Mamat Metro

Mamat Metro

Malam Minggu Seekor Kucing

Cerpen  Zaenal Radar T.
Dimuat di majalah GADIS, No. 20, 28 Jul – 30 Agst 2006



        Sudah hampir jam sepuluh malam. Pasti kekasihnya tak datang lagi. Mungkin mereka benar-benar putus. Padahal ini malam minggu, waktu dimana ia selalu didatangi oleh kekasihnya. Kasihan sekali kalau ia sampai putus. Aku jadi ikut sedih bila majikanku yang cantik ini bersedih karena putus cinta. Setiap hari selalu murung. Aku ingin sekali menghiburnya.
gbr: www.kaskus.co.id
 “Meooong....” kataku, pada majikanku yang tengah melamun. Ia tak menjawab. Majikanku meraih tubuhku, lalu memangkuku. Ia mengelus-elus kepalaku. Aku terpejam, menikmati buaiannya. Namun tiba-tiba aku merasa tak enak. Majikanku sedang sedih, masak sih aku malah bermanja-manja? Tidak adil! Kalau begitu, aku bisa dianggap tidak berkepribinatangan! Apa kata si Pupus, kekasihku yang sebentar lagi akan kukunjungi, bila ia sampai tahu hal ini??
Aku segera melompat dari pangkuan majikanku. Majikanku tersentak, lalu berusaha meraihku. Aku segera menghindar, agar kulit tangan majikanku yang halus itu tak mampu merengkuh tubuhku.
“Boim! Kamu kenapa...?” tanya majikanku, sambil menatap wajahku. O ya, Boim adalah nama panggilanku. Entah kenapa majikanku memberiku nama Boim. Yang jelas, setiap kali orang-orang di rumah ini menyebut atau memanggil-manggil nama Boim, aku selalu mendatangi mereka. Mereka sangat menyayangiku, terlebih-lebih majikanku yang satu ini, yang tengah bersedih di malam minggu yang cerah ini.
“Boim... sini...!” ulang majikanku, sambil tersenyum ke arahku. Aku yakin, pasti senyumnya dipaksakan. Karena aku tahu, hatinya sedang bersedih. Sudah tiga malam minggu, aku selalu melihatnya duduk sendirian di teras depan ini. Dan aku yakin ia tidak sedang menunggu siapa-siapa. Karena cowok yang biasa menemaninya sudah tak datang-datang lagi menemaninya. Mungkin memang sudah putus!
Pada setiap malam minggu sebelum mereka putus, cowok itu selalu datang berkunjung. Cowok itu sebenarnya masih tetanggaan. Rumahnya hanya berselang satu rumah dari rumah majikanku ini. Aku sering main ke rumah cowok itu, karena Puspus, kekasihku, tinggal bersamanya.
 Cowok majikanku, setahuku cowok yang baik. Aku tahu dari Puspus, yang selalu bercerita bila aku datang. Puspus bilang, majikannya itu sangat menyayanginya. Sangat perhatian. Ia cowok penyayang. Cinta keluarga. Dan anaknya alim sekali. Selain itu, ia cowok rumahan.
“Boim!!” majikanku itu berteriak, membuatku tersentak dari lamunan.
“Meooong....” kataku, lirih. (Arti kata-kata yang kuucapkan:  “maaf...”)
Majikanku bangkit dari duduk, lalu mendekatiku. Majikanku berlutut seraya menatapku. Sebelah tangannya merengkuh tubuhku, sebelahnya lagi mengelus-elus kepalaku.
“Kamu kenapa, Im...?!” tanya majikanku, kemudian mencium kumisku. Majikanku duduk dan memangkuku.
“Meooong....” kataku, yang artinya, “Aku nggak apa-apa kok...”
Setelah berkata begitu, aku pun menyandarkan kepalaku di dada majikanku.
“Huuh! Manja deh kamu Im...” ujar majikanku. Ia nampak senang. Tapi aku tidak tahu, apakah hatinya pun senang?
Majikanku mencium-cium kepalaku. Kupejamkan mataku sejenak, seraya bermanja-manja menyentuh kulit wajahnya dengan  kepalaku. Tiba-tiba aku merasa kepalaku basah. Padahal malam minggu ini cerah. Ini air dari mana, ya? Segera kubuka kedua mataku, lalu menatap majikanku. Oh, rupanya air itu airmata majikanku yang menetes.
“Meooong...” tanyaku, yang artinya, “Kenapa sedih...?”
