Mamat Metro

Mamat Metro

Kacamata Penjaga Sekolah


Oleh: Zaenal Radar T.

Sumber:  Majalah BOBO, TH XL, No. 18



               Ada yang berbeda dari Pak Muakhir, penjaga sekolah kami. Setiap hari ia selalu salah menyebut nama kami.
“Selamat pagi Pak Muakhir,” sapa Tino, saat kami melintasi beranda sekolah.
“Selamat pagi juga... Robi...!” jawab Pak Muakhir, setelah menatap Tino beberapa saat lamanya. Pak Muakhir ternyata tidak menyadari bila yang menyapanya Tino, bukan Robi.
Di lain waktu, giliran aku yang menyapanya, “Apa kabar Pak Muakhir...”
Pak Muakhir tidak langsung menjawab. Pak Muakhir terlebih dulu tersenyum, kemudian menatapku cukup lama. Setelah itu beliau pun menjawab, “Baik nak Fadli...”
O ow! Padahal namaku Markum! Mengapa beliau menjawab Fadli? Rupanya Pak Muakhir tidak bisa membedakan aku dan Fadli, seperti Tino yang disebutnya Robi.  Hari sebelumnya beliau juga begitu. Menyebut nama Anton, padahal yang menyapanya Roni. Kami tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Pak Muakhir bersikap seperti itu. Ini pasti ada apa-apanya.
Suatu siang, saat bel istirahat, kami berkumpul di kantin sekolah. Sambil makan pisang goreng bu kantin yang lezat, kami membicarakan tentang Pak Muakhir yang berubah.
“Jangan-jangan, Pak Muakhir sudah hilang ingatan...?” ucap Robi, sambil mencomot pisang goreng, lalu memasukkan kedalam mulutnya.
“Hilang ingatan?  Bisa jadi begitu, Pak Muakhir kan sudah tua...” Fadli menimpali.
“Belum tentu dia hilang ingatan. Barangkali saja Pak Muakhir cuma pikun, seperti kakekku...” kataku, membandingkan Pak Muakhir dengan kakek. Ya, aku punya kakek yang sudah pikun. Ia tinggal di rumah Paman Maruli. Kakekku yang pikun kerap salah menyebut namaku dan nama adikku. 
Apa mungkin Pak Muakhir sudah pikun?
***
Suatu siang, saat bel pulang berdentang, kami mendengar Pak Muakhir terjatuh dari anak tangga kelas 4.C. Anak-anak kelas 4.C berkerumun di depan Pak Muakhir. Aku dan teman-teman  dari kelas 5 segera memberi pertolongan untuk Pak Muakhir. Kami membawa Pak Muakhir ke ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), yang terletak di sebelah ruangan Bapak Kepala Sekolah.
Beberapa guru segera memberikan pertolongan pertama. Akibat terjatuh, Pak Muakhir mengalami luka pada bagian lutut kaki dan siku tangannya sebelah kanan. Aku ikut ambil bagian dalam mengobati luka Pak Muakhir. Setelah semua orang meninggalkan ruang UKS untuk memberikan kesempatan Pak Muakhir berisitrahat, aku mendekatinya. Kuperhatikan rambutnya yang hampir seluruhnya memutih. Aku teringat akan rambut kakek yang juga putih dipenuhi uban. Sebenarnya, setiap kali melihat kakek, aku selalu terkenang akan Pak Muakhir. Terutama pada kacamata mereka yang besar dan lucu.
Oh, aku baru menyadari! Selama ini Pak Muakhir memakai kaca mata, seperti halnya kakekku. Kacamata Pak Muakhir besarnya hampir sama dengan kacamata milik kakekku. Aku pernah bertanya pada kakek, kenapa ia memakai kacamata? Dan kakek  menjawab, penglihatannya kabur karena termakan usia. Aku belum menanyakan kenapa Pak Muakhir memakai kacamata seperti kakekku? Dan sekarang, kenapa akhir-akhir ini Pak Muakhir malah tidak memakai kacamatanya?
Saat kutatap matanya dari dekat, Pak Muakhir tersenyum sambil tangannya yang keriput mengusap-usap rambutku.
“Bapak masih sakit?” tanyaku, sambil sesekali mengelap keringat yang berjatuhan didahinya.
“Tidak, Markum! Bapak sudah lebih baik...”
Apa dia bilang! Oh, rupanya Pak Muakhir sudah bisa mengenali aku!! Tadi dia menyebut aku Markum, bukan dengan nama lainnya seperti kemarin.
“Syukurlah Pak, Bapak sudah mengenali saya lagi...” kataku akhirnya.
Pak Muakhir tampak berfikir.
“Lho, memangnya selama ini bapak tidak kenal kamu? Kamu ini bagaimana..?” Pak Muakhir terlihat tersinggung. Lalu ia berusaha duduk. Aku membantunya duduk.
Tak lama kemudian teman-temanku memasuki ruangan UKS. Mereka adalah Robi, Tino dan Fadli.
“Maaf Pak, selama ini Pak Mu selalu salah menyebut nama kami...” kataku, sambil menatap ke semua teman-teman yang ikut mengelilingi Pak Muakhir.
Pak Muakhir malah tersenyum setelah mendengar pengakuanku. Lalu Pak Muakhir pun bercerita. Begini ceritanya. Beberapa pekan lalu kacamata Pak Muakhir pecah saat beliau sedang tidur. Pak Muakhir lupa meletakkan kacamata di atas meja. Tanpa ia sengaja, kacamatanya terjatuh ke lantai karena tersentuh oleh tangannya sendiri. Tak cukup sampai disitu, kaca mata tersebut kemudian terinjak. Oh, malang benar nasib kacamata penjaga sekolah kami ini. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa durian!
“Oh, jadi Pak Mu tidak bisa mengenali kami karena bapak tidak memakai kaca mata?” selidik Fadli, dengan mata berbinar-binar ingin tahu.
“Jadi Pak Mu tidak bisa melihat benda-benda yang jaraknya jauh..?” Tino ikut bertanya.
Pak Muakhir tidak menjawab. Pak Muakhir hanya mengangguk sambil pandangan kedua matanya menerewang ke seisi ruang UKS. Kami semua hanya bisa menghela nafas.
***
Kini Pak Muakhir si penjaga sekolah kami tak lagi salah bila menyebut nama kami. Setiap kali kami menyapanya, Pak Muakhir selalu dapat mengenali kami. Jelas saja, sebab beliau sudah memakai kacamata lagi. Aku yang mengusulkan pada teman-temanku untuk membelikan kaca mata baru untuknya. Kami semua mengumpulkan uang dari hasil tabungan kami. Hal ini pun atas sepengetahuan orangtua kami. Dan ternyata semua orang tua kami mendukung. Bahkan orangtuaku bersedia ikut menambah kekurangannya.
Dengan begitu, kami sudah tak punya penjaga sekolah yang selalu salah menyebut nama siswa yang dikenalnya. Oh, bahagia sekali ternyata, bisa membantu orang yang mengalami kesulitan. Apalagi orang tersebut adalah penjaga sekolah kami sendiri. ***
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...