Cerpen Zaenal Radar T.
KOMPAS, 22 Juli 2018
KOMPAS, 22 Juli 2018
Perempuan tua itu duduk-duduk pada bale-bale
belandongan, sebuah bangunan khas Betawi, terbuat dari bahan kayu yang
biasanya berdiri di depan bangunan utama. Luasnya sekitar lima kali empat
meter, tapi ada juga yang lebih besar, tergantung luas halaman. Belandongan
menggunakan tiang kayu yang kokoh, dan bagian atasnya menggunakan bambu sebagai
penopang atap. Belandongan masa lalu biasanya memakai rumbia atau daun kirai sebagai atap. Karena bahan baku
sudah tidak bisa didapat, maka sebagai gantinya dipakai genting, seperti
rumah-rumah kebanyakan. Bangunan Belandongan biasanya tanpa sekat, diisi
bale-bale dan meja yang lengkap dengan kursi kayu jati atau mahoni. Bangunan
ini menjadi serbaguna, bukan hanya untuk menerima tetamu, tetapi juga digunakan
untuk kumpul-kumpul bagi penghuni dan tetangga sekitar.
Meiuz Prast/ Kompas |
Perempuan tua yang duduk di bale-bale terus saja sibuk merajut kerajinan
tangan. Perempuan tua ini lihay memainkan benang rajut, kelihatan dari cara
jemarinya melekuk sana sini meskipun sesekali tatapannya memandang jauh ke
depan, entah kepada siapa, seolah-olah ada seseorang yang tengah ditunggunya.
Kabarnya dulu si perempuan tua biasa menganyam akar pandan untuk dijadikan
tudung laken atau tikar pandan. Tetapi belakangan akar pandan sudah sulit di
dapat, sebagai gantinya dia merajut benang untuk dijadikan sapu tangan atau
taplak meja.
Aku duduk beberapa jengkal dari si perempuan tua, bersanding dengan kursi
Kong Markum, lelaki tua saudara kandung si perempuan tua tadi. Jari jemari si
perempuan tua masih terus asyik masyuk merajut, seraya tatapannya sesekali
mengarah jauh ke depan, tatapan penuh harap akan datangnya seseorang.
Aku menyeruput kopi hitam yang dihidangkan di atas meja, sambil terus
mendengarkan pandangan Kong Markum soal perempuan. Bukan soal perempuan tua
yang sedang sibuk merajut itu, melainkan perempuan di kampungnya secara umum. Lelaki
tua yang sudah lebih dari sepuluh tahun ditinggal mati istrinya itu sedang
membanding-bandingkan perempuan sekarang dengan perempuan pada masa dia muda.
“Perempuan sekarang mah beda sama
perempuan dulu, tong. Sekarang itu
keliatannya wadon (perempuan) lebih
murah. Diobral kayak di kaki lima. Udah kagak
ada harganya.”
Saya cukup paham kenapa Kong Markum berkata begitu, karena setelah itu dia
menunjukkan tangannya ke jalan depan belandongan, ke arah lelaki pengendara
sepeda motor yang memboncengi perempuan muda becelana pendek di atas lutut. Posisi
si perempuan muda memeluk si lelaki erat sekali. Seolah dirinya tidak akan
pernah bisa dilepaskan. Menempel lengket macam parutan kelapa yang biasa ditaburkan
di atas ketan.
“Noh lo lihat si Lina. Baru juga pacaran seminggu, udah berani gelendotan sama pacarnya.”
“Maksud Engkong mesra-mesraan?”
“Iya. Beda sama perempuan dulu.”
Setelah itu Kong Markum bercerita tentang perempuan pada masanya, termasuk
bagaimana dia berhasil meminang almarhumah istrinya, Nyak Rodiah. Kong Markum
bilang, dulu itu, kalau kita senang sama perempuan, kita tidak bisa langsung
mengajak kencan atau sekadar jalan-jalan dengan gebetan kita. Karena kalau kita berjalan berduaan dengan perempuan
yang bukan muhrim atau belum terikat tali perkawinan, seantero kampung langsung
jadi geger. Gempar mirip ada kebakaran. Penduduk saling berbisik, saling
membicarakan kenapa kita sebagai lelaki perjaka jalan sama perempuan lajang
yang belum ada ikatan apa-apa.
