Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di tabloid Keren Beken, Thn X, 18-31 Mei 2009
Dimuat di tabloid Keren Beken, Thn X, 18-31 Mei 2009
Elliza sudah tahu
kebiasaan cowok yang tinggal di sebelah rumahnya. Sejak tinggal di rumah
barunya, setiap sore cowok itu selalu berada di balkon belakang rumahnya, duduk
menghadap ujung langit. Cowok itu
menyandarkan tubuhnya di sebuah kursi malas. Dan tampaklah senyumnya merekah
manakala di ujung cakrawala menyemburat cahaya keemasan. Cahaya senja.
Ingin rasanya Elliza
berkunjung ke rumah cowok baru itu. Berkenalan lalu mengobrol tentang banyak
hal. Tetapi Elliza masih belum berani.
Akhirnya Elliza hanya bisa memendam keinginannya, menunggu sampai tiba waktunya.
Paling nggak, Elliza berkhayal, seandainya suatu saat ia memiliki kesempatan
duduk di sebelahnya, memandangi senja bersama-sama. Sebab hanya ketika hari
senja saja Elliza bisa melihat cowok itu, tidak diwaktu lainnya.
Pagi hari, ketika Elliza
hendak berangkat sekolah, tak pernah ia menemukan cowok itu di depan atau
balkon belakang rumahnya. Begitupula pada siang hari, ketika dirinya kembali
dari sekolah. Apalagi malam hari. Maka semakin yakinlah Elliza, bahwa cowok itu
hanya keluar rumah pada senja hari. Hal itu membuat Elliza semakin penasaran.
“Mungkin tuh cowok
sinting, kali?” komentar Nisa, mendengar cerita Elliza tentang cowok baru yang
tinggal di sebelah rumahnya.
“Apa sih enaknya,
sore-sore duduk ngadepin langit?” tambah Sasa.
“Emang nggak ada kerjaan
apa?” Rara ikutan komentar.
“Justru itulah uniknya.
Gue jadi penasaran banget sama tuh cowok...” ujar Elliza, dengan mimik serius.
“Emang anaknya kayak
siapa, sih?”
“Ganteng nggak?”
“Jangan-jangan lo suka
ngeliatin dia karena tuh cowok keren banget, ya?”
“Gini aja deh. Gimana
kalo ntar sore kita sama-sama liat tuh cowok...?” usul Elliza akhirnya.
“Setuju!!!”
Sorenya, Elliza Cs
bersama-sama memperhatikan cowok baru yang berada di sebelah rumah Elliza,
cowok yang tengah asyik menikmati senja. Ketika Elliza dan kawan-kawan tiba di
rumah, mereka tidak menemukan si cowok di balkon rumahnya seperti biasa.
“Mana? Kok nggak ada
siapa-siapa?”
“Jelas aja dia enggak
keluar rumah. Liat dong, kan cuaca sore ini lagi mendung!”
“Terus apa hubunganya?”
Rara penasaran.
“Kan gue udah bilang, cowok
itu cuma keliatan kalau cahaya senja datang. Sore ini kan enggak keliatan
cahaya senja, karena matahari tertutup awan. Ngerti nggak lo?”
Semua anak menghela
nafas. Mereka masih bingung.
***
Semua sohib Elliza jadi
penasaran. Keesokan sore mereka kembali mampir di rumah Elliza, hanya untuk
melihat siapa tahu cowok di sebelah rumahnya itu berada di balkon rumahnya. Dan
senja itu mereka benar-benar bisa melihat cowok itu. Di ujung langit, mentari
senja bercahaya keemasan. Cowok itu nampak bahagia menikmati pemandangan
cakrawala.
“Ya ampun, Elliza...? Keren banget tuh
cowok...!”
“Nggak nyangka, elo punya
tetangga Afgan!”
“Namanya siapa seh...?!”
“Ssst...! tenang deh!
Kok, jadi pada norak gini seh? Ntar kalo dia tahu kita lagi ngintipin dia, bisa
mokal kita!”
“Oke, Rat! Tapi, kayaknya gue nggak sabaran pengen kenal
sama tuh cowok!”
“Iya Rat! Ntar keburu
disambar orang!”
“Elo tuh Sa! Emang gledek
apa, pake nyamber segala?!!”
Elliza Cs tertawa
bersama-sama. Tetapi tawa mereka terhenti saat si cowok mengalihkan pandang.
Elliza Cs buru-buru sembunyi, lalu semua masuk ke dalam rumah dengan posisi
merangkak di lantai, berusaha agar tidak terlihat oleh si cowok.
Sejak saat itu, Elliza Cs selalu memperhatikan cowok
tetangga baru Elliza yang keren itu, yang selalu duduk mengarahkan pandang ke
ujung langit, pada cahaya senja. Meskipun begitu, mereka selalu kalah cepat.
Setiap kali tiba di rumah Elliza, mereka sudah menemukan si cowok telah duduk
di balkon rumahnya itu, bersandar pada sebuah kursi malas.
