Cerpen Zaenal Radar T.
Republika, 15 Juli 2018
Republika, 15 Juli 2018
Allahu
Akbar… Markum
menggumam dalam hati, tubuhnya tersungkur di dalam kotak dua belas pas akibat kaki kirinya diganjal
oleh pemain belakang lawan. Wasit meniup pluit dan memberikan hadiah tendangan dua
belas pas, atawa biasa disebut tendangan penalti. Teman-teman Markum
mengerubuti, memeluknya, mengelus rambutnya, memberikan selamat kepadanya karena
dengan tendangan dua belas pas nanti, besar kemungkinan kesebelasannya akan
memenangkan pertandingan. Apalagi pertandingan sudah memasuki injury time, babak tambahan waktu.
Ilustrasi Amanina Qanita/ Republika |
Beberapa pemain lawan yang dipimpin oleh kapten kesebelasan
tim lawan, protes keras terhadap keputusan wasit. Mereka mencurigai Markum
hanya melakukan diving, yakni pura-pura terjatuh. Namun wasit tetap pada
keputusannya, menunjuk titik dua belas pas sebagai hukuman. Para penonton
bergemuruh, menunggu proses tendangan dua belas pas itu.
Alhamdulillah Markum
dipercaya melakukan tendangan dua belas pas. Semua pemain, pelatih, tim official, penonton pendukung, menaruh
harapan pada Markum. Meskipun sering mengeksekusi tendangan dua belas pas, kali
ini Markum tiba-tiba merasa mual ingin muntah, mentalnya menjadi kacau. Markum
berusaha menenangkan pikirannya.
Namun ia tetap tak mampu menghindar dari macam-macam
perasaan yang tiba-tiba menyeruak memenuhi dinding ingatannya. Istrinya kini
tengah hamil delapan bulan lebih. Markum memerlukan banyak biaya untuk
persalinan. Sebelum berangkat ke lapangan pertandingan, istrinya berpesan bahwa
minggu-minggu ini ia memerlukan biaya untuk persiapan uang muka rumah sakit
bersalin. Istrinya tak mau kejadian seperti waktu melahirkan anak pertamanya terulang.
Mereka tidak punya kartu sehat, BPJS atau kartu sakti apapun supaya anti
membayar biaya rumah sakit. Ketika itu mereka ditolak rumah sakit karena tak
mampu bayar uang muka.
Mau mengurus kartu-kartu itu harus ada KTP elektronik. Tapi
sudah hampir setahun mengurus, katanya blangko KTP belum tersedia. Istrinya
pusing, jadi lebih baik cari jalan lain, cari uang yang banyak buat persiapan
kelahiran.
Penonton bergemuruh, memberikan dukungan pada Markum. Markum
berdiri hendak berjalan menuju titik dua belas pas untuk bersiap-siap melakukan
eksekusi. Wasit meletakkan bola tepat di titik putih. Pikiran Markum kembali
pada putra pertamanya yang akan mendaftar sekolah bulan depan. Markum bingung
memilih sekolah yang baik untuk putranya.
Kalau mau bagus, Markum harus memasukkannya ke sekolah
swasta elite. Tapi itu tak mungkin
karena uang pangkalnya menjerat leher. Masuk sekolah negeri pun sebenarnya
lumayan berat. Bukan cuma soal ongkos pulang dan pergi, tetapi juga untuk
keperluan buku dan jajan sehari-hari. Bagaimana Markum mendapatkan uang itu?
Semua ini tidak akan terjadi kalau gajinya sebagai pemain di salah satu klub liga
amatir lunas terbayar, yang akhirnya menyatakan gulung tikar karena tidak lolos
kualifikasi kompetisi Liga 1. Dan dia tidak harus bermain di kompetisi kampung tujuh
belasan seperti detik ini.
Markum sudah berdiri di dekat titik putih yang berjarak dua
belas langkah pas atau tepatnya 11 meter dari tiang gawang. Markum mengumpulkan
pecahan konsentrasi, menatap gawang yang lebarnya 7,32 meter dan tinggi
masing-masing mistar sekitar 2,22 meter itu.
