Mamat Metro

Mamat Metro

Rakit

Cerpen   Zaenal Radar T.

Dimuat majalah Bobo, No. 30, 01 November 2012
 
Gbr. youtube.com



Setiap musim hujan tiba, banjir selalu datang. Maklum saja, rumahku tak jauh dari sungai. Menurut Ayah, air yang menggenangi rumah kami itu bukan hanya berasal dari air hujan yang turun di sekitar rumah kami, tetapi dari air sungai yang berasal dari hulu sungai. Meskipun di daerah kami tidak turun hujan, banjir bisa datang begitu saja karena air sungai yang meluap.

Kalau sudah banjir, dari permukaan tanah, tinggi air bisa sekitar dua meter. Bila tinggi tubuhku seratus sepuluh senti meter, itu berarti tubuhku akan tenggelam saat banjir tiba!  Beruntung ayah membangun rumah kami dua tingkat. Jadi bila banjir tiba, kami bisa berada di lantai dua bersama barang-barang penting yang harus diselamatkan. Perangkat elektronik seperti teve, radio dan kulkas tidak boleh terendam oleh air. Begitupula buku-buku kesayanganku yang kubeli saat pameran buku.

Tetapi ada beberapa rumah tetanggaku yang hanya satu lantai. Sehingga bila banjir datang, mereka mengungsi ke tempat-tempat pengungsian. Biasanya mereka menempati ruangan sekolah yang letaknya sekitar lima ratus meter dari rumahku. Mereka membawa barang-barang untuk diselamatkan dari genangan air.

Aku ingin sekali membantu mereka. Tetapi aku tidak bisa. Dan aku cukup senang karena Ayahku membantu para tetanggaku itu bersama regu penolong dari Palang Merah Indonesia atau para relawan. Semua penduduk yang mengungsi diberikan bantuan berupa makanan dan minuman.

Meskipun banjir dirasakan menyusahkan warga, tetapi aku melihat anak-anak gembira sekali bermain air hujan yang menggenangi jalan-jalan. Mereka bersorak-sorak seolah tak merasa terbebani oleh banjir. Dulu aku juga sering bermain air hujan seperti mereka. Tetapi sejak tubuhku terjerembab ke selokan, aku tak lagi berani bermain-main hujan-hujanan.  

Setelah banjir reda, warga yang mengungsi kembali ke rumah masing-masing. Biasanya kami kerja bakti membersihkan jalan dan selokan. Lantai-lantai rumah yang kotor dipel. Sampah-sampah plastik dibakar. Keadaan kembali seperti semula. Namun kekhawatiran akan selalu muncul, setiap kali hujan kembali tiba.

Aku bertanya kepada Ayah, kenapa musim hujan akhir-akhir ini tidak menentu.

“Ini semua akibat pemanasan global,” jawab Ayah.

“Pemanasan global itu apa sih, Yah? Kenapa bisa begitu?”

Ayah nampak berpikir sebentar, “Pemanasan global itu akibat dari kelalaian manusia. Banyaknya hutan yang ditebang, asap dari pabrik-pabrik, asap kendaraan, semua bisa menyebabkan pemanasan global,” terang ayah.

“Aku masih enggak ngerti, Yah,” tukasku.

“Jadi begini, pemanasan global itu diibaratkan kita memasak air dengan panci. Kalau air panci mendidih, maka akan banyak uang di tutup panci dan itu seperti embun. Air yang menguap itulah yang nanti menetes dan seperti hujan. Nah, yang terjadi pada pemanasan global, air laut itu suhunya naik, sehingga akan banyak menimbulkan uap, lalu terdorong angin ke darat. Uap itulah yang nanti akan menimbulkan hujan. Begitu, nak” terang Ayah panjang lebar.

Oh, aku mengerti sekarang. Jadi musim hujan yang tidak menentu itu diakibatkan oleh pemanasan global. Kalau sudah besar nanti, aku akan memberitahu kepada semua orang, bahwa menebang hutan sembarangan itu tidak baik. Kendaraan juga harus dibatasi agar tidak terlalu banyak asapnya yang terbuang. Selain itu, aku akan menganjurkan kepada semua orang untuk menghijaukan bumi dengan cara menanam pohon.
***
Disuatu kesempatan, sebelum hujan datang, ayah mengajakku membuat perahu dari batang bambu. Aku hanya menemani saja. Kebetulan ayah sedang cuti bekerja. Sepulang sekolah, aku mengikuti ayah ke tepian sungai mencari batang bambu. Aku ikut membantu membawa bambu-bambu yang sudah ditebang semampuku.

Bambu-bambu tersebut dipotong sepanjang kurang lebih tiga meter. Setiap batangnya diikat dengan kawat, sehingga antara batang yang satu dengan lainnya menyatu. Luasnya sekitar dua puluh batang bambu dibuat sejajar, bambu-bambu tersebut nampak jelas seperti perahu. Ayah menyebutnya rakit.

Setelah rakit selesai, ayah membuat pengayuhnya, yakni dari sebatang kayu yang bagian ujungnya dibuat pipih. Kata ayah, nantinya rakit ini akan dikendalikan oleh pengayuh, agar bisa berjalan di atas air. Sebelum digunakan untuk persiapan datangnya banjir, ayah mencobanya di sungai. Rakit itu pun melaju di atas sungai. Ayah mendayungnya. Wow! Ternyata ayah berhasil membuat rakit yang hebat.

“Ayah, aku takut rakit ini akan terbalik” kataku.

“Jangan khawatir. Kalau airnya tenang, rakit ini tidak akan terbalik” Ayah meyakinkanku.

“Ayah, aku ingin mendayung!” teriaku.

Ayah pun memberikan pendayung, lalu aku mulai mendayung. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Mendayung air itu berat sekali. Rakit yang kami tumpangi tidak bergerak sama sekali. Setelah pendayung kukembalikan kepada Ayah, barulah rakit berjalan sedikit demi sedikit, lalu melaju cukup kencang.

Diwaktu berikutnya, saat hujan kembali tiba dan banjir datang, aku ikut membantu ayah menolong penduduk yang mengungsi. Kami menggunakan rakit buatan ayah, membantu orangtua, anak-anak dan barang-barang untuk diselematkan ke tempat pengungsian. Uh, senang sekali rasanya bisa menolong orang lain!

Sejak saat itu, setiap kali banjir datang, aku dan ayah selalu menggunakan rakit untuk menolong banyak orang. ***
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...