Bu... Sudah bu, yuk tidur lagi.”
Istri dan anak-anaknya yang sempat terbangun mulai kembali memejamkan mata
mereka. Tetapi tidak bagi Markum. Sampai menjelang subuh, kedua mata Markum
masih saja kering. Markum beranjak keluar kamar, lalu ia melongok ke luar
rumah. Air yang menggenangi halaman rumahnya semakin tinggi saja. Beberapa
orang kembali melintas dengan barang bawaan menuju ke permukiman yang letaknya
lebih tinggi dari daerah dimana Markum dan keluarganya tinggal.
“Pak Markum!! Cepat Pak, kita harus ke atas!!” teriak salah seorang warga,
sambil membawa sebuah buntalan.
“Ya, ya... baik Pak!”
Markum kembali ke kamarnya, lalu memandangi anak-anak dan istrinya yang
semakin lelap saja. Tiba-tiba, dari arah luar, terdengar suara benda-benda
berbenturan. Gemuruh air seolah guntur menggelegar di udara. Genangan air
menerpa kakinya, menonjok-nonjok daun pintu dan dinding rumahnya. Markum tak
berani keluar rumah, apalagi saat terdengar teriakan warga, “Banjiiiiir....!!! Tanggul
jebooool....!!!!”
Markum melompat ke dalam kamar, langsung membangunkan anak-anak dan
istrinya.
“Ada apa pak...?!!!”
“Bu, kita harus keluar dari rumah ini!!!”
Markum nampak kebingungan. Ia menatap langit-langit kamar. Lalu ia menyuruh
anak-anak dan istrinya menyingkir dari tempat tidur, kemudian buru-buru meraih
sebuah bangku, dan meletakkannya di atas kasur. Markum menjebol internit rumah,
dan dengan susah payah naik ke atasnya.
“Paaaakkkk... ada apa sih...?!” Istri Markum panik luar biasa.
“Sudah Bu!! Cepat angkat anak-anak ke atas, kita nggak mungkin bisa keluar
rumah lewat pintu depan!”
“Astaghfirullaaaaah!!!”
Istri Markum
panik seperti kerasukan jin, bergerak cepat, merangkul kedua
anaknya, lalu satu persatu mengangkatnya ke atas loteng.
“Cepaaaaaaaatttt...!!!”
“Banjiiirrrr...! Banjiiirrr...!!!”
teriakan seseorang menggema di luar rumah.
***
Markum bersama istri dan kedua anaknya berhasil keluar lewat atap rumah.
Mereka selamat dari terjangan air yang semakin lama semakin tumpah ruah. Meski
mereka berhasil menyelamatkan nyawa, namun tidak bagi keutuhan bangunan rumah. Bangunan rumah Markum
satu persatu rontok oleh terjangan air entah dari mana. Markum tak percaya bila
bah
bisa tiba-tiba saja menggulung permukimannya.
Tak ada yang tersisa, kecuali apa yang melekat ditubuh mereka. Markum
memeluk kedua anak dan istrinya sambil menangis. Markum tak mempedulikan rumah
dan harta benda yang lesap ditelan bah dalam sekejap. Selepas itu, beberapa
orang disekitar Markum dan keluarganya menangis pilu. Keluarga mereka hanyut
diterjang gelombang. Ada nenek kehilangan anak dan cucu-cucunya. Ada cucu
kehilangan kakek dan neneknya. Beberapa suami kehilangan istri dan anak. Beberapa
anak kehilangan orangtua. Seorang bapak harus kehilangan istri dan semua
anak-anaknya. Suami kehilangan istri. Istri kehilangan suami. Begitu banyak
orang yang kehilangan. Begitu banyak nyawa meregang.
Markum bingung kenapa semua ini terjadi. Tapi kata-kata sahabatnya
terlintas di kepala begitu saja, “Markum…
Hidup dan
mati kita di tangan Yang Maha Kuasa...” ***
*)Kota Tangerang Selatan, 2010-2016
0 comments:
Posting Komentar