*)Zaenal Radar T. (kontributor buku "Narasi Baru" FLT 2018)
Saudara, Festival Literasi Tangerang Selatan 2018 (FLT) sukses digelar pada 17-18 November. Ini adalah FLT ke-2, setelah tahun lalu sukses diselenggarakan di tempat yang sama, Kandank Jurangk Doank, Ciputat, Tangerang Selatan. Perlu saudara sekalian ketahui, agaknya kegiatan ini menjadi kegiatan tahunan, yang artinya bakal rutin dibuat setiap tahun. Menurut Airin Rahmi, walikota Tangsel disela acara penutupan FLT 2018 yang saya hadiri, kegiatan festival literasi ini rangkaian kegiatan dalam rangka ultah kota Tangerang Selatan ke-10.
Saudara, FLT kali ini mengusung tema Narasi Baru. Ada banyak orang-orang hebat yang hadir mengisi acara dalam fesitval ini, dan ini tentu banyak memberikan ilmu bagi para peserta yang didominasi anak-anak muda Tangerang Selatan. Mudah-mudahan ilmu yang diberikan menjadi bekal bagi mereka-mereka untuk menelurkan karya-karya briliant dikemudian hari.
Beberapa bulan sebelum acara, panitia sudah woro-woro kasih pengumuman menerima naskah cerpen dan puisi. Tahun lalu saya ikut memberikan naskah cerpen untuk ikut memeriahkan festival literasi ini. Saya pikir, tahun ini saya tak perlulah ikut mengirimkan. Tapi tiba-tiba surel saya dikirimi permintaan untuk ikut mengirimkan naskah dari panitia, yang didominasi anak-anak muda kaum milenial itu. Saya pun mengirimkan salah satu cerpen saya. Judulnya, Tembok Berlin Di Kampung Kami.
Saudara, cerpen ini berkisah tentang kampung yang dibelah dengan sebuah tembok tinggi oleh proyek pengembang permukiman baru. Warga kampung menyebut tembok tersebut dengan nama Tembok Berlin. Tembok ini memisahkan jalan di kampung, jalan yang harusnya bisa ditempuh dengan waktu singkat namun jadi berlama-lama karena harus putar jalan... (Selanjutnya akan saya post cerpennya di bawah ini).
Jadi saudara, saya senang mengirimkan naskah saya - cerita pendek, karena memang saya gak bisa memberikan apa-apa dalam program mereka (anak-anak muda Tangsel ini), selain sebuah cerpen. Cerpen ini dibukukan dalam antologi: Narasi Baru. Dan alhamdulillah kalau cerpen ini disebut sebagai cerpen terbaik.
Gak ada catatan apapun dari saya soal acara ini, saudara. Saya hanya planga plongo melihat semangat anak-anak muda Tangsel yang luar biasa, takjub gitu deh, dan mereka mendatangkan nara sumber luar biasa dan kekinian. hehe. Saya hanya bisa berharap semoga acara literasi terus ada di Tangerang Selatan, menjadi acara tahunan yang berkesimbungan... dan kembali hadir tahun depan.***)
Cerita Pendek:
TEMBOK BERLIN DI KAMPUNG KAMI
Zaenal Radar T.
Saudara, Festival Literasi Tangerang Selatan 2018 (FLT) sukses digelar pada 17-18 November. Ini adalah FLT ke-2, setelah tahun lalu sukses diselenggarakan di tempat yang sama, Kandank Jurangk Doank, Ciputat, Tangerang Selatan. Perlu saudara sekalian ketahui, agaknya kegiatan ini menjadi kegiatan tahunan, yang artinya bakal rutin dibuat setiap tahun. Menurut Airin Rahmi, walikota Tangsel disela acara penutupan FLT 2018 yang saya hadiri, kegiatan festival literasi ini rangkaian kegiatan dalam rangka ultah kota Tangerang Selatan ke-10.
Gbr: Jadwal FLT 2018 / instagram flt 2018 |
Saudara, FLT kali ini mengusung tema Narasi Baru. Ada banyak orang-orang hebat yang hadir mengisi acara dalam fesitval ini, dan ini tentu banyak memberikan ilmu bagi para peserta yang didominasi anak-anak muda Tangerang Selatan. Mudah-mudahan ilmu yang diberikan menjadi bekal bagi mereka-mereka untuk menelurkan karya-karya briliant dikemudian hari.
Beberapa bulan sebelum acara, panitia sudah woro-woro kasih pengumuman menerima naskah cerpen dan puisi. Tahun lalu saya ikut memberikan naskah cerpen untuk ikut memeriahkan festival literasi ini. Saya pikir, tahun ini saya tak perlulah ikut mengirimkan. Tapi tiba-tiba surel saya dikirimi permintaan untuk ikut mengirimkan naskah dari panitia, yang didominasi anak-anak muda kaum milenial itu. Saya pun mengirimkan salah satu cerpen saya. Judulnya, Tembok Berlin Di Kampung Kami.
