Mamat Metro

Mamat Metro

Telepon Genggam Bu Guru Aisyah

Cerpen ZAENAL RADAR T.
Harian REPUBLIKA, Ahad, 21 Oktober 2018


Tidak biasanya guru baru kami, Bu Aisyah, guru Bahasa Indonesia kami yang terkenal cantik dan baik, kini membawa telepon genggam ke dalam kelas. Telepon genggam itu beliau letakkan begitu saja di atas meja saat hendak mengisi pelajaran. Seingat saya, sejak membawa telepon genggam ke dalam kelas, telpon genggam Bu Aisyah tidak pernah terdengar berdering, bergetar, atau bersuara barang sekejap. Barangkali karena setiap kali Bu Aisyah mau masuk kelas telepon genggam itu sudah dimatikan lebih dulu? Atau dia menyetelnya dengan tanda silent.
foto__Instagram Nabilah
Saya terkejut saat pertama kali Bu Aisyah mengajar di kelas. Bu Aisyah masih sangat belia. Dia guru termuda di sekolah kami. Teman-teman dekat saya tak kalah herannya. Yang membuat kami semakin heran, Bu Aisyah sangat mirip dengan Bu Elliza, guru agama di sekolah kami yang sekarang pindah sekolah ke London.
“Subhanallah, Rama. Bu Aisyah udah kayak kembarannya Bu Elliza”
 “Iya bener, tapi coba perhatiin. Bu Aisyah kok gak pernah kita lihat dia lagi nelepon seseorang, ya?”
Apa yang dikatakan salah satu teman saya benar. Seperti yang saya bilang tadi, kalau saya perhatikan, sejak membawa telepon genggam ke sekolah, Bu Aisyah memang tidak pernah terlihat menggunakan telepon genggamnya. Baik di ruang guru atau di luar kelas. Saya juga tidak pernah melihat Bu Aisyah menggunakan telpon genggamnya di tempat lain, tidak seperti guru-guru kebanyakan. Sebab tidak jarang saya melihat bapak atau ibu guru sedang menelpon dengan telepon genggam mereka di lingkungan sekolah. Saya sering melihat Bapak Kepala Sekolah sedang menelpon dengan telpon genggamnya di dalam kantor, atau Pak Mardan, guru kesenian, yang kerap menggunakan telpon genggam saat berada di ruangan guru.  Saya jadi penasaran dengan Bu Aisyah, kenapa tidak pernah terlihat sedang menelepon atau menerima panggilan telepon genggamnya.
“Jangan-jangan Bu Aisyah malu terlihat sama murid-muridnya kalau dia lagi nelpon di dalam kelas?”
gbr: liputan6.com
“Atau karena Bu Aisyah guru yang paling beretika. Dia hanya mau menggunakan telepon genggamnya di luar sekolah?”
“Tapi kenapa guru-guru lain melakukannya? Bener gak?”
Not bad-lah nelpon atau menerima panggilan telepon di tempat yang semestinya, bukan dalam jam pelajaran di dalam kelas.”
Anak-anak saling membicarakan perihal Bu Aisyah dan telepon genggamnya. Saya penasaran dan diam-diam menyelidiki Bu Aisyah. Saya ikuti dia saat jam pelajaran usai, dan saya melihat dia menggenggam telepon genggamnya memasuki ruangan guru. Setiba di depan ruang guru, telepon genggam itu tidak dia gunakan, tetapi dimasukkan ke dalam tasnya. Saya masuk dengan berpura-pura menemui guru Bahasa Inggris yang kemarin ada janji bertemu. Ternyata guru bahasa Inggris saya sedang tidak ada di tempat, dan dengan begitu perhatian saya beralih pada ibu guru Aisyah. Saya menunggu lama di salah satu sudut, sambil melihat-lihat ke sekeliling ruangan, dan menemukan guru-guru lain menelepon seseorang dengan telepon genggam masing-masing.
Saya perhatikan Bu Aisyah duduk dan seolah tidak peduli dengan keadaan sekeliling ruangan guru, dimana beberapa bapak dan ibu guru lain sibuk dengan gawai masing-masing. Bu Aisyah malah mengambil sebuah buku dan membolak-baliknya. Telepon genggam di dalam tasnya tidak dia lihat, apalagi digunakan. Hal ini mengingatkan saya pada Bu Elliza. Kenapa Bu Aisyah mirip sekali dengan Bu Elliza. Sama seperti Bu Aisyah, Bu Elliza juga jarang menggunakan telpon genggam. Dia lebih banyak membaca buku. Dan Bu Elliza tidak pernah peduli dengan semua orang yang asyik dengan gadget masing-masing, sementara dia terlena dengan buku yang dibacanya. Terutama buku-buku sejarah nabawiyah.
Saya terkejut saat salah satu guru menegur saya, dan bersamaan itu Bu Aisyah menoleh kearah saya. Saya keluar dari ruangan guru sebelum ada yang mencurigai.
