Mamat Metro

Mamat Metro

Regina

Cerpen  Zaenal Radar T.
Dimuat di Majalah  Aneka Yess!  No.11, 25 Mei – 07 Juni 2009



Sebenarnya saya malu menceritakannya. Saya takut dikatakan jorok. Tapi mau gimana lagi. Karena semua ini benar-benar terjadi menimpa saya. Saya hanya ingin para pembaca tahu, bahwa hal sepele bisa membuat saya pusing delapan keliling. Kali ini saya ingin bercerita soal (maaf, lho) “upil”. Nah, benar kan, upil itu masalah sepele? Begini ceritanya...
 
foto: www.klikharry.com
Kalau bukan karena hobi banget ngupil, saya pikir Regina cewek sempurna yang perlu perhatian khusus. Menurut saya, do’i cewek dengan segudang kelebihan-kelebihan yang enggak dimiliki semua cewek. Regina pas banget sama kriteria cewek yang selama ini saya cari: Kulit putih. Berat dan tinggi badan proporsional. Rambut hitam tebal panjang sebahu. Hidung mancung. Bulu mata lentik tanpa maskara. Bibir sensuilnya merah merekah tanpa harus pake gincu. Wajah oval dengan leher jenjang. Hmmm.... sayang banget kan kalo cewek kayak gini punya kebiasaan ngupil?
Bagi anak-anak lain, yang satu kompleks dengan saya dan Regina, mungkin enggak pernah merasa risih melihat kelakuannya itu. Sebab selama ini saya enggak pernah mendengar keluhan dari mereka, baik anak-anak cowok maupun cewek. Jangan-jangan, memang cuman saya aja yang begitu memperhatikan kebiasaan Regina.
Hampir setiap pagi, sebelum warga kompleks memulai aktivitas mereka, saya sudah melihat Regina duduk di teras rumahnya. Seperti hari-hari biasanya, dia duduk sambil memandang ke arah jalan, duduk melamun sambil mengorek-ngorek lubang hidungnya.
Saat dirinya menunggu ojek, saya pun kerap menemukan  Regina tengah me-ngupil. Sambil berdiri di dekat pintu gerbang rumahnya, jemari kelingkingnya iseng mengorek-ngorek lubang hidung.  Begitu pula saat kembali ke rumah pada sore harinya. Saya juga kerap menemukan Regina ngupil di halaman sambil memandangi kolam ikannya. Ugh! Maaf ya pembaca, sekali lagi saya bukan bermaksud jorok. Tapi... memang beginilah ceritanya.
Sampai pada suatu ketika.... saat saya berangkat sekolah, saya menunggu Regina. Karena ojek yang ia tunggu lama sekali, saya memberanikan diri menawarkan tumpangan padanya. Siapa tahu ia mau naik sepeda motor saya. Tanpa saya duga, ternyata dia mau. Barangkali karena dia takut terlambat sampai di sekolah.
Saat dia duduk di belakang saya, sebenarnya saya merasa senang. Apalagi saat tangannya tanpa sungkan memegangi bahu saya. Mungkin Regina berpikir, sama teman satu kompleks ini, ia enggak perlu merasa risih memegangi bahu saya. Lagian, saya kan bukan ojek. Hehe.
Namun sepanjang perjalanan memboncenginya, saya kok jadi merasa kurang nyaman. Padahal saya selalu berharap bisa bersama-sama dengannya. Tetapi ketika jemari yang habis ia gunakan buat ngupil menyentuh bahu saya, saya merasa khawatir ada sisa bekas upil menempel di bahu saya. Hiyyy... saya kok ya jadi jijay yah..?
Begitulah. Saya naksir berat pada Regina, tapi perasaan itu seringkali runtuh setiap kali melihat kebiasaannya. Saya ingin sekali merubahnya, gimana supaya Regina berhenti ngupil. Gimana ya...?
***
Saya jadi penasaran, apakah di sekolahnya Regina juga suka mengupil. Suatu hari saya menyelidikinya. Biar deh saya bolos sehari. Dan ternyata, bukan sesuatu yang sulit menguntit Regina. Dia enggak bakalan mengenali saya. Sebab saya menyamar seperti James Bond hendak menangkap musuhnya. Demi Regina, saya melakukan apa saja. Nekad!
Setelah bubaran jam sekolah, saya mengikuti Regina ke mal. Saya sempatkan duduk di salah satu resto, memperhatikan Regina yang lagi makan sendirian. Regina jalan sendirian karena mungkin dia belum punya cowok? Ah, saya pikir saya memang sudah gila. Begitulah, kalau orang lagi jatuh cinta. Saya memang sudah tergila-gila pada Regina.