Ia ambil bola yang tadi diletakkan wasit, lalu ia cium lebih dulu bola
tersebut. Penjaga gawang lawan berjalan menuju bawah mistar untuk bersiap-siap
menghadapi tendangan dua belas pas yang akan dilakukan Markum. Penonton semakin
berteriak-teriak histeris memberikan dukungan, namun ada pula yang justru
mengejek, berusaha untuk mengacaukan konsentrasi Markum yang sebenarnya memang
sedang kacau.
“Ayo Markum! Kamu pasti bisa!”
“Hajar, Markuuummm…!!”
“Sikat, bleh!!”
“Alaa, nggak bakal masuk!!”
“Paling ke atas mistar!”
“Nggak masuk, nggak masuk, nggak masuk!!!”
“Gol! Gol! Goooool!!!”
“Tembak Markuuummm…!! Jambreeettt aeh, jebreettt!!!”
Markum masih memegang bola yang tadi diciumnya, lalu
meletakannya dengan hati-hati pada titik putih dua belas pas. Markum lalu
menghela napas panjang. Pikirannya kembali pada ingatan tentang mertuanya yang
selalu marah-marah. Markum sudah sejak lama diminta untuk mengontrak rumah
sendiri. Ini berkaitan dengan adik iparnya, Pilo Poly, yang akan menikah bulan
depan. Kamar yang sekarang digunakan untuk istri dan anaknya sebenarnya kamar Pilo,
yang mengalah tidur di ruang tengah. Bila Pilo menikah, dia meminta kamar itu dikembalikan untuknya.
Markum sendiri sebenarnya sudah tidak kerasan menumpang
dengan mertua. Apalagi mertuanya itu termasuk dalam katagori mertua cerewet.
Setiap hari selalu saja mengungkit-ungkit keberadaanya. Kalau saja ia memiliki
uang lebih untuk mengontrak rumah, tentu ia sudah memboyong anak dan istrinya
pergi ke tempat lain. Sayang, manager tim yang merekrutnya angkat tangan
sewaktu tim semi profesional tempat dia mengais rezeki dibubarkan.
“Markum, sepak bola itu nggak bisa menghidupi keluarga...”
nasihat ibu mertuanya suatu ketika, saat mendengar tim-nya dibubarkan sampai waktu
yang tidak bisa ditentukan, membuat Markum naik darah.
“Bu, sepak bola juga bisa menghasilkan uang. Ibu jangan
meremehkan penghasilan pemain sepak bola...” Markum membela diri.
“Buktinya...? Selama ini apa yang kamu dapat? Kalau istri
kamu nggak kerja, dari mana kamu bisa makan!? Dari mana kamu bisa beli susu
anak? Kamu dibon sama kampung sebelah paling sebulan sekali. Atau paling sering
kalau ada acara agustusan kayak sekarang! Itu kan setahun sekali!??”
“Sabar, Bu. Kita berdoa saja, semoga saya mendapat tawaran
dari tim liga satu, biar saya cepat pindah dari sini secepatnya..”
“Cuih! Cuma ngomong doang! Mana buktinyaaa...!!?”
Sampai di sini, Markum cuma bisa geram sendiri. Markum masih
berada di kotak dua belas pas, berhadapan dengan si kulit bundar yang sudah
siap berada di titik putih yang siap ditendang. Pada kejuaraan kompetisi Agustusan
kali ini, menurut panitia, hadiahnya dua belas juta berikut dua ekor kambing. Untuk
pemain terbaik, mendapat satu ekor kambing. Untuk pencipta gol terbanyak, juga
mendapatkan satu ekor kambing. Kalau tendangan dua belas pas ini masuk, sudah
bisa dipastikan Markum akan menjadi top
scorer, dan timnya jadi juara.
