Joni Ariadinata
Percakapan Gaya #1
Sugesti
Sumber: E-book Gema Insani 2006
Percakapan Gaya #1
Sugesti
Sumber: E-book Gema Insani 2006
Dear Zaenal…
Ada teknik cukup bagus yang diperkenalkan para
pengarang prosa sejak zaman Balai Pustaka, yakni memberi sugesti kepada para
pembacanya bahwa “kisah yang yang diceritakan betul-betul ada”. Pada novel Siti
Nurbaya misalnya, tokoh-tokohnya digambarkan sedemikian rupa beserta
bukti-bukti nisannya, dengan keterangan yang sangat meyakinkan, “jika kebetulan engkau singgah di sana, maka
akan engkau temukan nisan-nisan yang berjejer berdampingan…” Marilah kita kutip, bagaimana pengarang
memberi sugesti, bahwa tokoh-tokoh dalam novel itu betul-betul ada. Dikisahkan
dua orang kawan Samsulbahri —yang satu sudah menjadi opzichter, yang satu menjadi dokter -- mereka mendaki gunung Padang, dan “berziarah”
pada lima nisan yang berjejer berdampingan. “Pada tiap-tiap kepala kubur itu adalah ditanamkan batu nisan daripada
marmer, yang bertulis dengan hurup air mas’ di kubur yang pertama tertulis:
‘Inilah kubur Baginda Suleman meninggal pada tanggal 5 Ramadhan tahun 1315’.
Pada nisan yang kedua tertulis: ‘Inilah kubur Siti Nurbaya, anak saudagar
Baginda Suleman, meninggal pada tanggal 3 Dzulhijjah tahun 1315’. Pada nisan
yang ketiga tertulis: ‘Inilah kubur Samsulbahri, anak Sutan Mahmud penghuli
Padang, meninggal 5 Shafar 1326’. Dan lain seterusnya…”
Teknik memberi sugesti , memiliki tujuan untuk
mendekatkan sekarab mungkin seluruh peristiwa, seluruh tokoh yang diperankan,
sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembaca. Ia hendak merebut
kepercayaan pembaca. Ia hendak
membuktikan bahwa ada batasan fiksional (imajinasi) dan batas realitas yang
harus diterebos lewat pendekatan psikologis (yang menurut anggapan umum) bahwa
bacaan fiksi semata-mata hanya “Rekaan semata. Kesamaan nama dan peristiwa,
hanyalah factor kebetulan yang tidak disengaja.”
Terus terang, batasan “cerita rekaan semata” yang telah menjadi anggapan umum, ditambah
penegasan “kesamaan nama dan peristiwa
hanyalah faktor kebetulan yang tidak disengaja” yang biasanya terus menerus
diembuskan oleh kalangan penulis dan pengarang kitsch (pengarang setengah hati yang berhasrat mencipta karya seni
tapi malangnya ia tunduk dan takluk pada selera orang banyak); telah menggerus
kepercayaan pembaca bahwa apa yang ia baca “tak patut untuk dipercaya”. Fiksi hanyalah kebohongan yang dibua-buat
(direka-reka) untuk menghibur dan sekadar mengisi waktu luang. Entah sejak
kapan konsensus tentang “cerita rekaan
semata, dan kebetulan semata” diembuskan sehingga seolah-olah menjadi label
(trade-mark) pada seluruh cerita
fiksi. Tentu, anggapan semacam ini amat merugikan kesenian (baca:
kesusastraan)di hadapan khalayak pembacanya.
