Mamat Metro

Mamat Metro

Nonton Kuda Lumping

Cerpen  Zaenal Radar T.

Dimuat majalah Bobo, No. 18, Th. XXXIX, 11 Agustus 2011

Gbr. freapp.us



Hari masih pagi ketika terdengar suara ramai di luar rumah. Aku mencari-cari Ibu untuk minta diantar melihatnya. Ibu masih belum selesai memasak di dapur. Aku merengek pada Ayah agar mengantarku. Ayah yang sedang libur bekerja menuruti kemuanku. Ayah meletakkan korannya di atas meja, lalu mengiringi langkahku keluar rumah.

Di jalanan menuju sumber suara penuh orang-orang, diantaranya anak-anak seusiaku, berlarian menuju lapangan kompleks perumahan.

“Ayah, itu namanya musik apa?” tanyaku pada Ayah.

“Itu musik gamelan.”

Musik gamelan terus berbunyi. Aku dan Ayah semakin mendekati tanah lapang. Di sana sudah nampak kerumunan orang. Beberapa orang memainkan alat musik. Yang lain nampak menari-nari sambil menaiki kuda-kudaan.

“Ayah, kok orang dewasa main kuda-kudaan?” tanyaku pada Ayah.

“Elliza, itu namanya kuda lumping,” ayah menjelaskan.

Yang naik kuda lumping berputar-putar menari-nari, sesekali matanya terpejam. Salah satu dari mereka membawa sebuah ember berisi pecahan beling. Lalu setangkup baskom berisi bunga diletakkan di atas kertas koran. Orang yang membawa bunga mengusap kepala orang yang naik kuda lumping satu persatu sambil mulutnya komat-kamit.

“Ayah, orang itu membaca apa?”

“Mungkin dia sedang membaca mantra.”

“Mantra itu apa, Yah?”

“Semacam bacaan doa’-doa.”

Salah satu orang yang naik kuda lumping itu mendekati bunga di atas kertas sambil terus mengikuti musik gamelan. Tiba-tiba saja orang itu memakan bunga-bungaan yang ada di atas kertas, dan diikuti penunggang kuda lumping lainnya. Mereka makan bunga tanpa harus menggunakan tangan, seperti kucing di rumahku yang tengah makan.

“Ayah, mereka makan bunga-bunga itu!”

“Ya, kuda lumping makan bunga.”

 Lalu para penunggang kuda lumping  kembali menari-nari mengikuti irama gamelan. Orang yang tadi membawa bunga mengeluarkan cemeti atau cambuk. Aku pernah melihat cemeti saat naik delman. Biasanya cemeti digunakan untuk memecut kuda agar mau berjalan. Tapi kali ini... Pletar!! Pletarrr!! Cemeti itu digunakan untuk menyambuk orang yang naik kuda lumping.

“Ayah, apakah orang itu tidak kesakitan?”

“Tidak, Elliza. Karena para penunggang kuda lumping tadi sudah dibacakan mantra.”

Aku mengangguk-angguk meski bingung. Namun tiba-tiba, salah satu penunggang kuda lumping mendekati ember berisi pecahan kaca. Orang yang tadi membacakan mantra mengambil ember dan menumpahkan beling-beling di atas koran. Dan penunggang kuda lumping itu memakan pecahan beling tersebut! Aku langsung menyembunyikan penglihatan mataku dengan jari-jari tangan.

“Ayah! Orang itu makan beling!”

“Lihat saja Elliza, orang itu tidak terluka.”

Benar kata ayah. Orang yang makan beling mulutnya tidak terluka. Dan para penunggang kuda lumping yang lain melakukan hal yang sama. Mereka juga makan beling dan mulut mereka tidak apa-apa. Luar biasa! Para penonton bertepuk tangan. Salah satu dari pemain musik gamelan berkeliling sambil menyodorkan sebuah ember kosong. Lalu orang-orang yang menonton memberikan lembaran-lembaran uang. Ayah pun merogoh saku celana mengeluarkan lembaran uang dan menaruhnya ke dalam ember tersebut.

Setelah puas menyaksikan para penunggang kuda lumping menari, makan bunga dan makan beling, aku dan Ayah pulang.  Di rumah, aku berkhayal seandainya bisa makan beling seperti para penunggang kuda lumping.

***



Keesokan harinya, aku main bersama Alfin, Azzam dan Reno. Aku mengusulkan agar kami semua main kuda lumping. Ibu yang membawakan kue-kue untuk kami terkejut saat mendengar kami akan main kuda lumping.

“Elliza, jadi kamu sama temen-temen kamu mau main kuda lumping?”

“Iya bu. Nanti kita akan menari-nari seperti penunggang kuda lumping! Kuda lumpingnya sapu lidi ibu!” ujar Reno.

“Nanti kita akan makan beling!” ucap Azzam. Ibu tercengang. Raut wajahnya nampak khawatir.

“Elliza, sebaiknya kamu dan teman-teman kamu jangan main kuda lumping. Apalagi sampai makan beling!”

“Tenang Bu. Elliza dan temen-temen bukan makan beling sungguhan. Nanti belingnya kue-kue ibu!” ujarku, membuat ibu tersenyum.

“Oooh, kalo belingnya kue ibu boleh! Nih, kalian makan saja semua!”

“Iya bu. Tapi kami harus menari lebih dulu!” ucapku lagi. Lalu kami pun menari-nari. Setelah itu memakan kue-kue ibu seperti kuda lumping makan beling.

“Wuuuaaaaahhhh... belingnya enaaaak!” teriak Azzam.
“Jelas aja enak. Belingnya kue bikinan ibuku!” sahutku dengan bangga. Ibu kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lalu kami menari-nari lagi.***
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...