Mamat Metro

Mamat Metro

Kartu Lebaran Dari Papa

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Majalah KaWanku  No. 18/XXXV  21-26 Oktober 2005




          Sejak Papa ditugaskan ke luar negeri dua tahun lalu, aku tak pernah lagi menikmati hari lebaran bersamanya. Papa mengaku sMamak sekali dengan pekerjaannya. Yang datang ke rumah hanya kartu lebaran. Mulanya aku senang meski hanya mendapat kartu ucapan ‘Selamat Idul Fitri’ dari Papa. Tapi lama-lama aku kangen, ingin merayakan hari lebaran bersama Papa dan seluruh keluarga!
 
foto.www.kharismanovianti.com
 “Kamu nggak usah ngambek begitu, Aida. Biasanya Papa akan pulang selepas lebaran, kan?” nasihat Mama, waktu aku merengek minta Mama memaksa Papa pulang sebelum lebaran.
“Aida ingin berlebaran dengan Papa dan Mama! Kalau Papa pulang setelah lebaran, itu udah nggak asyik lagi, Ma...”
“Iya, iya. Mama ngerti. Tapi mau gimana lagi?  Papamu kan nggak dapat izin dari perusahaannya.”
“Mama paksa ke perusahaannya, dong!”
“Jee, emang perusahaan nenek kamu...!”
“Mamaaa... hiks!”
“Daripada ngambek begitu, mending kamu temenin Mama ke supermarket, kita membeli kue-kue buat lebaran nanti!”
“Nggak mau! Buat apa beli kue lebaran, kalo nggak ada Papa!”
Mama geleng-geleng kepala.  Lalu keluar rumah menuju garasi. Aku mengejarnya. Aku nggak tega membiarkan Mama ke supermarket sendirian.
***

Di supermarket, Mama membeli kue-kue untuk keperluan hari lebaran. Supermarket dipenuhi banyak pengunjung. Aku melihat berpasang-pasang suami istri dan beberapa anaknya tengah tertawa-tawa di dekat rak-rak kue. Sudah menjadi tradisi bila menjelang hari lebaran orang-orang berbelanja lebih heboh dari hari biasa. Apalagi anak-anak sekolah sudah mulai libur.  Dan menurut beberapa temanku, orang tua mereka ada yang sudah diliburrkan oleh kantornya.
“Papaku sudah mulai nggak ngantor besok! Kami akan berbelanja bersama-sama buat keperluan lebaran,”  cerita Riana kemarin, yang sampai saat ini masih terus mengiang-ngiang di telingaku. 
Aku jadi iri padanya. Kenapa Papaku tidak bisa pulang sebelum hari lebaran, ya? Seandainya ia bisa pulang, aku dan Mama akan mengajaknya ke supermarket, membeli kue-kue buat hari raya Idul Fitri.
“Aida! Kok, bengong begitu?!”
“Eh, maaf, Ma...”
“O ya, kamu mau baju baru yang gimana? Nanti kita cari.”
“Apa, Ma? Baju baru?!”
“Iya, baju lebaran...”
“Ah, Mama! Emang Aida anak kecil, apa...!?  Baju yang kemarin kita beli juga masih belum dipakai!”
“Itu kalo kamu mau, Aida...”
“Aida maunya lebaran sama Papa!”
“Lho, lho! Kok itu lagi yang disebut...!”
Kuakui, Mamaku memang sangat baik dan perhatian padaku. Aku anak semata wayang yang sangat dimanja. Sejak Papa ditugaskan ke luar negeri, Mama yang menangani segala keperluanku. Ah, kalau saja waktu itu Mama mau ikut bersama Papa, pasti tidak begini jadinya. Alasannya, Mama tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Heran aku sama kedua orangtuaku ini.  Yang satu meninggalkan negerinya karena pekerjaan. Yang satunya tidak bisa ikut suami juga karena pekerjaan. Mengapa sih mereka begitu mencintai pekerjaan. Aku pernah menanyakan hal ini pada mereka. Mau tahu jawabannya?
“Kita nggak selamanya begini, Aida. Papa cuma terikat kontrak lima tahun. Setelah itu bertugas di Jakarta lagi. Jadi kamu mesti bersabar...” ucap Papa.
“Aida, Mama tidak bisa seenaknya melepas pekerjaan kantor. Lagipula, lebih enak tinggal di negeri sendiri daripada di negeri orang!” alasan Mama.
Ya sudah, aku menyerah. Hanya saja, ya seperti ini jadinya. Bila lebaran, aku merasa ada yang kurang. Saat orang lain berkumpul bersama dengan seluruh keluarga, aku harus kehilangan Papa karena ia tak bisa pulang.
“Jadi kamu nggak mau dibelikan baju baru?” Mama kembali mengusik lamunanku.
Aku pura-pura cuek.
“Aida, kok melamun terus, sih... Mau baju baru nggak?!”
“Mau, siih!” kataku akhirnya, ekadar menyenangkan hati Mama.
Mamaku akhirnya tersenyum. Kemudian kami keluar menuju gerai pakaian setelah menitip kue-kue yang sudah kami beli di deposit.
***