Saat ini usia Markum baru memasuki dua puluh lima. Markum
menikah diusia delapan belas, setelah lulus SMA. Sejak itu ia hanya bermain
sepakbola, karena sulit mendapatkan pekerjaan dan tak ada biaya kuliah. Markum
sudah bertekad menjadikan sepak bola sebagai mata pencaharaian. Apalagi dia
direkrut oleh salah satu tim anggota Liga Indonesia, sebelum akhirnya tim
dibubarkan karena tidak lolos kualifikasi mengikuti kompetisi. Markum yang
berada pada posisi striker dalam
setiap pertandingan ini bukan pemain sembarangan. Markum jago mengutak-atik si
kulit bundar layaknya pemain-pemain sepak bola dunia macam Christian Ronaldo
dari tim Real Madrid yang membela negaranya Portugal. Kelihaiannya sulit
dibendung pemain belakang. Seperti Muhamad Salah pemain asal Mesir yang
merumput di Liverpool. Gocekannya mematikan bak Lionel Messi pemain handalam Argentina
yang merumput di Barcelona. Tendangannya gledek bak Gabriel Batistuta, pemain lawas
handalan Argentina. Tendangan bebasnya nyaris menyamai tendangan pisang milik
David Beckham! Demikianlah Markum.
Kalau sampai saat ini ia belum menjadi pemain profesional
seperti pemain-pemain liga nasional lainnya, mungkin karena dirinya belum mujur
saja. Sekalinya direkrut, apesnya tim malah bubar di tengah jalan. Selama ini Markum
sudah berkali-kali mengikuti seleksi untuk bisa mengikuti kejuaraan sepak bola
tingkat daerah. Tetapi dia selalu tersisih. Entahlah, kehebatan tidak diikuti
keberuntungan. Mungkin belum rezeki, begitu kata teman-teman terdekatnya.
Meskipun sudah berkeluarga dan memiliki satu anak, dan satu
lagi yang masih dalam kandungan, Markum tak pernah berhenti berlatih. Markum
pun selalu mendapat panggilan untuk bermain tarkam,
tarikan kampung dari kampung lain. Mengingat ia memang sudah cukup dikenal
sebagai pemain sepak bola yang akan bermain di liga nasional.
Tendangan dua belas pas ini akan menjadi penentu kemenangan
tim yang membayarnya. Kalau Markum berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan
pada tendangan dua belaspas ini, akan menjadi sejarah timnya menjuarai
kejuaraan kali ini. Ditangan Markum-lah sejarah itu akan terukir.
Markum menatap ke arah gawang, dimana penjaga gawang yang
berdiri di bawah mistar tengah bersiap-siap mengantisipasi tendangan dua belas
pas yang akan segera ia lakukan. Penjaga gawang sempat memegangi tiang mistar
sebelah kanan, lalu berjalan menuju mistar sebelah kiri. Setelah itu ia berdiri
tepat di bawah mistar sambil melompat-lompat meraih mistar atas gawang. Penjaga
gawang lalu memberikan isyarat dengan tangannya, agar Markum selekasnya
melakukan tendangan hukuman itu.
Wasit meniup pluit. Markum melangkah mundur beberapa
langkah, dan bersiap melakukan eksekusi! Para penonton pendukung terus
bersorak-sorak mengelu-elukan, memberikan semangat, sementara penonton tim lawan
terus semangat mengolok-oloknya. Beberapa rekannya berdiri di garis luar kotak
penalti untuk bersiap-siap menghajar bola ke arah gawang jika bola itu
kemungkinan bisa di tepis penjaga gawang, atau menyentuh mistar. Beberapa
pemain lawan menjaga-jaga pemain tersebut, hingga saat tendangan dua belas pas akan
segera dilakukan, rekan Markum terjatuh akibat adu badan yang dilakukan tidak
semestinya itu. Wasit pun meniup pluitnya, meminta Markum menunda tendangan dua
belas pas itu.
Wasit melangkah mendekati rekan Markum yang terjatuh, dan
pemain lawan yang menjatuhkannya. Kedua pemain tersebut diberi peringatan.
Keduanya diancam akan diberikan hukuman kartu bila mengulangi seperti yang baru
saja mereka lakukan. Nyatanya, setelah wasit meninggalkan kedua pemain itu dan
bersiap-siap memerintah Markum untuk melakukan tendangan penalti, kedua pemain
tadi kembali saling mengadu badan. Tapi tentu tidak sekeras sebelumnya.
