Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Buku Harga Kematian (Mizan, 2003)
*)Lebaran 2002
Sumber: Buku Harga Kematian (Mizan, 2003)
Sudah tiga lebaran keluarga kami tidak mudik. Bila lebaran kali ini
tidak mudik lagi, maka ini kali yang
keempat kami berlebaran di Jakarta.
Tetapi kemarin papi bilang, saat makan sahur, bahwa lebaran tahun ini akan mudik. Namun tidak seperti tahun-tahun lalu, ketika
kami selalu pulang kampung menjelang lebaran, kali ini rencananya kami akan
mudik pada lebaran hari ke dua.
Gbr: AneAhira.com |
“Mengapa, pap, kok
mesti lebaran kedua? Papi masih trauma,
ya?” tanya kak Fitri.
Papi tak menjawab. Dan saya
menebak-nebak pikiran papi. Bisa jadi
papi trauma. Sejak peristiwa itu terjadi, tiga tahun lalu sewaktu kami pulang
kampung menjelang lebaran, seluruh harta kami di rumah raib digasak
maling. Selain itu, beberapa barang
bawaan papi ‘dicatut’ preman
stasiun! Walah, pap, waktu itu
nasib kita jadi kayak pepatah, ‘udah jatuh ketimpa genting!’ Aeh, maksudnya,
udah jatuh tertimpa tangga! Untungnya mobil kesayangan papi satu-satunya
selamat. Karena papi titip di kantor. Tuh, masih untung, kan?
Lagian papi, kenapa mudik gak pake mobil sendiri aja, protes
saya waktu itu. Dan papi menjawab, biar
bisa bersosialisasi dengan sesama pemudik.
Ya, ampun… papi! Sok sosialis banget!
Akhirnya waktu itu papi emang bener-bener ngebuktiin
ucapannya, bersosialisasi dengan sesama pemudik: Mengantri ticket, berebutan naik, dan
sebelumnya sempat mengajak kami tidur di stasiun segala! Sampe-sampe barang papi ada yang digasak
preman stasiun. Untung gak semua barang lenyap.
Sejak itulah papi jadi enggan pulang kampung saat
lebaran. Mungkin juga bukan cuma trauma
atas kejadian itu, ditambah lagi karena kakek, satu-satunya sisa keluarga kami
tertua, telah meninggal dunia sehabis lebaran tiga tahun lalu.
Alasan papi nggak pulang kampung selama tiga tahun belakangan
ini, siapa yang akan kita kunjungi bila kakek sudah tiada? Saudara atau kerabat? Oh, biar saja mereka yang mengunjungi
papi. Kata papi, bukankah papi anak
tertua? Bukankah keluarga yang lebih
muda yang seharusnya mendatangi yang tua?
Begitu kan semestinya?
Papi benar. Sebab
setiap lebaran –tiga tahun belakangan ini- saudara-saudara papi selalu
berkunjung ke rumah. Lagi pula, seluruh keluarga papi yang berjumlah enam orang
itu semuanya tinggal di Jakarta! Nah,
lho? Apalagi, mami kan asli Betawi? Lalu, kenapa ya papi bilang lebaran kali ini
mudik? Lalu, kenapa mesti pada hari lebaran kedua?
* * *
Mengapa papi mengusulkan mudik pada lebaran kedua?
Alasan papi cukup masuk diakal. Kata papi, lebaran kedua lengang oleh
kendaraan. Sepi. Mengapa?
Karena para pemudik lebih memilih mudik pada saat sebelum hari H. Jadi diusahakan bagaimana caranya agar bisa
solat Idul Fitri di kampung halaman!
Itulah makanya, masih kata papi, orang-orang pada berebutan
untuk dapat mudik sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Rela ngantri karcis. Rela tidur di
stasiun. Rela berimpit-impitan. Bahkan katanya, salah satu teman papi yang
nggak kebagian tempat duduk rela berdiri di dalam kereta api dari stasiun
Gambir Jakarta sampai stasiun Balapan Solo!
Ya Tuhan, ada orang sudi ngebela-ngebelain berdiri sehari semalam di
kereta untuk bisa solat Id di kampung halaman?
Jangan-jangan cerita ini cuma bisa-bisanya papi aja. Eh, pap, kalo emang bener, kata saya pada
papi, bilang pada temen papi; Tuhan ada di mana-mana! Tuhan di Jakarta atau Tuhan di kampung
halaman itu sama saja! Hihi. Papi jadi
nyengir kuda mendengar kata-kata putrinya ini, yang kalo udah ngomong suka
nggak mau ngalah.