Majikanku tidak menjawab. Aku tidak heran. Ia memang selalu begitu. Mungkin ia memang tak pernah mengerti bahasa kucing. Sudahlah. Kenapa aku harus memaksanya menjawab. Tanpa bercerita, aku sudah mengerti apa yang tengah terjadi menimpanya. Seperti yang tadi sudah kujelaskan pada kalian. Ia bersedih karena putus dengan kekasihnya.
Ternyata bete deh, berada di dekat majikan yang lagi putus cinta. Sebentar-sebentar nangis. Sebentar-sebentar nangis. Aku sudah menghitungnya, sejak sore tadi, tepatnya sejak ia berada di teras depan ini, ia sudah lima kasih mengeluarkan airmata. Mungkin majikanku ini terkenang akan hari-hari indah bersama dengan kekasihnya. Dan mungkin ia berpikir, kalau ia harus mengubur semua kenangannya yang indah itu. Dan sebenarnya ia berat melakukannya.
“Meeeong....Meooong....!” tanyaku, yang artinya, “Kalau memang kamu berat berpisah, kenapa nggak balik aja?”
Majikanku menggeleng. Dan itu tidak mungkin karena ia mengerti arti pertanyaanku. Kurasa ia memang ingin menggeleng. Sebab sebelumnya, saat ia mengeluarkan airmata, ia memang sesekali menggeleng sambil terisak. Entah apa artinya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya isyarat itu, gelengan kepala sambil meneteskan airmata.
“Meooong.... Meoong...!” terdengar suara dari balik pintu pagar halaman. Hmm...itu pasti suara si Puspus.  Aku segera melompat dari pangkuan majikanku.
“Meoong... Meoong....” aku menjawab panggilang Puspus.
“Boiim...! Boiiiim!” teriak majikanku. Aku tidak menghiraukan panggilan majikanku. Aku berlari menemui Puspus, yang sudah berdiri dengan penampilan yang sangat cantik sekali di depan pintu gerbang.
“Boiim!! Kamu mau kemana...?!!” lagi, majikanku memanggilku.
“Meeong....Meooong....” kataku, yang artinya, “Aku lagi sama Puspus. Nanti juga pulang....”
“BOIIMMM!!!” majikanku berteriak lebih keras.
“MEEEEONG!!!” kataku, yang artinya, “BODO, AH!!” Habis, cerewet banget sih. Aku kan kangen sama Puspus. Apalagi ini kan malam minggu. Aku mau melepas rindu dulu ah.
Aku pun mengajak Puspus berlari ke taman kompleks. Di taman kompleks ada sebuah lampu taman yang cahayanya temaram. Tak jauh dari lampu, terdapat sebuah bangku panjang. Bangku itu membelakangi tanaman bunga dengan berbagai macam warna. Aku dan Puspus nggak duduk di bangku taman itu. Kami memilih duduk di rerumputan. Sambil memandang langit yang dipenuhi rembulan dan bintang-bintang yang bertebaran.
“Meeeong...” kataku pada Puspus, yang artinya, “Lihatlah bintang-bintang itu...”
“Meeeong...” jawab Puspus, yang artinya, “Indah ya...”
Setelah puas menatap indahnya bulan dan bintang-bintang itu, aku dan Pupus pun ngerumpi. Duh, jangan heran ya kalau ada sepasang kucing seperti kami suka ngerumpi. Ngerumpi itu asyik gitu lho!
Aku dan Puspus saling bertukar cerita. Sampai pada saat aku bercerita tentang majikanku, Puspus pun menceritakan hal yang sama. Menurut cerita Puspus, majikannya, (si cowok keren pacar majikanku itu lho), belakangan ini sering melamun. Ia selalu terlihat tidak bersemangat menjalani hidup.
“Kalau begitu sama dong kayak majikanku...” kataku pada Puspus, tentu dengan bahasa yang hanya kami mengerti berdua saja.
“Sekarang ini, sudah seharian majikanku cuma duduk-duduk aja di atas balkon!” ujar si Pupus, dengan nada keluh.
“Hmm...jangan-jangan dia lagi memikirkan pacarnya...?” kataku.
“Bisa jadi begitu. Gimana dong? Aku kasihan ngeliatnya...”
“Ya mau gimana lagi? Emangnya kita bisa apa...?”
“Kita....Mmm...bisa apa yah...?”
“Mene kutehe..?!”
Setelah itu kami berdua saling diam.
“Aha!” tiba-tiba saja si Pupus berteriak, “Aku ada akal!” lanjut Puspus.
“Kamu tahu jalan keluarnya...?” tanyaku, seraya menatapnya.