Lebaran tinggal satu hari lagi. Tapi aku tidak seriang seperti biasanya. Mamaku yang sudah tidak ngantor tampak cemas melihatku.
“Aida, sudahlah... kamu harus sabar, sayang...”
Aku tidak menjawab, hanya menatap Mama dengan tampang suntuk. Aku bosan dengan kata-kata Mama tentang kesabaran. Sebab aku tahu, yang namanya sabar itu ada batasnya.
“Apalagi kamu sedang berpuasa. Tidak baik pasang tampang cemberut gitu...”
“Ma, Aida nggak cemberut, kok...!” akhirnya aku menyahut.
“Lantas, kenapa bibirnya ditekuk begitu?!”
“Aida lagi sebel!!”
Lalu kutinggalkan Mama, masuk ke kamarku. Aku merebahkan tubuh di kasur. Biasanya Mama mengejarku, lalu menasehatiku. Tapi kali ini tidak. Setelah sekitar lima menit kurebahkan tubuhku, kudengar Mama memanggil, “Aida... Ada surat buat kamu!” 
Hah!?? Surat...?!  Jangan-jangan kartu...
Aku segera bangkit dari ranjang. Berlari menemui Mama yang tengah membawa dua pucuk surat dari kotak pos.
“Dari siapa, Ma?” tanyaku, pura-pura tidak tahu. Dari bentuknya saja, aku sudah bisa memastikan apa yang tengah dipegang Mamaku
Pasti surat itu kartu lebaran dari Papa!  Gambarnya tidak akan beda dari kartu-kartu ucapan sebelumnya, kartu ucapan bergambar bangunan masjid yang keren-keren. Dan isinya tidak akan berbeda pula. Paling ucapan, “Aida, Met Lebaran ya cayang. Minal Aidin Wal Faidizin. Maafin Papa, baru bisa pulang minggu depan... Salam kangen, Papa.”
           Meski aku sudah bisa menduga, aku penasaran dengan surat yang dibawa Mama.
          “Nih, kayaknya kartu ucapan lebaran, deh!” ucap Mama, sambil memeriksa bagian belakang amplop.
         Kuterima dua pucuk surat itu, lalu kucari-cari nama pengirimnya. Ternyata tidak tercantum nama pengirimnya. Amplop itu hanya berisi satu lembar kertas berbentuk kartu pos.  Sudah jelas pasti kartu lebaran!
           Kubaca kartu ucapan pertama.
          “Aida, Selamat Hari Raya Idul Fitri. Maaf Lahir Bathin. Gue udah memaafkan dosa-dosa loe. Jadi nggak usah khawatir, yah... Love, Indah.”
          Surat pertama ternyata dari Indah, teman sekelasku. Aku penasaran pada isi surat kedua. Yup! Masih kartu ucapan lebaran.
          “Dari Mumun dan Keluarga, ngucapin: MET LEBARAN. Smoga dosa kita impas! Kembali ke nol lagi, ya.  Hehehe.”
          Ternyata kedua surat itu berisi kartu ucapan lebaran dari dua sahabatku. Kukira kartu lebaran dari Papa. Ya, ampun! Kenapa kartu lebaran Papa belum sampai, ya?!
***