Tetapi waktu itu kami pun tak memungkiri, bahwa kami rela
mengantri ticket kereta api berjam-jam, rela berebutan naik, rela berimpitan,
bahkan rela tidur di stasiun! Mengapa
waktu itu kami rela tidur di stasiun?
Sebab kalau tidak, maka kami nggak kebagian tempat. (Apa bukan karena takut tak solat Idul Fitri
di kampung?!).
Emang sih, saya sering protes pada papi, yakni sejak usia saya
sudah semakin dewasa dan mengerti, bahwa pulang kampung saat lebaran bukanlah
suatu keharusan. Bukankah kita bisa
bersilaturahmi dengan orang-orang yang kita cintai kapan saja? Mengapa mesti menunggu waktu lebaran?
“Lebaran di kampung itu lebih khusuk dan sakral!” puji
papi. “Lebaran di kampung lebih
berkesan,” tambahnya. Mami setuju-setuju
aja pendapat papi tadi. Semua
kakak-kakak saya juga. Makanya setiap
pulang kampung semua pada ikut. Dan saya
sendiri? Ya, terpaksa… masak lebaran
sendirian! Garing bangeeet!
Dan ternyata apa yang pernah papi katakan itu ada benarnya
juga. Setelah gak mudik-mudik saat
lebaran, seperti tiga tahun belakangan ini, kayaknya ada sesuatu yang
hilang. Apa itu? Asal tau aja, orang
pasti mahfum, Lebaran di tempat saya sepi.
Sepi banget! Habis semua tetangga
saya pada mudik! Jangan-jangan
orang-orang di kota ini sebenarnya orang kampung semua! Pantas aja kalo di kampung kata papi banyak
orang berlagak kota? Ya dari cara
ngomongnya, cara dandannya, pakaiannya, asesorisnya, semuanya deh!
Namun begitu, yang terpenting bagi para pemudik, kata papi
lagi, mereka bisa melampiaskan kerinduan mereka akan kampung halaman. Mereka dapat kembali menemukan kenangan
itu: Masa-masa di mana mereka dahulu
menghabiskan masa kanak-kanak mereka.
Bertemu dengan keluarga, teman, kerabat, saling maaf memaafkan. Yang jelas, bertemu kembali dengan
orang-orang yang sekian lama mereka tinggalkan.
Sebab pada saat lebaranlah semua
orang berkumpul. Berbeda misalnya,
ketika kita pulang kampung pada hari biasa. Intinya, kata papi berapi-api,
berlebaran di kampung halaman, mereka seperti menemukan kembali masa-masa indah
yang pernah hilang… Duh, papi…
romantisnya.
Jadi kesimpulannya, meski kakek telah tiada, meski papi anggota keluarga tertua, ternyata
itu toh alasan mudik lebarannya kali ini?
Jadi papi hendak menemukan kembali masa-masa indah yang pernah hilang
rupanya?
* * *
Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Laailaahailallahu Allahu Akbar!
Allahu Akbar Walilahilham…!
Takbir lebaran bergema di mana-mana. Getarnya masuk ke
celah-celah dinding rumah. Dari dalam televisi yang dihidupkan. Dari suara radio. Dari mushola-mushola dan masjid-masjid. Suara para malaikat dan manusia. Gema takbir membahana diangkasa! Allah Maha Besar! Allah Maha Besar!
Keesokan harinya seperti biasa kami bersalam-salaman setelah
solat Idul Fitri berjamaah di tanah lapang.
Rasa kantuk saya redup redam karena semalam begadang bersama papi dan
kakak-kakak. Namun kegembiraan hati ini,
begitu menggebu-gebu, menyambut hari raya yang ditunggu-tunggu! Saudara dan kerabat berdatangan. Mami telah menyiapkan hidangan. Ketupat gak pernah ketinggalan. Gak lupa sayur labu dan sambal hati serta
rendang sapi. Ada juga gulai ayam atau
yang digoreng. Ditambah emping melinjo
plus bawang goreng. Hmm…
Sayangnya, perut saya gak terlalu lapar. Berbeda ketika menjelang berbuka puasa
kemarin. Dan rasanya saya seperti orang
yang masih tengah berpuasa aja, lupa kalo hari raya ini udah gak boleh
berpuasa!
