Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Harian REPUBLIKA, 24 November 2019rendra purnama__republika (lakonhidup.com) |
Saya
dan teman-teman yang masih menganggur berusaha untuk mendapatkan pekerjaan.
Tapi, sudah melamar ke sana kemari, pekerjaan itu belum juga didapat. Haji
Markum, salah satu tokoh sekaligus imam masjid yang saya dan teman-teman kagumi
memberikan petunjuk, agar kami sering-sering shalat di masjid. Akhirnya saya
dan ketiga teman saya rajin shalat berjamaah di masjid. Kami selalu tepat waktu
dan kompak.
Setiap
waktu shalat, setelah selesai berdoa minta dikabulkan cepat dapat pekerjaan,
saya dan ketiga teman saya duduk-duduk di beranda masjid. Karena tidak ada
kerjaan, tak jarang kami jadi ngelantur dan ngobrol sana-sini yang tidak jelas.
Dan, obrolan kami sampai pada salah satu jamaah. Dia adalah jamaah yang selalu
tertinggal saat shalat. Memang sih bukan hanya dia yang tertinggal dalam shalat
berjamaah, jamaah lain juga pernah melakukannya. Tapi, tidak seperti dia. Dia
selalu saja tertinggal, dalam setiap waktu shalat berjamaah.
Sebelumnya, saya dan teman-teman tidak pernah
mengenal namanya. Kami juga tidak mengetahui di mana ia tinggal dan apa
pekerjaannya. Karena setiap kali shalat, lelaki setengah baya itu selalu
tertinggal beberapa rakaat. Terutama saat shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan
Isya. Sehingga, kami memberi julukan lelaki itu: Mister Masbuk!
Suatu hari sewaktu salat ashar berjamaah di
masjid, Mister Masbuk tertinggal tiga rakaat. Saya dan teman-teman mengetahui
dari rakaat yang tertinggal, yang harus dilakukan lelaki itu sendirian. Salah
satu teman saya sempat menyinggung masalah ini, saat semua jamaah bubar.
“Eh,
tadi lihat sendiri kan … Mister Masbuk tertinggal tiga rakaat,” ucap salah satu
teman itu.
“Iya, yah … aku heran, apa dia nggak denger
azan..?!” yang lain menimpali.
“Orang sibuk, kali?” Saya menyela.
“Apa mungkin rumahnya jauh dari masjid?”
“Atau jangan-jangan
… lelaki itu memang sudah hobi salatnya tertinggal. Masak setiap shalat selalu
tertinggal? Cuma shalat Subuh aja dia kadang nggak ketinggalan. Kalau shalat
Zhuhur, Ashar, Maghrib, atau Isya, perhatiin deh. Pasti ketinggalan!”
“Yaa, namanya juga Mister Masbuk.”
“Hahahaha …” kami semua, si pengangguran
sejati, tertawa.
“Ssst…! Tapi kayanya masih mending dia,
daripada orang yang nggak pernah ke masjid sama sekali.” ucap saya tiba-tiba,
membuat yang lain terdiam.
“Jangan-jangan dia emang sengaja terlambat,
supaya shalatnya nggak lama. Kan tau sendiri, Haji Markum kalau jadi imam suka
lama banget.”
“Heheh … bisa saja kamu.”
“Eh, dosa nih kita ngomongin orang!”
“Astaghfirullah…! Iya, ya … habis sih, Mister
Masbuk itu yang bikin kita jadi penasaran”
“Kok menyalahkan Mister Masbuk?”
“Ya, karena dia selalu ketinggalan jamaah,
dia jadi perhatian kita semua.”
Demikianlah. Mister Masbuk memang menjadi
perhatian saya dan teman-teman di masjid.
***
Sejak teman-teman membicarakan kebiasaan
Mister Masbuk, saya pun jadi ikut-ikutan memperhatikannya. Mister Masbuk saya
kira seseorang yang cekatan dan gesit. Cara dia berdoa pun berbeda dari
kebanyakan jamaah. Tak jarang Mister Masbuk hanya duduk beberapa saat saja
setelah selesai shalat, lalu tergopoh-gopoh keluar masjid. Gerakannya sungguh
cepat sekali. Kalau sudah begitu, saya dan teman-teman yang sedang berdoa
kadang saling lirik karena sikapnya.