          Sehari sebelum lebaran Mama sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari raya besok. Kue-kue dan beberapa jenis minuman sudah berada di ruang tengah, untuk menyambut sanak family  atau tetangga-tetangga kompleks yang biasa datang di hari lebaran. Tanpa bantuan Bi Uni yang kebetulan sudah pulang kampung seminggu yang lalu, Mamaku yang tak biasa beres-beres rumah kulihat sangat antusias.
           Aku jadi tidak enak dengan Mama. Masak anak perempuan tidak bisa bantu-bantu Mamanya di rumah?  Mamaku yang bisa dibilang wanita karir sukses saja mau capek-capek begitu, kenapa aku tidak? Uh, jadi malu!
         “Sini, Aida yang pasang taplak mejanya!” kataku akhirnya, merebut taplak meja yang baru dibeli kemarin dari tangannya.
Mama meliriku, lalu tersenyum sambil mengangguk. Aku sama sekali tidak melihat kesedihan di wajah Mama, meski menjelang lebaran Papa jauh di seberang sana, dan entah sedang melakukan apa. Kartu lebaran yang biasa datang minimal seminggu sebelum lebaran pun belum kelihatan.
         “Ma, kenapa sih, kartu lebaran Papa belum sampai...?” tanyaku pada Mama, sambil merapihkan taplak meja.
        Aku tidak mendengar jawaban Mama. Ketika kutoleh ke arahnya, Mama hanya mengangkat bahu seraya berjalan ke arah dapur.
          Aku hanya bisa menghela nafas.
       Seharian penuh aku membantu Mama menyiapkan keperluan menyambut lebaran besok. Menjelang sore, dari luar rumah terdengar suara bedug bertalu-talu. Suara takbir pun menggema, mengingatkanku pada hari lebaran yang ceria. Sebentar lagi waktu maghrib masuk. Ini hari terakhir puasa. Dan biasanya, masjid yang terletak tak jauh dari rumah ramai sekali. Seperti biasanya, Panitia zakat fitrah tengah membagi-bagikan barang-barang keperluan lebaran untuk orang-orang yang tidak mampu.
         Aku yang sudah sangat lelah sempat ketiduran di sofa hingga waktu maghrib hampir tiba. Ketika bangkit dari sofa, aku dikagetkan oleh sebuah amplop surat berisi kartu ucapan yang tergeletak di atas meja. Segera saja kubuka dan kubaca. Ternyata Kartu Lebaran dari Papa! 
        “Aida yang tukang ngambek, selamat Hari Raya Idul Fitri. Semoga kamu jadi anak pinter!  Salam sayang selalu, Papa.”
       Lho, kok isinya begitu?! Kok, Papa tahu kalau aku ngambek!  Jangan-jangan, ini cuma bisa-bisanya Mama! Tapi, kalau diperhatikan bentuk kartu ucapannya, dari bentuk surat, sampai gambar-gambar  kartunya, ini pasti dari Papa! Pasti Mama yang memberi tahu Papa bila aku ngambek. Tapi, bagaimana caranya...?!
        Aku segera bangkit dari sofa, mencari-cari di mana Mamaku berada. Aku ingin memprotes isi kartu ucapan lebaran ini!
         Baru beberapa meter kakiku melangkah, aku mendengar percakapan dari arah beranda rumah. Kudengar suara Mama dan seorang lelaki tengah tertawa-tawa. Sementara bedug di masjid dengan diiringi suara takbir terus terdengar secara beriringan.
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..!! Laa Ilaahailallahu Allahu Akbar... Allahu Akbar Walillahilham...!!!
        Samar-samar, aku bisa mendengar suara percakapan itu. Aku sangat mengenali suara yang tengah bercengkerama dengan Mama. Aku segera menghambur menuju beranda.
          “Aida...!?? Kamu udah bangun?? Masih puasa?? Masih puasa, nggak??!” laki-laki di samping Mama langsung menyerangku dengan pertanyaan.
           “PAPA, JAHAT!!” teriakku.
           Aku segera menghambur memeluk laki-laki itu!
          “Kok, gitu sih? Tau nggak, Papa kan udah bela-belain pulang biar bisa lebaran sama kamu dan Mama...” ucapnya, sambil memeluk dan mengelus-elus rambutku.
Aku tak kuasa berkata-kata. Aku terus memeluknya. Tak terasa, airmata haruku membasahi punggung Papa.
           Ya Allah, terima kasih atas segalanya...***
                                                                                                                                                                                     
                                                                                                                       *)Pamulang, 2004-2005

Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...