Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah Cerita Kita, Vol. 07 TH.I, Mei 2006
Sumber: Majalah Cerita Kita, Vol. 07 TH.I, Mei 2006
Siapapun tak pernah menyangka
kalo Rana dan Rani cewek kembar! Jelas
aja, keduanya punya wajah yang tidak
mirip sama sekali. Tidak seperti orang
kembar pada umumnya, yang punya wajah mirip satu sama lain. Kayak pinang dibelah dua. Mungkin kalo si
kembar Rana dan Rani ini ibarat buah pinang dan kelapa muda! Hihihi.
gbr: www.merdeka.com |
Bagi maminya Rani dan Rana, beruntung punya putri kembar
yang tidak seperti anak kembar lainnya.
Mami tak perlu repot-repot seperti tante Lely, yang juga punya putri
kembar. Tante Lely bilang, ia suka
sering salah bila memanggil putri kembarnya, Restu dan Resti. Habis kedua putri kembarnya itu mirip abis. Yap,
kayak anak-anak kembar lainnya, yang memiliki kemiripan. Dari wajah, tinggi,
berat badan, sampe panjang rambutnya sama!
Restu senengnya berambut sebahu, Resti juga. Restu berwajah manis, Resti juga. Keduanya juga punya hobi yang sama, yaitu
menggambar. Keduanya pun sama-sama
manja. Yang membedakan Restu dengan
Resti cuma lesung pipit. Resti manis
bertambah manis karena memiliki lesung pipit di pipi kirinya. Sedang Restu, meski tak kalah manis, nggak
punya lesung pipit.
Tetapi meskipun begitu, semenjak Resti dan Restu memasuki
masa remaja, tante Lely udah mulai bisa membedakan putri kembarnya itu,
walaupun keduanya tengah bersama-sama dengan gaun yang serupa sekalipun! Tidak seperti dulu lagi. Dulu itu tante Lely suka geli sendiri. Pernah
pas hari ultah mereka, waktu bingung menentukan mana Resti dan mana Restu,
tante Lely menyuruh Resti dan Restu tersenyum lebih dulu. Memastikan yang mana yang ada lesung
pipinya! Tapi kadang tante Lely suka
lupa, yang ada lesung pipitnya itu Resti atau Restu? Nah, lho!?
Dan banyak lagi hal-hal lainnya yang membuat tante Lely
tersenyum sendiri, bila mengingat masa-masa awal memiliki putri kembar. Seperti ketika Restu kecil sakit. Yang diperiksa dokter pribadinya bukannya
Restu tetapi malah Resti yang waktu itu sehat-sehat aja. Saat dokter itu datang, Restu ke kamar kecil
tanpa sepengetahuan tante Lely. Dan
tante Lely menyuruh dokter memeriksa putrinya yang lain, yang ternyata
Resti! Jelas aja Resti
teriak-teriak. Tante Lely dan pak dokter
salah alamat!
Si Kembar Rana dan Rani lain
lagi. Mereka bukan cuma tak punya wajah mirip.
Tapi tigkah polah mereka sangat bertentangan sejak mereka masih
bayi. Maminya jadi heran sendiri.
Kenapa putri kembarnya
itu tak punya kemiripan sama sekali?
Waktu bayi, Rana itu rewelnya minta ampun! Sedikit-sedikit menangis. Maunya digendong terus. Beda dengan bayi Rani, yang tak pernah rewel
seperti Rana.
Dan kini, setelah memasuki masa remaja, perbedaan Rana dan
Rani semakin mencolok aja! Rana yang berwajah cantik, punya hobi keluyuran dan
olahraga otomotif. Sedangkan Rani yang
memiliki wajah biasa-biasa aja jatuh hati pada fesyen. Keduanya berjalan beriringan, masing-masing
asyik berkutat dengan dunia yang mereka geluti.
Kecuali mami, yang sering ngerasa ‘gerah’ akan pribadi Rana, daripada
Rani.
Rana itu cantik.
Mami pikir tak pantas keluyuran sama anak-anak cowok yang gak jelas,
seperti anak-anak cowok yang suka nongkrong di terminal! Udah gitu, pake ikutan kebut-kebutan
segala! Uh, maklum aja. Sekarang Rana sudah kelas satu STM! STM?!
Papinya sendiri juga nyerah waktu Rana yang manis dan cantik merengek
minta didaftarkan ke STM ketimbang ke SMA.
Udah gitu pake acara ancam-ancaman segala. Kalo Rana gak disekolahin di STM, Rana gak
mau sekolah!! Dasar Rana. Do’i memang keras dan kasar untuk ukuran cewek. Kalau sudah maunya begitu, harus dituruti!