Padahal, ada perbedaan serius antara cerita-cerita
yang dibuat secara serampangan (kitsch)
dengan karya-karya sastra yang ditulis dengan modal pengetahuan dan kesungguhan
dalam mempertimbangan berbagai fakta yang diteliti baik lewat perpustakaan
maupun lewat data-data di lapangan. Karya
sastra tidak berangkat dari kekosongan. Ia berangkat dari fakta dan data,
dari analisis, dan berbagai macam pergulatan pemikiran untuk “mencari jalan
keluar” dari berbagai macam persoalan politik, kebudayaan, sosial, agama dan
nilai-nilai kemanusiaan secara umum. Seabsurd apapun, se-imajinatif apapun karya sastra, posisi pengarangnya pasti memiliki
pijakan. Cerpen “Mulut” Agus Noor misalnya, yang bercerita bagaimana mulut
seorang tokoh (pemimpin) tiba-tiba membesar dan terus membesar sehingga ia bisa
makan gunung, makan gedung, makan jalan raya, makan laut bahkan makan pulau,
tentu ia tidak berangkat dari kekosongan. Agus Noor pasti berangkat dari fakta
dan data, beserta pergulatan sejumlah pemikiran yang bisa melihat bagaimana bangsa
ini telah disesaki oleh figure-figur pemimpin yang korup. Maka diciptakanlah
symbol dari mulut yang rakus sehingga bisa memakan apa saja dan melenyapkan
negeri ini.
Maka melihat Siti
Nurbaya (seperti halnya kita melihat cerpen “Mulut” Agus Noor) adalah
melihat gejolak perubahan kebudayaan, melihat nilai-nilai patriotik dari sebuah
perjuangan menegakkan harkat kemanusiaan, melihat persoalan sebuah bangsa. Lewat
simbol perlawanan Syamsulbahri dan Siti Nurbaya
terhadap adat, lewat simbol perjuangan Datuk Maringgih ketika terakhir kali
dikisahkan bahwa ia pada akhirnya menjadi seorang patriot pembela bangsa
sementara Sayamsulbahri menjadi tentara Belanda.
sumber: ian konjo |
Berbeda dengan karya-karya kitsch yang diangkat semata-mata untuk memenuhi selera pasar, yang
nyaris tanpa memiliki ideology yang harus diperjuangankan. Ia bisa berangkat
dari sebuah imajinasi yang kosong tentang seorang laki-laki
dan perempuan yang berselingkuh misalnya, yang melulu mementingkan cerita
perselingkuhan hanyalah demi efek cerita semata, demi hiburannya semeta, untuk
memuaskan naluri-naluri kesenangan tanpa
harus bertanya tentang makna apa yang dibaca. Apa yang diharap dari sebuah
bacaan yang berangkat dari sebuah kekosongan? Amat mudah menulis MEREKA-REKA
khayalan tentang percintaan kosong (tanpa harus ada data dan fakta, apalagi
referensi); dengan imajinasi yang hampir dimiliki oleh semua orang. Amat pantas
jika seorang pengarang besar Milan Kundera, mengatakan dengan amat berang bahwa
“Kitsch is the translation of the stupidity of recevied ideas into the
language of beauty and feeling” (Kitsch ada terjemahan dari sebuah
ketololan gagasan-gagasan yang siap diterima ke bahasa keindahan dan perasaan.)
***
Dari
perbincangan kita tentang teknik, marilah kita lihat sebuah cerita pendek yang
ditulus oleh Zaenal Radar T. dengan judul Masjid Raya.
MASJID RAYA
Cerpen Oleh: Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah Annida, No. 05, XIII 1-15 Desember 2003/ 7-21 Syawal 1424 H
Bila
kalian pernah ke Mal Pondok Indah, salah satu mal terindah di selatan Jakarta,
cobalah sekali-sakali kalian perhatikan segerombolan bocah-bocah kumal di
halaman parkirnya. Terutama ketika hujan
datang, saat para pengunjung mal membutuhkan payung-payung, maka aku, salah
satu dari bocah-bocah kumal itu, ada di sana.
Namaku Siti. Umur, entah
berapa. Aku tak pernah tahu kapan aku
dilahirkan. Tanggal, bulan atau tahunnya.
Aku pun tak pernah tahu siapa ibuku.
Aku hanya tahu bahwa aku bernama Siti karena semua orang memanggilku
Siti. Kecuali bapakku, yang telah terbiasa kasar memanggilku : sableng!
“Eh, sableng! Dapet berapa lu?! Sini duitnya!
Anak kecil jangan pegang duit banyak-banyak!”
“Hey, sableng! Beli rokok, gih! Pake duit lu dulu, yah!”
Demikianlah
bapak. Bapakku bertubuh kurus kerempeng,
pendek, berambut gondrong dan berwajah cekung.