Gbr: Buku antologi FLT 2018 |
Jadi saudara, saya senang mengirimkan naskah saya - cerita pendek, karena memang saya gak bisa memberikan apa-apa dalam program mereka (anak-anak muda Tangsel ini), selain sebuah cerpen. Cerpen ini dibukukan dalam antologi: Narasi Baru. Dan alhamdulillah kalau cerpen ini disebut sebagai cerpen terbaik.
Photo: IG flt |
Gak ada catatan apapun dari saya soal acara ini, saudara. Saya hanya planga plongo melihat semangat anak-anak muda Tangsel yang luar biasa, takjub gitu deh, dan mereka mendatangkan nara sumber luar biasa dan kekinian. hehe. Saya hanya bisa berharap semoga acara literasi terus ada di Tangerang Selatan, menjadi acara tahunan yang berkesimbungan... dan kembali hadir tahun depan.***)
Cerita Pendek:
TEMBOK BERLIN DI KAMPUNG KAMI
Zaenal Radar T.
Tembok beton itu berdiri kokoh membatasi wilayah perkampungan
dengan hunian kompleks perumahan. Tembok dibuat kekar dan tingginya sekitar
tiga meter setengah. Dengan begitu, bila warga kampung hendak berjalan menuju
kantor kepala desa atau menuju pasar tradisionil, mereka harus berkeliling
mencari jalan alternatif, sejauh lima kali lipat dari jarak seharusnya. Sebab tembok
tersebut berdiri mengeliling berhektar-hektar tanah kompleks perumahan, membelah
jalan perkampungan.
Beberapa hari setelah didirikan, ada sejumlah warga yang
protes ke kantor pengembang kompleks perumahan. Namun semua itu dicegah oleh Pak
RT.
“Heh, elo semua
jangan pada macem-macem. Elo pan pasti
masih ingat waktu anak-anak muda ngerobohin
tembok pembatas kompleks perumahan Bumi Indah Permai, kompleks sebelumnya
yang berdiri di kampung kita ini. Semua warga jadi malah tambah blangsak! Inget kagak, waktu itu kita
berurusan sama polisi. Ntar kalo udah
ketangkep, gua juga yang susah. Lagian, magerin tembok itu udah hak mereka.
Tanah itu udah jadi milik mereka secara sah!” terang ketua lingkungan pada
beberapa warga.
“Tapi Pak RT, tembok berlin itu udah memutus jalan pintas
warga,”
“Betul Pak RT!! Di Jerman saja tembok berlin yang misahin
Jerman Barat sama Jerman Timur udah diroboin! Masak iya di kampung kita ini, di
negara yang merdeka, malah ngebuat tembok baru!”
“Bener tuh Pak! Karena tembok berlin ini, jalan kami semua
jadi muter-muter dulu!”
“Lha, lagian
siapa yang nyuruh ngejual tanah elo-elo pada?! Kalo udah jadi hak milik mereka,
itu suka-suka mereka dong? Bener nggak??! Lagian, kagak usah dihubung-hubungkan
dengan tembok berlin!”
Setelah itu Pak RT meminta semua warga membubarkan diri. Pak
RT berharap tak ada lagi yang mempermasalahkan Tembok Berlin. Ya, Tembok Berlin.
Entah siapa yang menyebutnya pertama kali. Sejak tembok beton perumahan itu
berdiri, warga sekitar sudah menyebutnya begitu. Tembok Berlin hanyalah sebuah
sebutan. Mungkin dari ratusan warga kampung yang tinggal di perbatasan tembok
beton itu, tak seorangpun pernah melihat tembok berlin yang mereka maksud secara
langsung. Bisa jadi mereka hanya melihatnya di televisi atau internet.
Meskipun warga protes atas keberadaan si “Tembok Berlin”,
tetapi tidak buat Mpok Jamroh, salah seorang warga kampung yang kerja jadi kuli
cuci di kompleks perumahan yang letaknya di dalam tembok. Mpok Jamroh sudah
menyiapkan tangga bambu yang bisa menaiki tembok itu. Tangga bambu itu dibuat
dua. Satu dia letakkan di seberang tembok, satu lagi di seberangnya. Jika mau
pergi dan pulang bekerja, Mpok Jamroh menggunakan tangga tersebut.
Tetapi warga lain tetap ngotot agar tembok itu dirobohkan! Warga
yang paling semangat merobohkan tembok berlin adalah Brewok. Brewok, yang entah
siapa nama aslinya, dipanggil Brewok karena wajahnya dipenuhi brewok atau bulu
lebat, lelaki yang cukup ditakuti di kampung. Istrinya penjual kue keliling. Istrinya selalu mengeluh capek karena harus
memutar arah sejak Tembok Berlin itu berdiri. Dan istrinya Brewok tak berani
naik tangga seperti Mpok Jamroh.