Beda banget sama Rani, yang berwatak pendiam dan
halus. Rani seperti juga cewek-cewek kebanyakan, yang tingkahnya tak
pernah macam-macam kayak saudara kembarnya, Rana. Rani tumbuh lebih feminin, dan mungkin lebih
kalem dari cewek-cewek paling kalem sekalipun yang hidup di dunia ini! Malangnya, Rani yang kalem itu sering jadi
‘makanan empuk’ Rana! Seringkali Rani
jadi bulan-bulanan dikerjain Rana.
Setiap harinya, adaaa… aja yang dilakukan Rana terhadap Rani!
Seperti pagi ini, mami menegur Rana, karena tadi malam
menakut-nakuti Rani dengan pocong-pocongan.
“Rana, kamu mesti ngerti dong. Udah tau kalo Rani itu takut sama hal-hal
yang horor, eh malah ditakut-takuti sama pocong-pocongan!”
“Ala, mami! Dianya
aja yang keliatan manja!”
“Jangan begitu, Rana…”
“Mami jadi ikut-ikutan lembek, ya?”
“Lembek? Apa maksud
kamu?”
“Ya, seperti si manja Rani itu. Lembek!!”
“Aduh, Rana. Rani
itu teh perempuan. Jangan samakan dengan anak laki-laki, atuh!”
“Emangnya anak perempuan mesti takut sama pocong, gitu?”
“Ya, nggak gitu, Rana.
Kebetulan aja Rani itu penakut.
Jadi kamu mesti ngerti, dong!”
“Itulah, mam, yang Rana maksudkan lembek itu ya seperti
Rani itu! Sama pocong aja takut. Padahal
suatu saat kita-kita juga bakal jadi pocong!”
“Kita? Kita jadi
pocong? Maksud kamu apa?”
“Semua orang bakal mati, mam! Dan, ada kemungkinan jadi
pocong! Emangnya mami mau hidup selamanya?!!”
“Eh, denger ya Rana.
Mami ingin hidup seribu tahun lagi!”
“Jee, mami! Chairil
Anwar ni, yee…! Mami sok banget,
deh?!”
“Ya sudah, sudah, mami males debat melulu sama kamu! Mami mau ke belakang dulu, bikin kopi buat…
Arjuna.”
“Eh, tunggu, tunggu mam!” Rana menghadang tubuh maminya,
merangkul lengan mami dengan kedua tangannya.
“Apa-apaan sih, kamu?”
mami melotot.
“Tadi mami bilang apa…?”
“Emangnya mami bilang apa?”
“Mami bilang, mami mo bikin kopi buaaat…”
“Buat Arjuna!
Kenapa?”
“Arjuna? Arjuna
siapa?”
“Ya siapa lagi kalo
bukan papimu itu!”
“Wuiiih, mami belagu banget!!”
“Biarin! Sana kamu
bujuk adik kamu, bilang kalo di rumah ini nggak ada yang namanya pocong!!” mami
nampak sewot.
“Kok, jadi melotot gitu sih, mam?”
“Sori, mami esmosi!”
“Bukan es-mosi, mam.
Es-teler!”
“Hihihi….” mami
ketawa geli.
“Hihihi….” Rana
ikutan ketawa.
Mami dan Rana ketawa berbarengan. Begitulah mereka, meski kerap kali ribut
omongan, ujung-ujungnya pasti cekikikan.
***
Malam minggu depan adalah hari
ultah Rana dan Rani yang ke-16. Mami dan
papi sudah menyiapkan segala sesuatunya.
Mereka akan merayakannya di rumah, mengundang orang-orang dekat,
orang-orang yang mereka cintai. Rani sendiri bakal menyebarkan sekitar lima
ratus undangan!
“Lima ratus undangan?!”
mata Rana melotot, seperti nyaris keluar dari sarangnya.
“Kenapa? Emangnya
gak boleh?!” Rani balik tanya.
“Kamu teh mo pesta ultah apa mau kawinan?”
“Hmm, Rana. Itu sebagai bukti bahwa temen gue banyak! Itu juga gak semua gue undang, lho!?” ujar
Rani dengan sombongnya.
“Oh, begitu? Liat aja nanti. Gue mau nyebar sekitar sembilan ratus
undangan!” Rana nggak mau kalah.
“Sembilan ratus undangan?” mami langsung menyerobot, dari
dalam dapur.
“Kenapa mi, gak
boleh?”
“Boleh, boleh!”
“Huh, kayak temennya banyak aja?” Rani kesal, dan langsung menghambur
keluar.