“Kalo kita udah nikah terus jalan sama perempuan lain pegimana, Kong?”
“Ah, bloon pertanyaan lo! Yang
masih perjaka sama lajang aja diomongin, pegimana yang udah berkeluarga? Aib!
Jangan cuman dulu, sekarang juga kalo sampe kejadian kayak gitu, bakalan jadi
omongan warga!”
Kong Markum kembali melanjutkan ceritanya, setelah menyeruput kopi hitam
dan menginjak-injak puntung rokok yang sudah tidak bisa lagi diapit jemari
karena sudah terlalu pendek. Umur Kong Markum sudah delapan puluh tahun lebih.
Dia masih gemar merokok, ngopi, kebiasaan yang tidak sama sekali merusak
kesehatannya. Kong Markum mengaku belum pernah check up ke dokter karena tidak berani. Kalau badannya terasa lelah
atau kepalanya pusing, Kong Markum memilih tiduran. Kalau masih merasakan
capai, paling-paling dia minta dipijat sama Mbak Yum, tukang pijat yang tak
jauh dari rumahnya ini. Beliau tidak mau berurusan dengan rumah sakit, kecuali
hanya satu kali saat dirinya terserang demam berdarah. Itu pun karena terpaksa.
Kembali ke cerita Kong Markum soal perempuan pada masanya. Menurut Kong
Markum, dulu itu, kalau anak muda demen sama anak gadis orang, si anak muda
tidak akan berani bicara kepada si gadis secara langsung. Biasanya si anak muda
datang sore-sore ke belandongan dan duduk bercengkerama dengan bapak atau ibu
si gadis. Sedangkan si gadis mengintip dari kejauhan, dari balik pintu atau
jendela. Kalau memang si orang tuanya resep (menyukai anak muda), si anak muda
diberikan kopi atau panganan sekadarnya, entah itu singkong bakar, jagung rebus
atau lainnya. Setelah itu si anak muda tidur di balai belandongan sampai pagi.
Ini disebutnya ngelancong, atau
istilah keren anak sekarang disebut wakuncar atawa nge-date.
Selain orang tua si gadis, biasanya ada sejumlah nenek-nenek yang sedang
menganam akar pandan untuk dijadikan tudung laken atau tikar pandan, seperti
yang dilakukan si perempuan tua yang merajut benang rajut saat ini. Sepanjang
malam itu si anak muda hanya memandang ke arah jendela atau pintu rumah si
gadis dari bale bale belandongan, berharap bisa melihat si gadis tersenyum atau
sekadar menampakkan wajah. Meskipun begitu, si anak muda sungguh bahagia sekali
bisa ngelancong sampai pagi.
Kalau sekiranya ada anak muda lain suka dengan si gadis, dan dia melihat
anak muda lain menginap di belandongan sampai pagi, maka si anak muda itu
mengalah, atau kalau dia jantan maka bisa berkelahi demi memperebutkan si
gadis. Tetapi berkelahi jarang terjadi lantaran soal berebut anak gadis, sebab
itu hal yang memalukan dan aib bagi anak muda. “Kayak kagak ada perempuan laen
aja, pake beceke. Kan dunia kagak
selebar daon kelor, dan jumlah perempuan katanya lebih bejibun daripada jumlah lelaki!” begitu alasan anak-anak muda soal pantangan
berebut perempuan, karena jumlahnya yang lebih banyak daripada lelaki.
Kalau si anak muda sudah semakin sering datang ke belandongan dan akrab
dengan orang tua si gadis, maka si orang tua akan bertanya keseriusan si
lelaki. Orangtua si gadis meminta si anak muda mengajak orangtuanya untuk
datang melamar si gadis.
Mendengar cerita Kong Markum, aku hanya mengangguk-angguk mirip burung
pelatuk. Kembali kulirik perempuan tua yang tengah merajut, membuat Kong Markum
menghela napas berat, seolah dia tahu apa yang sedang kuperhatikan.
“Namanya Samsiah. Ini contoh perempuan yang setia.”
“Kong, gak usah keras-keras…”
“Kagak ngapa-ngapa. Samsiah udah budek. Dia kagak bakalan denger obrolan
kita”
“Kong, kenapa Nek Samsiah sering menatap ke luar belandongan? Apa ada yang
dia tunggu?”