Dengan dukungan Udin dan beberapa pemuda, Brewok pun mulai
mengikis bagian tembok itu. Mula-mula besarnya segenggam tangan. Lalu membesar
seukuran bola. Lantas benar-benar bolong sampai cukup untuk ukuran orang
dewasa. Yang penting bisa menyebrang ke sebelah tembok.
Dengan bolongnya tembok, berarti warga tak perlu lagi
berputar arah atau naik tangga. Mereka cukup masuk ke dalam lubang tembok dan
menyebrang. Hal ini membuat Rojak dan Jali, sebagai satpam kompleks perumahan,
marah besar. Rojak dan Jali adalah warga kampung yang terisolasi dengan Tembok Berlin
itu juga, sama seperti yang lain. Tetapi keduanya mendukung pembangunan tembok
tersebut dengan alasan keamanan dan demi keselamatan pekerjaannya. Karena sudah
seringkali barang-barang warga kompleks hilang. Dan keduanya hakul yakin, pencurinya
pasti orang-orang kampungnya sendiri. Mereka resah setelah tembok bobol.
“Kalau begini caranya, keamanan kita terganggu lagi, Jali!”
“Terus gimana dong, Jak?”
“Kita sumpal!”
Tak lama kemudian Rojak dan Jali mencari pasir dan semen di
gudang pengembang proyek perumahan. Campuran pasir dan semen itu mampu menutup
lubang Tembok Berlin sampai benar-benar rapat seperti sedia kala. Warga yang mau
menyebrang kaget dan kecewa. Tetapi tentu tidak bagi Mpok Jamroh. Sebab dia
masih punya tangga bambu untuk menyeberang. Tangga bambu itu pun lumayan aman,
karena Satpam Rojak tak akan berani mengutak-atik tangga itu. Satpam Rojak
adalah keponakan Mpok Jamroh. Ransum makan Satpam Rojak sering bergantung
kepada masakan Mpok Jamroh. Jadi Satpam Rojak, yang gajinya tak cukup untuk
anggaran membeli lauk tiga kali sehari itu, tak mungkin bisa macam-macam.
Brewok yang tahu dari istrinya jika tembok sudah kembali
rapat, berjanji akan membuat lubang kembali. Akan tetapi ketika dia mau menjebol
tembok dengan linggis, Pak RT memergokinya. Maka terjadi perdebatan sengit.
“Heh, Bang! Jangan cuman gara-gara abang udah dapet
suntikan dana dari pengembang proyek perumahan, abang bisa seenaknya ngerjain
warga kampung sendiri dengan semena-mena!” ujar Brewok berapi-api.
“Elo jangan ngomong sembarangan, Brewok! Siapa yang bilang
kalo gua disogok?!”
“Semua warga udah tahu, Bang!”
“Kalo kagak ada yang ngebocorin, mana mungkin mereka tau
kalo gua disogok?”
“Tuh kan, abang nerima sogokan, ya? Jangan mentang-mentang
abang ketua RT abang bisa semaunya! Saya yakin banget abang disogok?”
“Gua emang terima, tapi gak gua makan sendiri!”
“Abang makan sendiri atau rame-rame, itu artinya abang udah
menghidupkan budaya korupsi!”
“Gua kagak korupsi!”
“Cuman KPK, komisi pemberantasan korupsi, yang berhak ngomong
kalo abang korupsi apa kagak…!”
“Jadi elo mau melaporkan gua ke KPK, Brewok?”
“Kenapa enggak?”
“Hahaha...”
Entah kenapa Pak RT tertawa terbahak-bahak. Membuat Brewok
semakin panas.
“Kenapa abang malah ketawa?”
“Elo aneh, Brewok!”
“Aneh kenapa? Karena gua mau melaporkan abang ke KPK?”
Pak RT mengangguk cepat sambil melap airmatanya yang sempat
tumpah saat ketawa tadi.
“Udah, deh. Itu kagak perlu kita bahas, Brewok. Sekarang
lebih baik elo pulang!”
“Gua akan pulang! Gua akan melaporkan abang ke KPK!”
“Silahkan aja... hahaha...”
Brewok makin marah. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Brewok
meninggalkan Pak RT yang masih tertawa-tawa sendiri.
“Mana mungkin KPK mau menangangi kasus gue yang
bukti-butkinya aja kagak jelas. Hahahaaa...!”
***
Setelah Tembok Berlin sudah kembali rapat, Satpam Rojak dan
Jali sudah merasa tenang. Karena itu berarti tugasnya akan lebih aman. Tetapi
ternyata dugaan mereka salah. Pak Gendut, pimpinan proyek pengembang yang
gudangnya terletak di dalam kompleks, datang dan mengeluh barangnya dicuri.