Bapakku punya tato kecil di lengan kanan bergambar seorang perempuan
jelek berkacak pinggang. Setiap hari kerjanya
melamun dan minum-minum. Bila aku
bertanya mengapa dia begitu, bapak hanya menjawab:
“Eh, sableng! Lu tahu apa?! Sono lu, mending nyemir
sepatu! Rokok bapak udah tinggal
sebatang!”
Akhirnya
aku jadi malas bertanya padanya. Setiap
kali kutanya mengapa bapak begini atau begitu, bapak selalu mengalihkan
pembicaraan. Namun begitu, aku tahu
siapa bapakku. Aku tahu dari orang-orang
di sekelilingku. Mereka sering
membicarakan bapak. Kata orang-orang bapakku hebat. Preman.
Tak seorang pun berani padanya.
Entahlah. Aku sendiri heran. Bapak yang kurus pendek ditakuti orang. Padahal, bagi orang-orang macam Pak Sakri,
atau bang Husni satpam mal, yang badannya tiga kali lebih gede dari badan
bapak, bapakku didorong sekali juga langsung roboh! Tapi mereka tak berani. Termasuk bang Agus tukang pisang molen. Mas Sarwanto dan bang Pepen, tukang parkir
liar. Bang Domo, Donga, Koneng, dan lainnya,
tak ada yang berani pada bapakku.
Makanya, meski galak, cerewet,
suka mabuk-mabuk, dan sering minta duit padaku, aku jadi bangga juga memiliki
bapak seperti dia. Sebab, karena
bapak, pekerjaanku selalu aman-aman saja.
Tak ada yang berani mengusikku.
Apalagi aku ini bocah perempuan.
Yang dianggap lemah oleh anak-anak lelaki. Bila ada yang macam-macam, kusebut saja nama
bapak. Orang tersebut langsung ngeper!
Takut.
***
Menjelang beduk maghrib, aku
duduk-duduk di teras Masjid Raya. Kalian
tahu tidak, Masjid Raya. Itu lho,
yang warna gentingnya biru? Nama
lengkapnya Masjid Raya Pondok Indah.
Bila kalian berdiri di halaman Mal Pondok Indah, akan tampak
kubahnya. Sekiranya kalian ke Jakarta,
main-mainlah ke sana. Mampir solat. Siapa tahu ketemu aku?
plongsite.wordpress |
Aku suka menyemir sepatu
orang-orang yang solat di sana. Habis,
akhir-akhir ini sudah jarang sekali hujan. Jadi terpaksa aku tak mengojek payung
lagi. Tapi tak apa. Menyemir sepatu penghasilannya lumayan. Apalagi pelanggannya baik-baik. Kebanyakan sih laki-laki. Selama ini baru sekali orang perempuan
kusemir sepatunya. Dan tak pernah ada
lagi selain perempuan baik itu, yang
memberiku dua puluh ribu rupiah sekali semir!
Sayang, waktu itu, uangnya diserobot bapak. Kata dia, buat tambahan beli ‘si topi
miring’. Si Topi Miring? Aku kurang paham. Yang jelas, setelah itu bapak pulang
muntah-muntah.
O’ya, selama menjadi penyemir
sepatu di halaman Masjid Raya, aku merasa senang sekali. Sebab seperti yang kubilang tadi,
pelanggannya baik-baik. Ya, pelanggan.
Mereka kusebut pelanggan karena selalu menyemir sepatu padaku setiap kali
solat. Meski tidak pernah tahu nama
mereka, aku kenal wajah-wajahnya.
Wajah-wajah bersih dan bercahaya... Apakah karena wajah mereka selalu
dibasahi air wudhu?
Bang Agus bilang begitu. Katanya, seseorang yang selalu solat,
wajahnya bersih dan bercahaya! Uh, coba
bapakku solat, pasti wajahnya bersih dan bercahaya. Kalau aku sih sekali-sekali
solat. Bang Agus yang mengajarinya.
Membelikan aku perlengkapan solat. Juga bagaimana bocah perempuan memakai
mukena. Tetapi aku pernah bertanya pada bapak, perihal mengapa bapak tidak pernah
kulihat solat seperti orang-orang di Masjid Raya.