Kong Markum kembali menghela napas, kali ini lebih berat dari sebelumnya.
Terlihat kesedihan pada raut wajahnya.
Samsiah dulu itu kembang desa. Kecantikannya kagak ada tandingan. Banyak
lelaki yang berlomba-lomba kepingin mendapatkannya, tetapi Samsiah hanya setia
pada satu lelaki, seorang anak muda yang berjanji akan datang melamarnya.
Saya sudah bisa menebak arah cerita Kong Markum.
“Pasti anak muda itu kagak pernah datang melamar Nek Samsiah?”
Kong Markum tidak menjawab, tidak mengangguk, dan tidak menghela napas
berat seperti sebelumnya.
Tiba-tiba saya dan Kong Markum dikagetkan oleh sikap Nek Samsiah yang
mendadak terdiam. Tangannya berhenti merajut. Tatapannya kosong. Tampak air
mata meleleh, membasahi pipinya yang keriput. Jangan-jangan Nek Samsiah
mendengar obrolan kami? Kong Markum langsung berdiri, lalu memapah Nek Samsiah,
membawa perempuan tua itu meninggalkan belandongan.
***
Sudah hampir dua tahun saya tidak lagi mampir di rumah Kong Markum. Saya
terkejut melihat bendera kuning tertancap di tepi jalan, mengabarkan kematian.
Saya tahu dari obrolan warga di jalan, bahwa Nek Samsiah telah berpulang. Saya
jadi teringat dengan sosok perempuan setia yang selalu menunggu seseorang di
belandongan. Saya segera beranjak ke rumah Kong Markum.
Saya terkejut karena belandongan sudah tidak lagi terlihat di depan rumah,
karena katanya terkena imbas pelebaran jalan. Setelah belandongan di depan
rumah Kong Markum dirobohkan, praktis tidak ada lagi bangunan belandongan di
kampung ini. Barangkali zaman memang sudah berubah. Tak ada lagi warga yang
tertarik mendirikan belandongan di depan rumah-rumah mereka. Tapi saya pernah
mendengar kabar, ada tempat wisata yang dibuat oleh pemerintah kota setempat,
membuat bentuk bangunan yang menyerupai belandongan.
Saat tiba di depan rumah, Kong Markum memeluk saya erat-erat. Saya membalas
pelukan hangatnya, sambil membisikkan kata-kata sabar dan ikhlas. Kong Markum
membimbing saya masuk ke dalam rumah, dan saya bisa melihat mayat Nek Samsiah
terbujur kaku, wajahnya tertutup kain putih. Saya memberanikan diri
menyingkapnya, dan aneh sekali, wajah Nek Samsiah tampak tersenyum, seolah
memperlihatkan kebahagiaan di akhir hayatnya.
Lalu datang lelaki tua seumuran Nek Samsiah, duduk di hadapan mayat Nek
Samsiah. Kong Markum berbisik pelan ke telinga saya, “Dia Sasmita, lelaki yang
selama ini ditunggu oleh Samsiah.”
Saya terkejut mendengar bisikan Kong Markum. Pantas saja mayat Nek Samsiah
tersenyum, barangkali karena dia berbahagia bisa bertemu dengan lelaki pujaanya?
“Elo tahu kenapa Si Sasmita baru datang sekarang?”
Saya langsung menggeleng. Saya jadi penasaran.
“Si Sasmita baru balik dari Eropa. Dia juga ternyata belom kawin.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Dulu Si Sasmita diuber-uber tentara. Dia dianggap besebrangan sama
pemerintah berkuasa. Padahal… setahu gue dia cuman ikut-ikutan. Dia kagak tahu
apa-apa. Ya begitulah nasibnya. Dia
bilang dia kagak dendam. Kagak marah. Bilangnya sih begitu. Tapi gua kagak tahu
hatinya pegimana…”
Saya terkejut, lalu menatap wajah lelaki tua yang disebut Sasmita itu. Terlihat
keteduhan wajahnya, ketenangannya, kewibawaanya, dan rasa cinta terhadap
perempuan yang terbujur kaku di hadapannya. Sasmita terus menatap mayat Nek
Samsiah, lalu dia meraih tangan mayat Nek Samsiah, dan mengecupnya.***
0 comments:
Posting Komentar