“Eh, tadi lihat nggak Mister Masbuk. Kayak
dikejar-kejar setan, ya?”
“Mungkin dia emang nggak betahan kali
lama-lama di masjid?”
“Udah shalatnya ketinggalan, setelah selesai
buru-buru gitu, ya…?”
“Atau jangan-jangan, menurut dia shalat
ketinggalan itu lebih mulia daripada shalat tepat waktu?!”
“Aeh, ngaco kamu!”
“Sssttt … istighfar! Mending kita selidiki
aja deh. Siapa sih Mister Masbuk? Biar kita nggak penasaran. Kalau kita
tanyakan langsung, takutnya tersinggung.”
“Setuju…!”
Akhirnya, saya dan ketiga teman saya sepakat
untuk menyelidiki siapa Mister Masbuk. Kami hanya ingin tahu kenapa dia selalu
datang terlambat ke masjid. Dan kenapa selalu tergesa-gesa setelah beberapa
saat duduk berdoa sewaktu salat selesai, tidak seperti kebanyakan jamaah
lainnya.
Penyelidikan
pun kami lakukan. Kami berencana mengikuti Mister Masbuk, seperti intel atau
polisi yang hendak memata-matai penjahat. Selepas shalat Zhuhur, kami akan
mengendus siapa sebenarnya Mister Masbuk itu. Kami sempat mendiskusikannya,
sebelum melakukan penyelidikan.
“Saya yakin, Mr
Masbuk pasti orang sibuk.”
“Jangan-jangan pimpinan perusahaan kali?”
“Ah, nggak ada potongan! Liat aja
penampilannya.”
“Sudah, sudah … nanti saja kita lihat sama-sama.”
***
Shalat Zhuhur telah selesai. Para jamaah pun
berdoa. Seperti biasa, seperti pada shalat berjamaah di waktu-waktu sebelumnya,
hanya Mister Masbuk yang masih menyisakan rakaat yang tertinggal. Kami kira
bukan Mister Masbuk namanya, kalau tidak ketinggalan.
Ketika selesai berdoa, Mister Masbuk masih
belum menyelesaikan shalatnya yang tertinggal. Kali ini doa imam masjid Haji
Markum memang tidak terlalu lama seperti biasanya. Beberapa teman mulai
berkumpul di sudut masjid. Sementara jamaah lainnya membubarkan diri dan
beberapa diantaranya melakukan shalat sunah setelah Zhuhur.
“Eh, lihat tuh Mr Masbuk … masih belum
selesai.”
“Kita tunggu saja. Nanti pas dia keluar, kita
ikuti dia.”
“Oke, deh….”
Setelah menyelesaikan shalatnya, Mister
Masbuk berdoa sebentar, lalu tergopoh-gopoh keluar dari masjid. Saya dan ketiga
teman segera menghambur keluar. Kami yang sudah mempersiapkan rencana ini
segera mengikuti ke mana Mister Masbuk melangkah.
“Jangan sampai mencurigakannya,” bisik salah
satu teman saya.
Kami
pun mengikuti ke mana Mister Masbuk berjalan. Mister Masbuk memasuki kompleks
perumahan dengan langkah tergesa-gesa. Pada salah satu gang, kami terpaksa
menghentikan langkah karena Mister Masbuk berhenti di tengah jalan. Mister
Masbuk bertemu dengan seseorang dan keduanya mengobrol sebentar. Beberapa saat
kemudian, orang itu terlihat tersenyum dan mohon diri untuk berpisah. Mister
Masbuk melanjutkan langkah. Kami pun segera mengejarnya. Kami sudah layaknya
detektif betulan yang tengah memata-matai penjahat.