“Pak, kenapa sih, bapak gak
pernah solat?”
“Buat apa?!” bentak bapak.
“Biar wajah bapak bersih dan
bercahaya...”
Bapak tidak menyahut lagi dan
langsung pergi keluar rumah sambil membanting pintu. Kapok aku ngomong sama bapakku!
Tetapi biarlah. Toh akhir-akhir ini bapak sudah kelihatan
sedikit berubah. Sudah jarang kelihatan
mabuk-mabuk lagi. Kudengar dari orang-orang,
bapakku kerja menunggu rumah di sebuah rumah gedong Pondok Indah. Jadi centeng.
Baru tadi malam bapak
bercerita. Tumben bapak mau ngobrol sama
aku. Apakah karena dia lagi banyak duit?
Maklumlah, bapak memang suka aneh kalau lagi pegang uang lebih. Selain mabuk-mabuk, biasanya bapak suka
mentraktirku makan di kaki lima Pasar Kebayoran. Herannya, dia tidak pernah bayar! Pedagang makanannya juga selalu menolak bila
bapak membayar! Aku sendiri bingung. Ada apanya sih bapakku ini?
Sering juga aku dan bapak
dikejar-kejar satpam mal. Tetapi kami
selalu lolos. Namun suatu sore, tiga bulan
lalu, kami digiring ke kantor polisi.
Waktu itu kami pesan hamburger, makanan keren yang sehari-harinya
cuma bisa kulihat, dan selalu jadi pergunjingan diantara teman-teman sebayaku,
di restoran siap saji mal. Setelah
pesan, bapak merogoh sesuatu dari balik jaketnya. Sret sret sret! Pisau cukur diacungkan ke pelayan. Pelayan melongo. Wajahnya langsung pucat. Setelah itu aku dan ayah bebas menghambur ke
luar mal dengan santai sambil mengunyah hamburger. Hanya saja, pas di
depan pintu parikir, sepuluh satpam mal berdiri menghadang!
Seminggu bapak dikurung terali
besi. Aku sendiri dibiarkan bebas. Terus terang, aku merasa nyaman selama bapak
di penjara. Sebab tak ada yang
menggangguku. Yang minta dibelikan
rokok. Atau memijat-mijat kakinya yang
jelek. Rasain dia ditangkap. Punya uang kok malak?
Alhamdulilah. Sekarang bapak sudah berubah. Seperti yang ia ceritakan semalam
kepadaku. Kata bapak, sekarang ia
bekerja sebagai satpam di rumah seorang pengusaha. Bapak tak menceritakan pengusaha apa
majikannya itu. Yang jelas, orangnya
baik sekali. Bapak dimasukkan oleh
seorang koordinator satpam mal. Sehingga pengusaha itu mau menerima bapak. Entah kenapa orang seperti bapak bisa
dipercaya begitu. Barangkali seperti
kata bang Ipen, bapak dipekerjakan di rumah itu biar dia tak terus-terusan jadi
pengacau! Biar tidak bikin onar! Habis, bila terjadi keributan di seputar mal selalu ulah bapak!
Setelah bapak bekerja jadi
satpam gedongan, bapak jadi berubah 180 derajat! Ya, bang Ipen bilang 180 derajat. Artinya, berubah drastis! Tak pernah malak pedagang. Tak pernah kelihatan minum-minum. Dan tidak lagi berkelahi.
Kenapa bisa begitu?
Makanya, sewaktu bapak cerita itu, aku mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Bapak bilang, majikannya yang
pengusaha itu luar biasa kaya! Mobil di
garasi rumahnya ada lima. Perusahaannya
berdiri di mana-mana. Bapak pernah
beberapa kali mengawal majikannya ke tempat-tempat usahanya.
Dan yang membuat bapak takjub,
majikannya ini rajin ibadahnya. Tak
pernah meninggalkan solat bila waktu solat tiba. Di mana pun!
Di perjalanan. Di kantor. Pokoknya dimanapun beliau berada, bila sudah
masuk waktu solat, majikannya pasti mengajaknya solat. Dan bapak, meski malas, akhirnya
menurut. Tapi kata bapak, terus terang
saja, bapak solatnya bila bersama majikannya saja!