“Eh, elo kira cuman elo yang punya temen banyak!?” Rana mengejar Rani, mencengkeram kerah baju
Rani hingga Rani terhuyung ke belakang. Untung saat itu papi kebetulan keluar
dari kamarnya.
“Eh..! Ada apa lagi?
Rana, apa-apaan sih kamu?
Lepas! Kayak preman aja sih,
kamu?” papi teriak-teriak.
Rana melepaskan cengkeramannya
sambil mengancam Rani. “Awas, luh!
Untung ada papi!” ujar Rana kemudian.
Rani segera menghindar, berlindung di balik tubuh papi. Akhirnya, Rana cuma bisa memandang papi. Mata papi melotot. Tapi Rana akhirnya malah senyam-senyum.
***
Malam ini Rani dan mami sibuk menulis undangan buat ultah
malam minggu besok. Ada sekitar lima
ratus undangan yang siap disebarkan. Sementara itu Rana duduk sendirian di
teras belakang. Sorot matanya memandang
lurus ke depan, pada kolam renang yang jernih airnya. Lalu Rana bangkit, mengambil kerikil yang
bertebaran di teras depan kolam, melemparnya ke arah kolam. Kerikil itu jatuh pada air kolam yang tenang,
meluncur ke dasar kolam membentuk lingkaran gelombang di atasnya.
Papi memperhatikan Rana dari balik pintu belakang. Papi
tahu, Rana pasti lagi bingung. Tapi
papinya gak tahu, apa yang membuat putri kesayangannya itu keliatan murung. Padahal tiga hari lagi ia ulang tahun. Bila sampai tiga hari ke depan Rana masih
seperti ini, bisa kacau!
Papi menyusul Rana yang udah kembali duduk lagi di tepi
kolam. Kedua kaki Rana yang jenjang
memain-mainkan air kolam, menendang-nendang ke depan dan ke belakang.
“Halo sayang…” papi mengejutkan Rana.
Setelah tau papi dateng, Rana buru-buru bersikap
sewajarnya, seolah keadaan dirinya
baik-baik aja.
“Ngapain sih, pap, pake nyusul segala? Emangnya gak bantuin Rani bikin undangan
ultah?”
Papi tersenyum. Lalu
papi ikutan duduk di tepi kolam setelah menggulung celana panjangnya. Tangan papi membelai rambut Rana saat sudah
saling berdekatan. Rana menyandarkan
tubuhnya ke dada papinya dengan manja.
“Papi ke sini justru mau bantuin kamu. Sembilan ratus undangan itu kan gak
sedikit? Atau, kalau perlu, kita minta
bantuin staf kantor papi, buat bantu-bantu menyebarkan ke temen-temenmu itu…”
“Nggak usah, pap!
Rana bisa sendiri, kok? Lagian,
gak perlu pake undang-undangan segala.”
“Lho?” papi menatap
wajah Rana, memperlihatkan rona keheranannya. “Gimana caranya?”
“Cukup lewat mulut aja, pap!” ujar Rana, sambil memperlihatkan
senyumnya yang hambar. Lalu kembali
menyandarkan tubuhnya di dada papi.
“Ya sudah, terserah kamu,” papi pasrah, tapi sebenarnya
bingung. Gimana cara menghubungi sembilan ratus orang tanpa undangan, dalam
waktu kurang dari tiga hari!
“Rana! Ada telpon!!”
Dari kejauhan, mami memanggil Rana sambil menenteng telepon
wireless. “Rana, ada telpon dari
temen kamu. Mau jawab nggak?” ulang
mami, agak kesal.
Rana beranjak dari duduknya setelah menyipratkan air kolam
ke wajah papinya! Papi gak bisa
menghindar dan terpaksa melap mukanya.
“Dari siapa mam?”
“Ngakunya sih… Brandon!”
“Brandon apa Bondan?”
“Nggak tau deh,
Bondan, Brandon , apa Brondong?
Cepet di angkat atuh!”
“Halo!” teriak Rana, setelah meraih telpon dari tangan
mami. Lalu Rana mendengarkan suara cowok
lumayan cempreng di ujung telpon. Beberapa saat kemudian dahi Rana
berkerut-kerut.
“Apaaaa...?! Nggak
bisa dateng?!!! Semuanya nggak bisa!?
Aduh, gimana sih? Acaranya sabtu
besok, Bondan! Bilang dari
kemaren-kemaren kek, kalo kalian nggak bisa dateng! Uh, nyebelin banget seh
lo!!”
Setelah itu, Rana menutup telpon. Di samping Rana, Mami cuma bisa bengong,
menatap ke arah papi, yang cuma bisa mengangkat bahu.