“Tahu dong! Sini deh aku bisikin...!” ujar Puspus, seraya mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Meeeong...ngngngng ngngng....” bisiknya, penuh semangat. Aku pun mengangguk setuju. (Maaf, kali ini aku nggak ngasih tau terjemahannya)
Setelah itu aku dan Puspus berlari ke rumah majikan Puspus. Puspus berlari dengan riang. Aku membuntutinya di belakang. Terkadang aku menggelitik pinggangnya, hingga ia berteriak kegelian. “Meeeong...!” teriak Pupus, yang artinya, “Resek deh lo...!”
“Meeongg..” rajukku, sambil terus membuntutinya, artinya, “Gitu aja marah...?”
“Meooongng” ucap Puspus sambil cemberut manja, yang artinya “Geli tauuu...!!”
Beberapa saat kemudian aku dan Puspus tiba di depan pintu pagar majikannya. Dari bawah pagar, kami bisa melihat majikannya tengah melamun di balkon rumah. Pandangannya kosong. Ia seperti tengah menatap angin malam.
“Meeong...!!” teriak Puspus.
“MEEOOONG!!!” teriaku.
“Meeeong!!!”
“Meeeooongng!!”
“MEONG!
“MEONG!”
Aku dan Puspus berteriak-teriak saling bersahut-sahutan. Puspus lalu berlari sambil berteriak, “Meooong!!!”
Aku pun mengejarnya, seraya berteriak, “MEOONG!”
Aku dan Puspus saling kejar-mengejar sambil berteriak-teriak. Kami berdua memang sengaja menarik perhatian si cowok majikan Puspus yang tengah melamun di balkon rumahnya itu. Kami bertingkah seolah-olah sedang ribut. Padahal sebenarnya kami cuma pura-pura. Puspus terus berlarian sambil berteriak-teriak. Aku terus mengejarnya, juga sesekali berteriak, “MEOOONG!!!”
“Puspus! Puspuuus!!” kali ini si cowok itu yang berteriak, memanggil-manggil Puspus.
Cowok itu turun dari balkon, lalu berjalan menuju teras depan. Puspus yang sudah kelihatan lelah, berlari ke sekitar teras. Aku mengejarnya sambil sesekali berteriak. Aku tentu hanya pura-pura marah.
“Puspus! Puspuus!!” teriak cowok itu, tapi Puspus terus saja berlar meninggalkan teras menuju pintu keluar pagar. Si cowok mengejarnya. Aku pun ikut berlari ke luar pagar.
“Boim! Boiim!” kali ini teriakan majikanku, dari luar pagar rumah majikan Puspus. Oh, rupanya ia masih mencari-cari aku.
Aku segera mendekati majikanku. Majikanku langsung menangkapku, lalu menggendongku ke dalam dekapannya. Puspus yang sudah kecapekan berhasil ditangkap majikannya. Majikannya mendekap Puspus erat-erat. Setelah itu majikanku menatap ke arah majikan Puspus. Majikan Puspus balas menatap majikanku. Majikanku langsung membuang muka, lalu melangkah meninggalkan pagar rumah majikan Puspus.
“Elliza!!!” akhirnya majikan Puspus memanggil nama majikanku. Majikanku menghentikan langkahnya. Majikan Puspus berjalan tergesa-gesa, membuka pagar rumah, lalu mendekati majikanku.
Aku berharap keduanya sudah nggak saling marah lagi. Keduanya mau saling memahami kesalahan masing-masing. Aku dan Puspus memang tidak pernah tahu apa yang menyebabkan keduanya saling marah.
Akankah malam ini keduanya bisa baikkan. Aku melihat sorot mata majikan Puspus yang memperlihatkan aura cintanya pada majikanku. Majikanku pun membalas tatapan itu dengan tatapan penuh asmara.
“Meong!” ujar si Pupus, mengusik keterdiaman. (artinya, Ehm!).
Setelah keduanya terdiam beberapa saat, majikan Puspus dan Majikanku lalu berjalan saling bersisian. Aku dan Puspus berjalan di belakang mereka. Kami berjalan menuju taman.
Majikanku dan majikan Puspus duduk di bangku taman. Sedangkan aku dan Puspus hanya beralaskan rerumputan. Kulihat keduanya saling bercakap-cakap. Saling mengungkapkan perasaan. Entah apa yang mereka berdua katakan. Yang jelas, keduanya kini sudah saling berpelukan dengan penuh kasih sayang.
“Meeeoooooonnnngggg....”***
                                                                                                       *)Pamulang, 06 Juni 2006
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...