Terutama bila di rumahnya yang
gedong, yang luas dan keren itu, bapak ‘dipaksa’ untuk ikut solat berjamaah
bersama keluarganya. Aih, aih, bapak
jadi minder. Bapak bilang, keluarga
majikannya itu cakep-cakep. Majikannya
memiliki dua putri yang cantik-cantik dan seorang putra yang tampan. Ketiganya masih kuliah di Jakarta. Sementara itu, istri sang majikan masih
kelihatan muda dan segar. Pembantu dan
tukang kebunnya, meski tidak secakep majikannya, wajah mereka bersih dan...
bercahaya!
Hmm, bapak masih ingat
kata-kataku rupanya. Bahwa orang yang
solat wajahnya selalu bersih dan bercahaya.
Ya, seperti orang-orang di rumah majikannya itu, atau para jamaah Masjid
Raya ini.
Aih, kok aku jadi melamun begini? Tapi biarlah.
Sore ini katanya bapak gajian.
Meski tak dapat pelanggan semir sepatu,
setidaknya aku masih berharap pada ‘kebaikan’ bapak. Bukankah sekarang ini dia sudah berubah?
Tetapi, aku tak mau menggantungkan diri pada orang
lain! Termasuk pada bapakku
sekalipun! Aku harus dapat pelanggan
sore ini! Kalau ternyata belum juga ada
pelanggan yang datang padaku, mungkin karena sepatu mereka masih bersih-bersih. Atau barangkali, mereka menunggu adzan
berkumandang?
Daripada bosan menunggu, lebih
baik kulanjutkan saja cerita bapakku, ya...
Bapak kaget bukan main waktu
pertama kali majikannya mengajaknya solat.
Pikir bapak, kok orang kaya macam majikannya masih peduli sama yang
namanya solat? Apalagi beliau orang yang
sibuk! Dan yang membuat bapak
tercengang, semua orang di rumah majikannya solat! Sehingga bapak, yang waktu itu sebagai
‘penghuni baru’, tidak bisa tidak harus ikut solat!
Akhirnya bapak selalu menjadi
bagian jamaah solat keluarga majikannya
itu. Apa susahnya, cerita bapak. Tinggal ikuti saja gerakan orang-orang di
depannya. Imam mencium sajadah, bapak
ikut mencium sajadah. Imam berdiri,
bapak ikut berdiri! Hahah, bapakku
geli. Kata bapak, waktu itu ia tak hapal
bacaan solat!
“Tapi sekarang bapak sudah bisa,
Ti!” kata bapak disela-sela ceritanya.
“Mengapa bapak tak pernah Siti liat
solat di rumah?” selidikku waktu itu.
Bapak
tidak menjawab dan malah melanjutkan ceritanya.
Suatu hari bapak ikut majikannya
mengantar uang ke bank. Di tengah-tengah
perjalanan pulang terjadi kecelakaann:
Seorang pengemis tua diserempet sedan.
Pelakunya kabur. Pengemis tua itu
gawat sekali keadaannya. Majikannya
memerintahkan sopir pribadinya menghentikan mobil. Lalu mengajak bapak turun menolong
pengemis tua yang terluka parah itu. Pengemis tua itu dilarikan ke rumah sakit
dengan mobil majikan bapak.
Bapak heran pada
majikannya. Kenapa mesti repot-repot
menolong orang yang tidak dikenal?
Karena perintah majikan, bapak menurut saja. Bersama majikannya, bapak memapah pengemis
tua yang terluka di dalam mobilnya. Namun dalam perjalanan ke rumah sakit,
pengemis tua itu menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan bapak dan
majikannya!
Bapak bilang, waktu itu bapak
takut sekali ketika melihat saat-saat terakhir pengemis tua itu. Nafasnya tersengal-sengal. Putus-putus. Tubuhnya mengejang. Kedua matanya melotot seperti menahan sakit yang teramat sangat. Ngeri sekali bapak. Apalagi yang terjadi kemudian, lelaki tua itu
tergolek kaku tak berdaya!
Namun majikannya tampak
biasa-biasa saja. Majikannya bilang pada
bapak: “Kita semua akan seperti dia.”