***
Di sekolah kami, meskipun ada peraturan larangan bagi murid-murid menggunakan telepon genggam pada jam pelajaran, hampir semua murid dengan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan menggunakan telepon genggam. Yang penting tidak terlihat oleh bapak atau ibu guru. Kalau sudah selesai jam pelajaran, maka hampir semua anak mengeluarkan telepon genggam masing-masing. Baik menelpon seseorang, menggunakan sosmed, mengetik pesan, atau sekadar memantau apakah ada tanda seseorang menghubungi teleponnya.
Kembali soal telepon genggam Bu Aisyah, saya jadi penasaran. Siang itu saya menguntit Bu Aisyah pulang ke rumahnya. Bu Aisyah tentu tidak melihat kalau ‘agen 007 KW 10’ sedang memata-matainya. Saya terkejut, karena ternyata Bu Aisyah tinggal jauh sekali dari sekolah. Dia harus empat kali naik angkutan umum untuk bisa sampai gang rumahnya. Sementara saya dengan sekali naik mobil pribadi, dalam waktu kurang dari lima belas menit sudah sampai garasi rumah.
“Den Rama, memangnya ada apa dengan Bu Guru kamu itu?” tanya Mang Markum, sopir pribadi yang suka kepo itu.
“Mamang tenang aja. Gak usah ikut campur. Mamang ikutin terus Bu Guru itu!”
“Jangan-jangan aden naksir ya?”
“Udah deh gak usah kepo gitu. Nah, mana tuh… kehilangan jejak, kaaaaan?”
“Dia sudah masuk gang, Den!”
“Ya sudah, Mang Markum tunggu di sini. Jangan kemana-mana sebelum saya balik!”
“Siap, Den!”
Saya berlari ke arah gang kecil, tempat di mana Bu Aisyah turun dari angkot dan menghilang di telan para penghuni gang lainnya. Saya berjalan perlahan, berusaha agar Bu Aisyah tidak melihat keberadaan saya. Sepanjang perjalanan dari mulut gang, saya bisa melihat sosok Bu Aisyah terus melangkah, dan tidak sekalipun saya melihat dia sedang menggunakan telepon genggamnya.
Tiba-tiba terdengar dering henpon, dan Bu Aisyah tampak mengacuhkannya. Karena ternyata itu telepon genggam milik tukang siomay yang lagi mangkal di sudut gang, tidak jauh dari Bu Aisyah yang tengah melangkah. Tukang siomay itu lalu bicara di telepon genggam dengan bahasa daerah. “Haloooo… iya, urang sehat teh! Meureun atuuuh…“ Tukang siomay terus bicara, dan saya tidak begitu peduli dengan ucapannya, fokus melangkah mengejar langkah Bu Aisyah.
Saya kehilangan jejak. Saya tidak menemukan Bu Aisyah karena sempat berpapasan dengan seorang pedagang yang membawa pikulan dari ujung gang lain. Saya harus menunggu pedagang itu lewat, karena gang itu tidak muat oleh pikulan dan barang-barang yang dibawa oleh si pedagang. Setelah si pedagang melintas, saya bergegas ke arah perginya Bu Aisyah. Tetapi saya dikejutkan oleh dua gang lain yang berbeda arah. Saya bingung harus memilih gang yang mana. Ini seperti berada di sebuah labirin dalam adegan film The Hunger Games. Saya terdiam bingung, karena tidak tahu harus melangkah ke mana. Saya terkejut saat sebuah tangan halus menepuk bahu saya dari samping.
“Bu Aisyah?”
“Rama…?! Kamu mau kemana?”
“Eeee… anu Bu. Janjian sama temen.”
Bu Aisyah memandangi saya dengan tatapan heran, saya buru-buru menunduk karena tidak berani menatap wajahnya.
“Permisi, Bu.”
Bu Aisyah mengangguk, membiarkan saya pergi. Kali ini misi saya berantakan. Saya benar-benar gagal total.
***
Dua hari berikutnya, sepulang sekolah, saya kembali membuntuti Bu Aisyah. Kali ini saya sengaja tidak diantar Mang Markum, sopir saya yang super kepo itu. Agar tidak mencurigakan, saya menyamar dengan berpakaian biasa, tidak lagi pakai seragam sekolah. Kenapa hal ini saya lakukan, karena saya benar-benar penasaran dengan guru saya yang satu ini. Guru yang mengingatkan saya pada Bu Elliza.
Setelah melewati beberapa gang yang dua hari lalu saya lewati, Bu Aisyah kemudian menyelinap ke sebuah rumah-rumah kotak yang tidak terlalu enak di pandang mata. Dan ternyata, itu bagian dari gang lainnya. Gang itu sangat sempit. Mereka menamainya Gang Senggol. Bisa saya lihat dari nama gang-nya. Ukurannya selebar tubuh orang dewasa. Jadi kalau ada seseorang lewat di ujung gang sana dan berpapasan dengan kita, maka kita harus saling memiringkan badan, agar kita tidak bertabrakan. Tetapi tidak untuk anak-anak yang sedang berlarian main kejar-kejaran itu. Mereka tetap berlari dan berteriak saling kejar sambil tertawa-tawa, tidak peduli berpapasan dengan orang-orang yang berlawanan arah.  Ada sekitar belasan  meter saya harus memiringkan tubuh setelah akhirnya kembali ke tempat yang lebih luas, jalan ini ibaratnya seperti leher botol saja.