Markum masih memandang ke arah gawang yang dijaga penjaga
gawang. Markum memikirkan bagaimana mengecoh penjaga gawang memuakkan ini. Yang
Markum inginkan, ketika bola di arahkan ke bagian kiri, penjaga gawang melompat
ke kanan. Atau sebaliknya. Ini seperti tendangan penalti yang dilakukan oleh
pemain-pemain top manca negara.
Tendangan dua belas pas alias penalti, meski berjarak sekitar
11 meter dari gawang, tidak berarti mudah. Sebak tidak sedikit pemain-pemain
kelas dunia yang gagal melakukannya. Pemain Italia yang saat itu berjaya di
Juventus, Roberto Bagio, pernah gagal memasukkan tendangan penalti saat melawan
Brazil di final Piala Dunia. David Beckham, kapten tim nasional Inggris yang
pernah main di MU dan Real Madrid juga pernah gagal. Lionel Messi dan Christian
Ronaldo juga pernah gagal baik di
liga maupun di piala dunia. Kesebalasan Spanyol dikalahkan
kesebelasan Korea Selatan dalam drama adu penalti memperebutkan semi final
Piala Dunia di Jepang-Korsel. Dan masih banyak kejadian-kejadian lainnya dalam
drama tendangan dua belas pas ini.
Dan Markum berpikir, bukan tidak mungkin dirinya gagal
menciptakan gol dalam tendangan dua belas pas yang akan segera ia lakukan ini.
Wasit meniup peluitnya. Markum pun menarik napas panjang, lalu mengembuskannya
perlahan. Markum kembali menatap mistar, siap melaju dan menendang bola ke arah
gawang. Sesaat suara penonton tidak terdengar. Yang ada malah suara anaknya
yang minta dibelikan tas untuk masuk sekolah awal bulan ini.
“Ayah, Dendy maunya tas warna biru ya, seperti punya
Eko...”
“Iya, iya... nanti akan Ayah belikan....”
“Jangan bohong lagi lho, Yah...”
“Ayah janji, deh. Yang penting, Dendy doakan ayah yah,
semoga pada pertandingan besok sore ayah menang dan bisa buat gol!”
“Iya deh! Pasti Dendy doain...”
Dalam pikiran seperti itu, Markum bertekad menyarangkan
bola ke arah gawang. Saat wasit meniup pluitnya, Bismillahirohmanirrohiim.Markum segera menendang bola di titik putih itu. Penjaga gawang
terkecoh. Bola masuk! Suara penonton bergemuruh. Tapi... bersamaan dengan itu,
wasit meniupkan peluitnya dua kali. Wasit menganggap posisi penjaga gawang
terlalu jauh dari garis mistar. Dan penjaga gawang lebih dulu bergerak maju
sebelum tendangan Markum tadi dilakukan.
Tendangan dua
belas pas harus diulang! Beberapa pemain rekan Markum yang hendak protes
dicegah oleh pelatih. Markum pun mengulang tendangan dua belas pas itu. Penjaga
gawang yang diberikan peringatan keras oleh wasit kembali berdiri di bawah
mistar. Wasit meniup peluitnya. Markum kembali bersiap-siap melakukan tendangan
penalti ulang, mundur beberapa langkah, menarik napas dalam-dalam lagi, lalu
melangkahkan kaki hendak menghajar si kulit bundar.
Mendadak wajah mertuanya seolah berada dihadapannya. Markum
tidak peduli dan menghajar bola itu dengan kekuatan penuh. Bismillah!!! Ziggg!!! Bola
melesat ke arah gawang, bagai menghantam wajah mertuanya yang sinis. Penonton
berteriak-teriak, bergemuruh, hingga membuat stadion hampir roboh.
Markum jatuh terkulai. Markum tidak tahu apakah bola yang
baru saja ditendangnya berhasil masuk ke gawang atau tidak. Yang ia sadari
adalah gema suara penonton yang riuh rendah. Masya Allah… Markum pingsan!
*)Tangerang
Selatan, 2018
0 comments:
Posting Komentar