Dalam satu kesempatan, Elliza berniat datang ke rumah si
cowok sendirian. Tetapi Elliza bingung, apa yang bakal ia jadikan alasan. Masak
sih cuma kepingin kenalan aja? Ntar dikira dia naksir lagi. Meskipun emang
kenyataan, sih. Ah, Elliza ada akal. Gimana kalau Elliza pesan kue yang enak,
terus pura-puranya Elliza mau kasih hadiah buat si cowok.
Siang sepulang sekolah, diam-diam Elliza sudah menyiapkan
kue yang dibelinya di sebuah toko kue. Dengan langkah ragu, Elliza mendatangi
rumah kediaman si cowok. Saat sudah berada di depan gerbang, seorang perempuan
setengah baya membuka pintu.
“Ada apa non?”
Elliza tersenyum ramah, “Bu... Saya Elliza. Saya yang
tinggal di sebelah rumah ini. Mau kasih kue ini...”
Perempuan setengah baya itu tersenyum, “Ya, saya pernah kok
liat si non waktu si non berangkat sekolah. Terima kasih ya kuenya...”
Elliza mengangguk. Perempuan setengah baya itu mengambil
kuenya dan masuk ke dalam rumah. Elliza masih berdiri dan terbengong-bengong.
Tadinya Elliza berharap dirinya disuruh masuk ke dalam rumah, lalu berkenalan
dengan seluruh keluarga tetangga barunya itu, termasuk si cowok yang selalu
berada di balkon saat senja datang.
Nyatanya, Elliza kembali ke rumah dengan tangan hampa. Dan
sore ini sengaja ia bela-belain enggak pergi les. Elliza menunggu si cowok,
mengintipnya, melihat apakah si cowok duduk di balkon seperti biasanya.
Sayangnya, siang itu Elliza ketiduran. Hampir saja Elliza terlewat dengan momen
yang ia tunggu-tunggu.
Senja hampir saja berlalu saat Elliza berada di belakang
rumahnya, mengintip ke arah balkon rumah tetangganya. Si cowok nampak duduk
dengan raut wajah bahagia. Elliza bisa dengan jelas melihat si cowok mengunyah
sesuatu sambil mengarahkan pandang ke ujung langit, pada cahaya senja. Elliza
ikut senang, karena ia bisa memastikan kalau si cowok memakan kue yang tadi
siang ia berikan pada seorang perempuan setengah baya itu.
Keesokan harinya, sepulang sekolah, Elliza kembali mampir
ke rumah tetangganya itu. Kali ini Elliza akan berterus terang, kalau dia ingin
bertemu dengan si cowok yang selalu berada di balkon saat senja datang.
Saat sudah berada di depan gerbang, Elliza berhadapan
dengan seorang lelaki seumuran papinya. Lelaki itu tersenyum ramah menatap
Elliza.
“Permisi Om, saya Elliza. Saya tinggal di sebelah. Mau
kasih kue ini buat...eee... keluarga rumah ini...”
“Oooh, jangan-jangan kamu juga ya, yang kemarin bawa kue
ini ke sini?”
Elliza tersenyum sambil mengangguk cepat.
“Silahkan masuk kalau begitu...”
Hmm... Elliza senang bukan main. Sebab kali ini ia punya
kesempatan bisa bertemu langsung dengan si cowok yang bikin ia penasaran itu.
Elliza enggak bermaksud macam-macam. Elliza cuma ingin mengenalnya. Sekalian
ingin bertanya, kenapa cowok itu senang sekali berada di balkon rumahnya bisa
senja datang.
“Silakan duduk...” ucap lelaki itu, mempersilahkan Elliza.
Elliza duduk sambil sesekali melirik ke seteiap sudut
ruangan. Rumah tersebut nampak sepi.
“Kamu mau minum apa? Eee...siapa tadi nama kamu?”
“Elliza Pak...”
“Ya, Elliza. Maaf, saya lupa. Ee... kamu mau minum apa
Elliza?”
“Teh juga boleh...”
“Oke, sebentar ya...”
Lelaki itu meninggalkan Elliza. Elliza kembali memandangi
ke setiap sudut ruangan. Elliza lalu melangkah mendekati dinding, melihat-lihat
foto berpigura yang terletak di sana. Elliza menemukan beberapa foto milik si
cowok itu. Saat Elliza masih asyik menatap foto-foto tersebut, si lelaki sudah
kembali dengan segelas teh.
“Om, yang ini foto siapa” tanya Elliza, sambil menunjuk
foto si cowok.
“Eee... itu foto Randy. Keponakan saya...”
Elliza mengangguk-angguk. Sekarang Elliza sudah tahu nama
cowok itu, Randy! Hmm... besok dia akan ceritakan pada semua sohibnya, kalau
cowok itu bernama Randy.
“Om, sekarang Randy-nya kemana?”
“Randy...eee... sekarang di lagi ke rumah sakit..”
Elliza tersentak mendengar jawaban lelaki itu.