Tapi... ugh! Tahu enggak, sewaktu dia selesai makan, saya lihat Regina asyik masyuk mengupil sambil melamun. Sama persis seperti saat ia menunggu pesanan makanan datang. Regina seolah enggak peduli sama keadaan di sekelilingnya, teteup ngupil!
Setelah setengah harian menguntit Regina, saya memberikan kesimpulan, bahwa Regina sudah memiliki kebiasaan ngupil yang akut! Ngupil maniac! Sungguh, saya sangat prihatin. Saya ingin sekali menghentikannya. Saya merasa, Regina telah menyia-nyiakan kesempurnaan dirinya sebagai cewek penuh pesona dan kecantikan inner beuty, menghapusnya begitu saja dengan satu kebiasaan buruknya; ngupil...
Di lain hari, saya memutuskan untuk menegurnya. Saya rasa sudah waktunya saya mengingatkan agar sebaiknya ia tak sering-sering ngupil. Kalaupun ngupil, ya sewajarnya saja. Misalkan dengan cara mengurangi kegiatan ngupilnya itu dari sehari sepuluh kali menjadi sehari dua kali. Bisa juga dari sehari dua kali menjadi seminggu sekali. Paling enggak, ia menghilangkan kebiasaan ngupil di sembarang tempat. Misalnya, cukuplah mengupil di dalam kamar atau WC, dengan maksud enggak dilihat oleh orang lain.
***
Malam minggu itu saya sempatkan main di rumah Regina. Regina lagi sendirian, karena keluarganya lagi keluar rumah.
“Regina... kamu lagi ngapain...?” tanya saya, yang sebenarnya basa-basi. Padahal saya tahu kalau dia lagi membaca sebuah novel.
“Eh, Kum... eee... gue lagi baca novel keren neh!”
Setelah itu Regina kembali sibuk membaca, namun sesekali jemari kelingkingnya mengorek-ngorek lubang hidung. Regina seolah enggak peduli kalau saya memperhatikannya. Ia cuek saja.
“Na...” tegur saya lagi.
Regina melepas bacaannya, lalu menatap wajah saya penuh selidik, “Kenapa, Kum...?”
“Eee...” saya mendadak gugup, dan kehilangan keberanian untuk ngomong jujur.
“Markum, kok elo jadi malah grogi gitu seh...?”
“Anu, eee... Na... novelnya boleh pinjem nggak? Kalo elo udah selesai...”
“Boleh! Boleh banget! Ntar deh, kalo gue udahan ya...”
***
Lusanya saya dipinjami novel Regina. Novel yang saya pinjam enggak saya baca. Sebenarnya saya memang enggak pernah minat membacanya. Apalagi sekarang, saya jadi tambah bete pas tahu kalau Regina suka jalan bareng dengan seorang cowok. Saya tentu saja cemburu.
Bersaman dengan seringnya gandengan dengan seorang cowok, saya enggak lagi menemukan Regina mengupil di sembarang tempat. Bahkan selama seminggu memperhatikannya, saya enggak lagi melihat jemari kelingkingnya mengorek-ngorek lubang hidung!
Saya sebal bukan main. Saat dimana Regina menghentikan kebiasaan yang saya benci, malah ada cowok yang serius mendekatinya. Tapi biar gimana, saya harus mengembalikan novel yang saya pinjam padanya.
“Kum, keren kan novelnya?” tanya Regina pada saya, saat saya mengembalikan novel itu.
“Ya, lumayan...” kata saya. Bohong.
“Eh, Na... ngomong-ngomong, cowok yang sering anter jemput kamu itu siapa? Boleh tau nggak...?”
Regina menyunggingkan senyumnya, “Itu cowok gue. Gue baru jadian sama dia. Dia anaknya baik banget.  Perhatian banget. Saking care-nya, dia sampe negur gue terus supaya gue berhenti ngupil! Gokil nggak tuh cowok!?”
Saya terhenyak mendengar jawaban Regina.
“Jadi Na... sekarang elo udah berhenti ngupil...?” tanya saya.
“Maksud loo??!!”
“Eeee... kan elo yang bilang, kalo cowok lo itu negur kebiasaan lo...ngupil?”
“Ooohhh... iya... gue sebenernya baru nyadar, kalo gue punya kebiasaan jijay gitu. Hehe. Untung ada cowok yang perhatian ke gue... Makanya, gue jadi makin sayang aja ke dia...”