Cukup lama kami mengikuti langkah Mister
Masbuk. Dan terkadang kami merasa Mister Masbuk berjalan dengan langkah-langkah
pelan, seperti curiga kalau dirinya kami ikuti. Namun begitu, Mister Masbuk
terus berjalan menuju gang paling ujung. Kami terus mengikutinya, sampai
benar-benar mengetahui di mana Mister Masbuk tinggal. Dan, kami pastikan Mister
Masbuk menetap di gang kompleks paling ujung karena ia melangkah ke sana.
Namun, rupanya perkiraan kami meleset. Mister Masbuk masih terus melangkah
ketika kami sudah berada di ujung gang kompleks perumahan. Mister Masbuk
justru hendak melintasi perbatasan kompleks.
“Dia bukan penghuni kompleks ini,” bisik salah
satu teman saya.
“Pantas kalau salat ketinggalan, rumahnya
jauh.”
“Sudahlah … kita ikuti terus!”
Dan, tibalah Mister Masbuk pada salah satu
rumah sederhana. Rumah itu sekaligus toko kelontong. Seorang anak berusia
sekitar delapan tahun menggendong balita yang sedang menangis, lalu
menyerahkannya pada Mister Masbuk. Seorang bocah yang lebih kecil lagi ikut
mendekati Mister Masbuk. Mister Masbuk segera menggendong balita tersebut dan
menciumnya. Sementara si anak tadi segera melayani salah satu pembeli yang datang
ke warung itu, diikuti anak yang lebih kecil. Saya dan teman-teman saling tatap
melihat kejadian itu. Karena sudah terlanjur terlihat oleh Mister Masbuk, kami
pun segera berpura-pura menjadi pembeli di warung kelontongnya agar tidak
mencurigakannya.
***
Ternyata ketika kami mengikuti Mister Masbuk
pulang, Mister Masbuk mengaku tahu apa yang kami lakukan. Mister Masbuk, yang
akhirnya kami ketahui bernama Pak Markim itu, di waktu berikutnya akrab dengan
saya dan teman-teman. Oh ya, kenapa Pak Markim sering menjadi masbuk, karena
beliau memang sibuk sekali. Sejak istrinya meninggal dunia, Mister Masbuk aeh,
Pak Markim … yang belum kuat menggaji pembantu itu mengurusi empat anaknya yang
masih kecil-kecil, sambil menunggui warung kelontongnya yang lumayan mulai
ramai pembeli. Pak Markim bilang, kedua anaknya yang paling kecil suka menangis
kalau ia hendak ke masjid. Sementara itu, ia tak mungkin membawa keduanya. Dan,
ia harus meyakinkan kedua anaknya tersebut agar tidak ikut sebelum berangkat ke
masjid. Hal itulah yang membuat ia selalu ketinggalan.
“Sekarang kami mengerti, Pak. Kalau kami jadi
Pak Markim, kami belum tentu bisa menyempatkan diri shalat di masjid.”
“Sesibuk apa pun, kita harus menyempatkan diri
shalat berjamaah di masjid.
Bukankah shalat berjamaah di masjid itu lebih utama daripada shalat sendirian di rumah? Dan, insya Allah, kalau sudah dapat pembantu saya tidak akan menjadi masbuk lagi,” janji Pak Markim, sambil menyunggingkan senyum.
Bukankah shalat berjamaah di masjid itu lebih utama daripada shalat sendirian di rumah? Dan, insya Allah, kalau sudah dapat pembantu saya tidak akan menjadi masbuk lagi,” janji Pak Markim, sambil menyunggingkan senyum.
Sejak kejadian itu, kami sepakat untuk tidak
berburuk sangka pada seorang masbuk di masjid. Kami kira shalat berjamaah tertinggal
oleh imam bukan merupakan hal yang buruk, daripada tidak shalat sama sekali.
Dan, kalau pada hari berikutnya ada Mister Masbuk seperti Pak Markim, kami
belum tentu sempat lagi menyelidikinya karena kami semua baru saja mendapatkan
pekerjaan. Kami tidak akan lagi melakukan hal-hal seperti orang kurang kerjaan
itu.
Tangerang Selatan, 2019
Catatan:
Masbuk:
Sebutan bagi makmum yang tertinggal dalam shalat berjamaah.
0 comments:
Posting Komentar