“Ee...Randy sakit pak?”
“Ah, enggak. Dia enggak apa-apa. Cuma check up biasa saja.”
Setelah itu Elliza dan om-nya Randy mengobrol tentang
banyak hal. Terutama masalah sekolah Elliza dan keluarga. Tak sepatah kata pun
membicarakan soal Randy. Elliza sendiri menyesal kalau dia jadi lupa diri,
mengobrol tentang dirinya sendiri ketimbang mengorek soal siapa Randy.
Di sekolah, Elliza menceritakan tentang pertemuannya dengan
Om-nya Randy. Sohib-sohib Elliza antusias mendengarnya.
“Ell, besok-besok kalau mau ketemu si Randy itu jadi
gampang dong. Gue ikut ya..”
“Iya Ell! Gue juga jadi penasaran neh...”
“Ya udah, ntar sore kita sama-sama ke rumahnya. Kemarin gue
udah janji sama om-nya, mau ketemu langsung sama si Randy...”
Menjelang senja, Elliza Cs sudah berkumpul di belakang
rumah. Mereka mengintip ke arah balkon rumah Randy, dan melihat dengan jelas
cowok itu duduk di kursi malas menghadap ujung langit. Randy nampak bahagia
sekali.
Elliza Cs lalu segera mendatangi rumah Randy. Mereka di
sambut perempuan setangah baya. Elliza mengutarakan keinginannya, bertemu
dengan Randy. Elliza Cs diajak menuju balkon rumah Randy. Saat semua sudah
berada di balkon, Randy masih duduk di kursi malas sambil memandang ke arah
ujung langit. Randy tidak terusik atas kedatangan Elliza dan sohibnya.
“Lihatlah cahaya senja itu...indah ya...” ujar Randy, tanpa
melihat ke arah Elliza Cs.
“Eee...maaf, kalau saya mengganggu kamu. Saya...Elliza, dan
ini teman-teman saya... Rara, Sasa, dan Nisa...”
Randy masih memandangi ke arah ujung langit, pada cakrawala
yang berwarna merah keperakan, cahaya senja.
“Ya, saya sudah tahu. Semalam Om Hendro sudah cerita. Kamu
yang kasih kue enak itu kan? Makasih ya...” ujar Randy, masih terus menatap ke
ujung langit, menatap cahaya senja.
Jelas saja Elliza Cs kebingungan. Mereka saling tatap.
“Somse banget nih cowok...” bisik Rara, yang akhirnya
terkena sikutan tangan Elliza, “Ssst... tenang deh...”
Saat Elliza Cs masih kebingungan dengan sikap Randy, dari
arah pintu balkon, Om Hendro datang lalu memberikan isyarat pada Elliza Cs.
Elliza Cs keheranan, lalu berjalan menuju ke arah Om Hendro.
“Ada apa Om?” tanya Elliza, setelah mereka sudah berada di
dalam ruangan.
“Maaf, kalian pasti belum tahu siapa Randy. Harap kalian
memaklumi sikapnya. Dia itu anak yang baik. Saat ini, penglihatannya sedang
terganggu. Ia tidak bisa melihat. Semua ini akibat kecelakaan yang menimpa dia
dan seluruh keluarga. Randy masih beruntung bisa selamat, meski tak lagi bisa
melihat...”
Elliza Cs tersentak, dan semua terlihat sedih.
“Om... maaf, kami enggak tahu kalau Randy buta...” ujar
Rara, yang kembali kena sikutan tangan Elliza.
“Baiklah Om, sekarang kami mau ketemu Randy lagi...”
“Ya, silahkan. Tapi Om harap kalian memaklumi keadaannya.
Dia memang menyukai cahaya senja sejak ia masih bisa melihat.”
Setelah itu Elliza Cs kembali berjalan menuju balkon.
Mereka menemukan Randy yang tengah asyik menatap ke ujung langit, pada cahaya
senja yang berwarna merah keperakan. Randy nampak tersenyum bahagia,
seolah-olah pandangannya bisa menatap indahnya cahaya senja.
“Kalian pasti setuju, kalau cahaya senja itu indah...” ujar
Randy, tanpa melihat ke arah Elliza Cs. Elliza Cs mengangguk. Randy nampak
bingung karena suasana hening, kemudian mengarahkan pandang ke sekeliling.
Elliza mengatur nafas dalam-dalam, lalu..., “Ya...cahaya senja memang indah.
Aku juga suka...!!”
Kini pandangan mata Randy mengarah pada Elliza. Setelah itu
Randy tersenyum.
Sejak saat itu, tanpa ditemani teman-temannya,
hampir setiap sore Elliza kerap mengunjungi balkon rumah Randy, menemani Randy
menatap ujung langit, menikmati cahaya senja yang indah. Elliza senang bisa
berbagi kebahagiaan dengan sahabat barunya. Dan tiba-tiba Elliza jadi begitu
mencintai senja***
0 comments:
Posting Komentar