Saya memaksakan senyum dan mengangguk-angguk mendengar jawaban Regina. Saya melihat Regina semakin cantik dan sempurna, karena enggak lagi melakukan kebiasaan yang sangat saya benci, yakni ngupil.
Tapi sayangnya, saya kalah berani dengan si cowok beruntung itu. Saya enggak punya keberanian menegurnya lebih dulu. Sehingga saya gagal mendapatkan cinta Regina. Saya pikir, semua ini cuma gara-gara Regina suka ngupil!
Huh, upil!! Kenapa hal remeh temeh ini jadi pengalang saya buat ngedapetin cewek yang saya impi-impikan...?
***
Hari-hari terus berlalu. Saya penasaran soal upil. Secara nggak sadar, belakangan ini saya jadi punya kebiasaan ngupil. Ternyata ngupil enak juga ya? Kalau lagi iseng-iseng, saya pun memasukkan jemari kelingking saya ke lubang hidung, dan sambil merem melek mencari-cari dimana upil bersarang. Setelah mendapatkannya, saya pun memilinnya. Tak lupa pula mencium-ciumnya.
Mungkin bagi orang lain ini hal yang jorok. Tapi buat saya, kalau upil sendiri, dimana letak joroknya? Hehe. Heran. Dulu saya suka sebal sama orang ngupil, termasuk pada Regina yang saya idam-idamkan. Tapi sekarang malah saya yang punya kebiasaan ngupil.
Parahnya, saya ternyata suka ngupil di sembarang tempat. Termasuk di sekolah, saat main basket, waktu duduk menunggu makanan di kantin. Dan karena kebiasaan saya itu, ternyata teman-teman saya berkurang. Apakah karena mereka menganggap saya benar-benar cowok yang jorok??
***
Dihari berikutnya saya membuka facebook. Ada kiriman surat dari seseorang, yang ternyata dari Malina. Saya heran, tumben Malina kirim surat ke saya. Dalam surat itu saya temukan protes Malina tentang kebiasaan saya ngupil. Saya benar-benar nggak pernah menduga, kalau cewek seperti Malina mau memperhatikan saya.
Sehari setelah itu, saya janjian ketemu Malina. Saya langsung ke pokok permasalahan, kenapa Malina menyuruh saya berhenti ngupil. Kata Malina pada saya, “Kum, kamu tuh keren kalo seandainya kamu gak ngupil...”  Saya terdiam mendengar kata-kata Malina.
Sejak saat itu, saya berusaha berhenti dari kebiasaan ngupil. Sayangnya, saya nggak bisa!! Meskipun saya membungkus jemari saya dengan sarung tangan, tetap saja sesekali jemari itu bergerak ke arah lubang hidung. Menyebalkan bukan?
Saya diminta periksa ke psikiater. Tapi jujur saja, saya malu. Saya malu berterus terang kepada sang psikiater, mengungkapkan keluhan tentang kebiasaan mengupil. Soalnya, psikater selama ini pasti menangani hal-hal serius. Soal keluarga, tekanan jiwa, atau apalah. Masak sih, saya datang ke psikiater cuma soal upil? Huuuu...huuuu... malu.
Saya putuskan ke dukun saja. Sengaja saya minta dianter sama Malina. Setelah keluar masuk gang, akhirnya saya ketemu plang papan nama, seorang dukun yang bisa mengobati ratusan jenis penyakit.
Setelah antri ber-jam-jam, saya dan Malina masuk ke ruangan dukun. Dukun pun tersenyum sok akrab.
“Sebutkan saja... apa permasalahan kamu...?” kata si dukun, sambil sesekali mengupil. Saya dan Malina diam saja.
“Ayo, sebutkan saja... ndak usah malu-malu...” kata si dukun lagi, sambil terus mengorek-ngorek lubang hidung dengan kelingkingnya. Saya dan Malina bengong. Tiba-tiba Malina menarik lengan saya keluar ruangan. Tentu saja si Dukun kebingungan.
Di luar ruangan, saya menatap sebal pada Malina, sebagai tanda protes saya padanya.
“Kenapa seh...?”
“Kita gak usah berobat sama dukun itu, Kum! Lha, dia sendiri aja hobinya ngupil...? Iya kan...??!”
Saya diam saja. Malina menarik lengan saya meninggalkan si dukun praktik. Dukun yang suka ngupil seperti saya. Ugh, saya jadi malu mengakhiri cerita ini...
 *)Tangerang Selatan, 2009
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...