Bu Aisyah kemudian berhenti di salah satu rumah petak-petak, dan saya memperhatikannya di ujung gang senggol itu.
Seorang anak berusia sekitar lima tahun menyambut dan mencium tangan Bu Aisyah. Bu Aisyah tersenyum dan memeluk anak itu, lalu terdengar percakapan keduanya.
Kak, mana henponnya?”
Bu Aisyah mengeluarkan telepon genggam itu dari dalam tas, menyerahkan kepada si anak.
“Besok Kakak gak usah bawa lagi, ya?”
“Enggak bisa! Kakak harus bawa henpon ini! Nena gak mau Kakak beda dengan ibu-ibu guru lainnya yang ngajar kayak Kakak!”
“Nena, Kakak gak butuh barang itu. Kamu tahu gak, telepon genggam itu dibutuhkan oleh orang yang saling memiliki telpon genggam juga. Kalau Kakak harus bawa telepon genggam itu, memangnya Kakak buat menghubungi siapa? Kan kamu sendiri dan orang di rumah kita ini gak punya telepon genggam?”
Anak itu terdiam. Dan saya terus memerhatikannya. Mata si anak mulai basah, dia menahan tangisnya.
Kak Aisyah janji, kalau semua hutang-hutang kita lunas, dan Ayah yang dipenjara sudah keluar, Kakak akan membeli telepon genggam beneran.”
“Janji ya, Kak? Soalnya Nena kepingin Kakak pake henpon. Hari gini cuma Kakak yang gak punya henpon. Pak Kusno, Bu Rita, mereka pada pake. Mbak Jum aja yang tukang urut keliling pake henpon. Kakak juga musti pake, ya?
Bu Aisyah mengangguk sambil tersenyum lembut.
Serius ya, Kak? Tapi Henponnya yang asli, ya. Kak Aisyah gak harus berpura-pura lagi seperti selama ini, membawa telepon genggam yang sebenarnya udah mati!”
“Tapi kan yang penting Kakak bawa hape, Dik?”
“Enggak, ah. Masak Kakak harus terus pura-pura?”
***
Semua teman-teman terkejut saat mendengar informasi dari saya, sang detektif 007 KW 10. Mereka tidak menyangka apa yang terjadi terhadap Bu Aisyah dan telepon genggamnya. Jujur saja, kami semua sangat peduli dengan Bu Guru Aisyah, meskipun sebagian dari kami bĂȘte kalau beliau selalu bertanya, ‘buku apa yang sudah kalian baca pekan ini?’ Ini mengingatkan saya pada Bu Elliza, yang seminggu bisa membaca satu sampai dua judul buku.
“Kita kolekan aja! Bu Aisyah itu ibu guru yang baik. Kabarnya doi bakalan gantiin jadi wali kelas kita!”
“Siaap!!!”
Di akhir pekan, sepulang sekolah, saya dan beberapa teman diantar Mang Markum mampir ke counter seluler, dan membelikan telepon genggam baru buat Bu Aisyah. Saya yang menyerahkannya langsung kepada Bu Aisyah, setelah jam bubaran sekolah pada hari Senin lusa. Bu Aisyah tentu terkejut menerima hadiah sukarela dari saya dan teman-teman. Tetapi dia tidak menolak pemberian ikhlas kami.
Dan di hari selanjutnya, kami berharap Bu Aisyah tidak lagi membawa telepon genggamnya yang mati ke sekolah. Sengaja kami belikan telepon genggam mahal, biar guru bahasa Indonesia kami yang cantik dan keren itu tidak kalah dengan guru-guru lain. Kami juga ingin Bu Aisyah menggunakan telepon genggamnya di luar jam pelajaran sekolah, seperti guru-guru lainnya.
Tapi yang terjadi di luar perkiraan kami. Pada hari setelah menerima telepon genggam baru, Bu Aisyah ke sekolah dengan telepon genggamnya yang lama, telepon genggam yang mati dan tidak bisa dipakai menelpon itu.
Saya langsung bergegas ke rumah Bu Aisyah. Tanpa sepengetahuannya, saya tanyai adik-adik Bu Aisyah, kenapa Bu Aisyah tidak mau menggunakan telepon genggam barunya itu.
Sejak ibu meninggal dunia, selama ini Kak Aisyah yang menghidupi kami. Kakak menjual hape baru itu untuk membayar hutang. Kata Kakak, sebentar lagi hutang kami lunas. Dan kami akan pindah dari tempat ini,ujar si kecil, adik Bu Aisyah yang diam-diam saya tanyai.  Saya tidak mampu berkata-kata. Saya bangga dengan kemandirian dan tanggungjawab Bu Guru Aisyah. Untuk sementara ini, barangkali dia memang belum membutuhkan telepon genggam untuk digunakan berkomunikasi. ***
*)Tangerang Selatan, 2018
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...