Barulah ketika agak siang sedikit perut saya merintih minta
diisi. Setelah makan mata saya terasa
berat. Dan akhirnya saya pulas di
sofa. Tak terasa saya tertidur sampai
waktu solat lohor tiba! Saya dengar
papi dan kakak sibuk merundingkan sesuatu, yang ternyata tentang rencana pulang
kampung besok.
“Jadi paman Markum juga besok mudik?” tanya papi pada kak Sidik.
“Bukan cuma paman Markum, paman Ram juga. Papan Selamet, kayaknya, semua adik-adik papi
pulangnya besok!”
“Eh, Pak Rinto juga besok pulang!” sambar mami dari dalam
kamar.
“Kelaurga Pak Rahman juga.
Lalu bu Surti bilang, ia juga pulang kampungnya pada lebaran kedua. Biar ndak
macet, katanya!” lanjut mami.
“Si Yanto bilang, keluarganya juga mudiknya besok. Pak Subarjo, Pak Diman, Pak Sasongko, pulang
besok juga!” sambung kak Hasan.
Saya yang mendengar percakapan seru itu, sambil mengucek-ucek
mata, ikut pula berkomentar: “Mbak Yanti juga pulangnya besok, pap. Bu guru Resti juga besok, lebaran kedua, biar
ndak macet!”
“Berarti,” kata papi, “Pilihan papi tepat, dong!? Karena lebaran kedua memang lancar dan
nyaman!!” papi bangga sekali.
“Kita naik kereta lagi, pap?”
selidik saya, dengan tatapan mata yang masih bengul.
“Kali ini kita naik mobil sendiri saja. Papi sudah pinjam mobil kantor. Kebetulan papi dapat jatah ‘kuda’. Besok ‘kudanya’ sudah siap!”
“Kuda? Kayak diiklan tivi ya, pap?”
“Husy!”
“Kenapa nggak naik kereta api aja, pap? Rupanya papi udah nggak mau bersosialisasi
lagi, nih?” kejar saya.
“Bukan begitu. Papi,
hanya ingin improvisasi aja.”
“Ih, papi. Belagu
amat!!!”
“Sudah, sudah! Ayo,
semuanya solat lohor dulu!”
* * *
Benar juga kata papi.
Tiga tahun gak pulang-pulang, rindu rasanya. Rindu kampung halaman! Alaa, saya ini, kayak masa kecilnya di
kampung aja! Eh, tapi bener lho? Tiba-tiba saya jadi kangen kampung halaman papi. Kangen sawahnya, kangen ladangnya, kangen
sapi, aduuuh… rasanya ngebet banget pingin pulang kampung! Magelang! Magelang!
Saya aja yang seluruh anggota keluarganya di Jakarta jadi
begini kangennya. Apalagi bagi mereka
yang berpisah dengan keluarganya, ya?
Magelang! Magelang!
“Annisa! Eh, nih anak,
bukannya bantuin mami, malah ngelamun begitu.
Kamu nggak ikut mudik?” mami
membuyarkan lamunan saya.
“Uh, mami, enak aja!
Kalo Nisa nggak ikut, Nisa tinggal sama siapa?”
“Sama Uwa!”
“Uwa? Uwa siapa tuh, mam?”
“Uwa itu, Uwa-mu yang di kebun binatang Ragunan sana!”
“Huu… mami jahat!!!”
“Makanya sini, bantuin mami!”
Saya bergegas membantu mami membawa beberapa barang bawaan ke
dalam mobil.
“Magelang!
Magelang! Magelang!” teriak saya,
sambil menjinjing sebuah koper pakaian.
“Husy!! Apa-apaan sih
nih anak!”
“Mau jadi kernet kali
dia, pap?”
* * *
Beberapa jam kemudian kami sudah
berada di pintu keluar tol Cikampek. Mas
Sidik asyik di depan kemudi. Di
sebelahnya papi sibuk membolak-balik majalahnya. Di tengah ada saya, mami, mas Hasan dan mbak Fitri. Di belakang buat tempat barang bawaan. Ada minuman, makanan ringan, beberapa lembar
baju, koper kerja papi, dan sedikit oleh-oleh buat penunggu rumah almarhum
kakek di kampung.
Setelah keluar tol Cikampek yang padat, kami terus menuju ke
arah jalur pantura, alias pantai utara.
Sejak dari pintu tol kami merasakan antrian yang begitu padatnya. Mami dan mbak Fitri udah mulai keliatan
gelisah! Belum sampe Cirebon, kendaraan
di depan nggak bergerak-gerak. Macet
total tal!
