Seno Gumira Ajidarma
(karena tulisan ini menarik daripada perhatian saya yang mana saya suka, maka dari itu yang mana saya kembali menge-post-kan daripada yang mana tulisan tersebut).
Catatan:
disampaikan pada IDWriters Literary Day, Goethe-Institut,
Jakarta, 29 January 2015
ID Writers merupakan portal yang digagas oleh Valent Mustamin, untuk menampilkan data penulis Indonesia dalam Bahasa Inggris. Tujuannya agar penulis Indonesia bisa diketahui dunia. Pada tanggal 29 Januari 2015, ID Writers resmi diluncurkan.
(karena tulisan ini menarik daripada perhatian saya yang mana saya suka, maka dari itu yang mana saya kembali menge-post-kan daripada yang mana tulisan tersebut).
Kawan-kawan yang Terhormat,
Setiap kali berbincang tentang sastra, selalu saja
terdengar pertanyaan, yang seperti tidak akan pernah hilang sampai akhir zaman:
bagaimanakah kiranya sastra bisa disebut sastra?
Barangkali ini memang terdengar seperti obsesi. Para
penulis ingin menulis “sastra yang benar-benar sastra”, sementara para pembaca
juga ingin membaca “sastra yang benar-benar sastra”.
Hidup, barangkali memang dianggap terlalu singkat, jika
dihabiskan hanya untuk mencari jawab dari pertanyaan itu. Bahkan, tidak usah
seumur hidup, cukup 7-8 semester saja, juga terlalu lama!
Dalam obsesinya, mereka yang datang ke kuil-kuil sastra
menghendaki jawaban yang ces-pleng, seperti pil, sekali telan kepusingan
sahastra langsung hilang.Seolah-olah seperti obsesi, tetapi tidak diiringi
konsekuensi perjuangan untuk mengerti sampai mati. Tentu, karena memang tidak perlu!
Kawan-kawan yang Serba Arif serta Serba Budiman,
Jika pertanyaan semacam itu diajukan kepada saya,
biasanya yang bertanya kemungkinan besar kecewa, karena tidak mendapat jawaban
apa-apa. Saya tidak jarang juga menjawab bahwa sastra itu sebetulnya tidak ada.
“Lho, kok bisa?” Begitu biasanya reaksinya.
“Ya, bisa saja,” jawab saya.
“Lha itu, yang selama ini disebut sastra itu, apa dong?”
“Lho, kalau sudah disebut sastra apakah itu berarti
memang sastra, begitu sastra, dan tiada lain selain sahastra, dan bukannya
kibul doang?” Gantian saya yang bertanya.
Sampai di sini, biasanya muncul kembali pertanyaan
semula, dengan nada yang lebih putus asa.
“Jadi sastra itu sebetulnya apa dong?!”
Jawaban saya sebetulnya masih sama, tetapi sekarang agak
lebih panjang kibulnya.
“Dari tadi juga sudah kubilang, sastra itu sebetulnya
tidak ada, tetapi diada-adakan demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu.”
“Lho, kok seperti politik?”
“Memang seperti politik, tetapi lebih tepat lagi seperti
kebudayaan.”
“Aduh, pusing deh kepala gue!”
“Kenapa mesti pusing? Tapi kalau memang pusing, itu pasti
gara-gara penamaan sastra yang tidak cukup satu kata. Melainkan sastra dalam
bangunan pengertian tertentu, yang merupakan bentuk penghadiran kembali politik
identitas kelompok tertentu. Sebagaimana layaknya yang disebut kebudayaan.”
“Artinya, sastra itu hanya seperti sebuah nama?”
“Yes hewes-hewes! Tetapi namanya tidak hanya satu,
melainkan tergantung dari kepentingan sang pemberi nama itu. Kaum priyayi
menamakan sastranya ya kesusastraan priyayi, dengan bangunan pengertian yang
serba sesuai belaka dengan politik identitas kaum priyayi. Kaum batur menamakan
sastranya ya kesusastraan batur, dengan bangunan pengertian yang serba sesuai
belaka dengan politik identitas kaum batur.
“Nah, bangunan pengertian-pengertian ini kadang-kadang
kibulnya begitu meyakinkan, sehingga ketika dikumpul-kumpulkan dan diecerkan
kembali oleh mereka yang dipercaya (ada yang percaya) menguasai kibul-kibul
itu, dengan nama ilmu-ilmu pengetahuan susastra, bahkan direstui pemerintah
untuk mendirikan fakultas, menerima pendaftaran yang pakai bayaran, mengajari
orang, memberi ujian, lantas yang lulus diberi gelar Sarjono.”
“Sarjono?”
“Iya, Sarjono.”
“Bukan Paimo?”
“Bukan!”
Kawan-kawan yang Semoga Saja Tidak Sedang Menderita,
Begitulah kira-kira serba-serbinya, sehingga bukan saja
terdapat sastra priyayi dan sastra batur, tetapi juga sastra sok alim dan
sastra mehong. Eh, pertanyaan sejenis lagi-lagi kembali.
“Jadi sastra yang bener-bener sastra itu nyang
pegimane?”
“Ya semuanya itu sahastralahyaw!”
“Semuanya?”
“Semuanya atau tidak ada sama sekali. Tanpa beban makna
sastra, semua hanyalah teks.”
“Jadi ada dong sastra itu?”
“Mau ada atau tidak ya suka-suka aja! Tetapi jelas
perebutan atas legitimasi sastra itulah, yakni kuasa atas penamaan sastra dengan
segala penjelasan dalam semangat mencanggihkannya, telah menambah keruwetan,
yang masih bisa diperdebatkan perlu dan tidakn
Kawan-kawan yang Saya Cintai,
Sejarah wacana sastra sampai hari ini ternyata adalah
salah cetak kebudayaan, yang meskipun terus-menerus dikoreksi, tak mungkin lagi
diganti maupun ditarik kembali, sama dan sebangun dengan keterlanjuran dunia
ini.
Nama, istilah, atau sebutan “sastra”, dengan segala
perangkat ideologis yang mengukuhkannya, telah menyumbang kepusingan manusia
yang tidak berdosa.
Sayang sekali, nama “susastra” (demikian konon istilah
yang betoel) tampaknya sudah tidak mungkin diganti.
Sebab, kalau bisa, saya usul namanya diganti Paimo saja :).
Salam,
Seno Gumira Ajidarma
Kampung Utan, Jumat 23 Januari 2015. 10:10.
ID Writers merupakan portal yang digagas oleh Valent Mustamin, untuk menampilkan data penulis Indonesia dalam Bahasa Inggris. Tujuannya agar penulis Indonesia bisa diketahui dunia. Pada tanggal 29 Januari 2015, ID Writers resmi diluncurkan.
0 comments:
Posting Komentar