“Mana mungkin gudang kecurian lagi, Pak?”
“Buktinya, semen hilang dua puluh zak! Kaso hilang sepuluh
ikat. Belum lagi tripleks ukuran enam senti yang raib tujuh lembar!”
“Apa bapak enggak salah hitung...?!”
“Salah hitung bagaimana...?! Jelas-jelas barang-barang itu
hilang semalam!”
“Tembok sudah rapat Pak. Mana mungkin pencuri
gentayangan?!”
“Tembok boleh saja rapat. Tapi maling lebih pintar dari
kalian!”
Belum sempat kedua satpam ini membela diri, Mbak Demplon,
salah satu pembantu yang pantatnya demplon itu, datang dan marah-marah. Pak
Gendut yang sudah melampiaskan kemarahannya langsung pergi. Kedua Satpam
penasaran apa yang kali ini diadukan Mbak Demplon. Bulan lalu dia mengaku
jemurannya hilang karena lupa membawanya masuk. Minggu lalu tanaman hias
kesayangan majikannya juga hilang. Lalu sekarang apa?
“Pak Satpam!! Majikan saya marah-marah karena semalam
sandalnya hilang!”
“Mbak, jangan bilang hilang dulu. Siapa tahu dipakai sama
anggota keluarga yang lain. Atau mereka lupa naronya.”
“Ndak mungkin!! Semua
orang rumah takut memakai sandal jepit itu! Itu bukan sandal jepit
sembarangan!!”
“Eh, mbak, majikan lo itu seorang jaksa. Masak cuma
kehilangan sandal jepit aja kayak kebakaran jenggot?”
“Tahu ndak, itu
bukan sandal jepit sembarangan!! Itu sandal jepit bingkisan teman main golf-nya,
bos perusahaan besar. Nanti siang akan dia pakai ke lapangan golf. Dia sekarang
lagi marah-marah!!”
Setelah itu Mbak Demplon pergi. Kedua satpam, Rojak dan
Jali, hanya bengong dan tidak mengerti kenapa ada maling sandal di kompleks
perumahan elite ini.
***
Beberapa hari kemudian, Tembok Berlin kembali jebol. Kali
ini ukurannya lebih besar. Tidak seukuran orang dewasa, tapi lebih besar lagi. Lubangnya
menganga bisa masuk tiga orang sekaligus. Satpam Rojak dan Jali kelimpungan. Pak
RT marah besar. Hari itu juga, tembok disumpal dengan adukan pasir dan semen.
Tetapi baru sehari bertahan, tembok sudah jebol lagi. Ketika tembok disumpal,
tak lama kembali jebol dan menganga! Sampai akhirnya Satpam Rojak dan Jali
bosan menambalnya.
Baik satpam maupun Pak RT akhirnya tahu siapa pelakunya. Mereka
menuduh Brewok. Tetapi, sebelum mereka melaporkan Brewok ke pihak berwajib, Brewok
sudah lebih dulu dicokok polisi setelah ketahuan mencuri genteng di gudang
proyek sebanyak sepuluh buah.
Karena bosan menambalnya, Satpam Rojak dan Jali mengadu
kepada atasan, untuk kemudian disampaikan kepada pimpinan pengembang proyek
perumahan. Akhirnya diputuskan, di tembok yang bolong itu digunakan pintu
masuk. Tetapi pintu masuk itu disepakati akan buka-tutup. Pintu tembok dibuka
pukul 07.00 pagi. Dan ditutup pukul 22.00 malam. Warga kampung dan pengembang
kompleks perumahan sepakat. Satu hal lagi, Mpok Jamroh sudah tidak boleh lagi
naik anak tangga, karena itu bisa berbahaya buat keselamatannya.
Satpam Rojak dan Jali pun kembali tenang. Apalagi si Brewok
yang biasa bikin ulah sudah tenang di dalam bui. Tetapi suatu malam, tepat jam
24.00, dua jam setelah pintu tembok digembok, mendadak Rojak kelaparan.
Biasanya, Rojak numpang makan sama Mpok Jamroh yang rumahnya di seberang tembok
tempat dia bertugas. Rojak pun meminta Jali membuka gembok tembok. Apesnya,
anak kunci itu lupa ditaruh dimana. Rojak meringis kesakitan karena harus
menahan lapar sampai pagi. Rojak menangis dan dia berpikir, pantas saja di
Jerman Tembok Berlin sudah dirubuhkan, karena hidup tersekat tembok itu bisa
membuat sengsara, seperti yang dia rasakan saat ini.***
*)Kota Tangerang Selatan, 2010-2018
0 comments:
Posting Komentar