“Ini kan lebaran kedua.
Kok, macet ya?” gerutu papi, sambil melipat majalah yang tadi dibacanya.
Semua penumpang terdiam.
Mami mamerin tampang cemberutnya.
Mbak Firti nggak habis-habisnya menggerundel. Mas Sidik nampak kelelahan. Mas Hasan ngerayu-rayu, ogah menggantikan
nyetir. Masya Allah! kok, bisa jadi gini sih?
“Hampir tiga jam kita diam di sini. Nggak bisa maju nggak bisa mundur!” gerutu mami.
“Eh, itu kan mobil paman Markum!” teriak saya tiba-tiba, “Salip mas Sidik!
Ayo!!” teriak saya lagi.
“Salip bagaimana!?
Bergerak aja ndak bisa?!” sambar mami.
“Paman Markum!
Paman!!” saya berteriak dengan kepala ke luar jendela.
“Hey! Apa-apaan sih,
nih anak! Jangan dibuka jendelanya! Panas, tau!”
protes mbak Fitri.
“Cuma bentar mbak…
Paman! Paman Markum!!”
Tampaknya paman Markum mendengar teriakan saya. Kepalanya menyembul dari jendela
mobilnya. Paman membuka setengah jendela
itu, dan terlihatlah istrinya, tante Lastri, serta bayinya yang lucu Adira.
Mereka tersenyum ke arah kami. Lalu
paman keluar dari mobilnya, berjalan ke arah kami.
“Macet, ya?” tanya
paman basa-basi.
“Siapa bilang? Ini kan
lebaran kedua?” jawab saya spontan,
sambil melirik papi. Papi sok
sibuk dengan majalahnya.
“Tau-tau begini kita ndak usah mudik, ya!” ujar mami, ketus.
Tiba-tiba kendaraan di depan kami bergerak. Paman setengah berlari menuju mobilnya. Klakson dari mobil-mobil dibelakangnya
menjerit-jerit kekesalan. Malah ada
diantara pengendara yang mengeluarkan makian.
Uh, paman Markum, kasiaaan deh, kamu….
Namun baru beberapa meter ke depan, mobil berhenti lagi. Gak bisa bergerak lagi. Semua yang di dalam mobil tambah
cemberut! Kecuali saya dan papi, yang
nampak biasa-biasa aja. Tetapi karena semua berdiam-diam, saya jadi ngerasa gak
enak. Terutama terhadap papi, yang mungkin merasa bersalah
atas kemacetan yang tak pernah diduga sebelumnya.
“Kok, jadi kayak kuburan begini?” saya mencoba mencairkan
suasana. “Liat bayi di bus itu!” kata saya, sambil menunjuk pada sebuah bus
antar-kota di sebelah mobil kami.
“Kakek-kakek dan Nenek-nenek itu juga!” tambah saya, “Mereka
sepertinya menikmati perjalanan mudik ini…
Kenapa kita nggak bisa, ya?”
“Huu, nih anak!
Berisik amat sih?!” gerutu kak Hasan.
“Kumat, kali!?” mbak
Fitri menambahkan.
“Huhh…!” lagi-lagi mami, hanya bisa mengeluh pilu.
Papi mengangkat jempol ke arah saya. Bertanda beliau memuji kelakuan saya.
“Orang sabar disayang Tuhan,” bisik ayah pada saya.
Wajah seisi mobil semakin
berlipat-lipat. Di luar,
kemacetan semakin parah! Mobil-mobil
sulit bergerak. Namun dibalik itu,
ternyata kemacetan tersebut mendatangkan keuntungan tersendiri bagi para
pedagang asongan. Beraneka macam makanan
dan minuman ditawarkan. Dan kaca mobil
kami beberapa kali diketuk mereka.
Saya membuka kaca jendela mobil, bukan untuk membeli
melainkan berteriak-teriak: “Magelang!
Magelang! Magelang!”
“Eh, tutup!
Panas!” teriak mami dan
orang-orang seisi mobil secara bersamaan.
“Hahaha…” papi tertawa kegirangan. Matanya sampai berair, memperlihatkan
kegembiraan yang menjadi-jadi.
Papi nampak gembira.
Padahal mungkin hatinya tengah bertanya-tanya; entah berapa lama lagi
kami harus berada di tengah-tengah kemacetan ini…***
0 comments:
Posting Komentar