* * *
Sore nanti acara ultah si kembar Rana dan Rani
digelar. Semua orang rumah pada sibuk
mengatur segala sesuatunya. Dua buah kue
ultah berukuran besar udah disiapkan dari kemarin. Masing-masing ada namanya sendiri-sendiri.
Ditengah kesibukan, papi mencari-cari di mana gerangan Rana
berada. Sebab sejak pagi tadi Rana gak
menampakkan batang idungnya.
“Non Rana pergi sama mang Karto, pak,” ujar Kang Dadang,
tukang kebun yang ikutan sibuk merapihkan kursi dan meja.
“Ke mana?”
“Katanya sih, menjemput teman-teman non Rana.”
“Ya sudah.
Ngomong-ngomong, sudah rapih semua?”
“Beres, pak!”
***
Sudah hampir jam sepuluh malam Rana belum juga pulang. Semua tamu-tamu sudah mulai beranjak
pulang. Papi dan mami cuma bisa
lemas. Mereka tak habis mengerti kenapa
Rana gak mau merayakan acara ultahnya.
Rana menelpon papi maminya, bahwa ia baru mau pulang bila semua
tamu-tamunya Rani sudah pulang semua!
Aneh sekali!
Tepat pukul sepuluh, Rana menelpon lagi.
“Ya, Rana sayang, halo!
Teman-teman Rani sudah pulang semua.
Lagian, acara ultahnya kan memang cuma sampai jam sepuluh.
Sesuai permintaanmu kemarin. Cuma sayangnya, kenapa kamu justru gak mau
pulang? Mana makanan masih banyak. Papi pikir kamu serius mau mengundang
sembilan ratus anak! Nggak taunya, nggak
ada sepotong pun temanmu datang!”
“Halo. Sori deh, pap!
Bentar lagi Rana dan temen-temen Rana juga sampai. Udah di gerbang nih, pap!”
“Hah!? Udah di
gerbang?” papi kaget, lalu buru-buru menutup HP sambil berlari ke arah pintu gerbang. Pintu gerbang
terbuka. Beberapa mobil beriringan
masuk. Yang paling depan sedan papi yang dikemudikan Mang Karto. Dan di
belakangnya taksi. Ada sekitar sepuluh
taksi! Dan di belakangnya lagi,
berjejeran lima metro mini!
“Kenapa sih, pake acara telat segala?” tanya papi, saat
Rana membuka pintu sedan.
“Sengaja, pap! Abis,
kalo dibarengin, nanti takut Rani malu.
Masak orang-orang catwalk
disatuin sama anak-anak jalanan?”
“Anak-anak jalanan?
Apa maksud kamu, sayang?”
“Denger ya, pap.
Rana mau ngerayain ultah Rana sama anak-anak jalanan ini. Kasihan lho, pap. Kapan lagi mereka bisa makan enak seperti
malam ini?”
“Ya Tuhaaann…” papi melongo. Sorot matanya tertuju pada
serombongan anak-anak ingusan yang keluar dari taksi dan metromini. Pakaian
yang mereka kenakan seadanya. Ada yang menenteng kecrekan tutup botol. Ada yang menjinjing gitar. Ada yang membawa gendang, dan perangkat lainnya
yang biasa digunakan para pengamen di jalan-jalan.
Mami dan Rani yang tadi berlari-lari kecil mengikuti papi,
ikut terbengong-bengong.
“Eh, kok pada bengong?
Ayo, kita layani mereka! Mereka
kan tamu-tamu Rana!” teriak Rana pada papi, mami, dan Rani.
“Kang Dadang, Mang Karto, Mbok Jum, Suntini, Teh Ninin,
Mang Udin! Ayo lekas, layani mereka!!!”
akhirnya papi ikut-ikutan teriak. Lantas yang diperintah papi menghambur, melayani
tamu-tamu undangan Rana.
Papi mendekati Rana ketika Rana tengah berduaan dekat
tempat es krim dengan seorang tamunya, bocah ingusan yang menenteng kecrekan
dari tutup botol.
“Pap, namanya Amriah.
Baru enam tahun. Biasa ngamen di jalan Sisingamangaraja. Papi pasti pernah ketemu di jalan!” ucap
Rana pada papi.
Papi cuma tersenyum.
Lalu mendekatkan tubuhnya pada Rana.
Memeluk Rana dengan bangga.
“Papi nggak
nyangka. Anak bendel kayak kamu bisa
lebih punya perhatian daripada papi!” ujar papi dengan air muka haru.
Rana diam. Lalu beribisik ke telinga papi, “Rana gitu
loch...! Siapa dulu dong, papinya?”
Akhirnya papi senyam-senyum kegeeran.***
Pamulang Barat, Ciputat, 2002-2006
0 comments:
Posting Komentar