Bapak terkejut
mendengarnya. Bapak tersadar. Semua yang hidup bakal mati!
Aku pun akhirnya tersadar karena
tiba-tiba sepasang sepatu pelanggan sudah tergeletak di depan mataku! Semua lamunanku tentang cerita bapak lenyap
sudah.
Rupanya sudah terdengar adzan
maghrib! Kuraih sepatu pelanggan itu dan
mulai menyemirnya, tanpa menoleh pada langgananku. Hatiku bersorak sebab aku dapat rezeki sore
ini! Tetapi sebelum tanganku bergerak,
si pemilik sepatu mencegahku.
“Nanti saja menyemirnya,
sableng! Kita solat dulu!”***
*) Pamulang - Pondok Indah, April 2002. 17.57
Nah, rekan
Zaenal…
Kamu menulis dengan amat sugestif mengajak pembaca
untuk “percaya” bahwa kejadian dalam
cerita pendek itu benar-benar terjadi. Maka, gaya realis kamu yang semestinya
biasa, menjadi sedikit unik. Ada semacam usaha pencarian dari kamu, untuk
mencoba sebuah teknik yang tidak biasa. Inilah yang dimaksud “kreativitas” karya
sastra amat menghargai upaya kreatif
yang dilakukan oleh seorang penulis. Meskipun apa yang kamu lakukan telah
dicoba oleh penulis lain dalam novel yang kusebutkan di atas, tetapi dalam
cerita pendek memang banyak dilakukan. Sekarang mari kita lihat lebih focus pada
percakapan karyamu.
Zaenal Radar memulai ceritanya dengan pembukaan
seperti ini: “Bila kalian pernah ke Mal
Pondok Indah, salah satu mal terindah di selatan Jakarta, cobalah sekali-sekali
kalian perhatikan, segerombolan bocah-bocah di halaman parkirnya. Terutama
ketika hujan datang, saat para pengunjung mal membutuhkan payung-payung, maka
aku, salah satu dari bocah-bocah kumal itu, ada di sana.” Untuk menggiring
keyakinan pembaca lebih jauh, pada paragraph yang lain ia menambahkan, “… Kalian tahu tidak, Masjid Raya. Itu lho,
yang warna gentingnya biru? Nama lengkapnya Masjid Raya Pondok Indah. Bila
kalian berdiri di halaman Mal Pondok Indah, akan tampak menaranya. Sekiranya
kalian ke Jakarta, main-mainlah ke sana. Mampir solat. Siapa tahu ketemu aku.”
Dengan teknik seperti ini, Zaenal Radar membuat
cerita pendek ini terasa dekat (tentu, ini hanyalah salah satu dari pilihan
teknik yang bisa digunakan oleh para pengarang cerita pendek). Kita seperti
melihat bagaimana tokoh-tokoh itu, seperti menjadi “bagian dari diri kita” di
mana kita bisa melihat gambar tokoh yang aka ia lakonkan berkelebat dalam mata
kita, tergambar jelas dalam imajinasi kita, dan mencoba mereka-reka: seperti
apa wajahnya? Keberhasilan Zaenal Radar dalam “menggambarkan” tokoh utama, didukung oleh gayanya yang jernih.
Hanya sayang, kelemahan yang cukup fatal dalam
cerpen ini adalahketergesaan penulisnya untuk “segera menonjolkan hikmah yang
harus dipetik oleh pembaca”. Maka terbukalah berbagai hal artifisialisasi
(perekaan) kejadian, yang jika dilihat logika teramat mentah: kenapa semudah
itu tokoh antagonis (yang digambarkan seorang preman) mendadak berubah, tanpa sebuah
kejadian penting. Dengan tiba-tiba mengubah pekerjaan. Dengan tiba-tiba percaya
orang yang “sangat kaya”. Dengan tiba-tiba ia juga suka menemani tuannya untuk
mengambil uang di bank. Dan lain seterusnya.
Akan tetapi, lepas dari kelemahan logika yang saya
sebutkan di atas, cerpen ini telah menawarkan sesuatu yang patut dihargai.
Yakni, bagaimana cara pengarang menemukan teknik untuk memberi sugesti kepada
para pembacanya. Salam.
0 comments:
Posting Komentar