Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Majalah Aneka Yess!
Dimuat di Majalah Aneka Yess!
Farah merasa dirinya
paling malang di dunia. Pipi dipenuhi jerawat, hidung mancung ke dalam, bola
mata besar, bibir doer, dagu lancip, rambut tipis nan kusam, kulit hitam legam,
oh... ia benar-benar merasa menjadi cewek paling buruk di dunia!
Di sekolah, Farah tak
punya teman. Sepertinya, tak ada seorang pun yang mau menjadi sahabatnya.
Hingga akhirnya, setiap kali punya masalah, hanya kepada buku harianlah Farah
mengadu.
Malam ini, di kamarnya yang sepi, jam 11.15 wwib, Farah
menulis diary-nya:
“Ry, kenapa hidupku ini sempit sekali. Aku selalu saja
tersisih. Aku selalu menjadi merasa bersalah di depan semua orang. Seperti
ketika aku berjalan bersisian dengan Titin, teman sekelasku, aku merasa Titin
malu sekali berjalan bersama denganku. Hal itu membuat aku jadi tak enak hati.
Sehingga aku jadi malas berjalan dengannya, karena takut ia malu hati berjalan
bersisian denganku.
Tidak hanya dengan Titin saja sebenarnya. Dengan
siapapun aku bersama-sama di sekolah, sepertinya teman-temanku tak mau
mengakuiku sebagai teman. Apalagi teman-teman cowok. Mungkin mereka jijik
melihatku! Oh, buku harianku, apakah mereka malu memiliki seorang sahabat yang
punya wajah buruk sepertiku ini?
Ry, seandainya saja aku ini anak orang kaya, aku pasti
sudah merombak wajahku ini menjadi cantik. Barangkali, bila aku cantik, banyak
teman yang mau bersahabat denganku? Atau
bisa jadi, banyak cowok yang naksir aku? Ah, seandainya....”
Farah menyelesaikan tulisannya hanya sampai di situ.
Otaknya sudah tak sanggup lagi menemukan kata-kata untuk merangkai kalimat.
Kalimat pengaduan yang mungkin saja sudah membuat buku hariannya merasa bosan.
Sebab setiap kali menuliskan curahan hatinya, selalu saja kalimat tak mengenakan.
Seperti yang ia tulis dua hari lalu, setelah Farah
mengobrol dengan Papa dan Mamanya di ruang tamu. Ketika itu Papa keceplosan
ngomong, “Aku juga bingung Ma, Farah ini nurunin siapa ya...? Hehehe...!”
Seketika itu juga Farah masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci diri. Ia tak mempedulikan meskipun Papa dan Mama
memanggil-manggilnya, merayunya, agar Farah tidak marah. Dan hanya kepada buku hariannyalah Farah
mengadu:
“Ry... coba
kamu bayangin aja. Papa dan Mamaku aja bingung sama keberadaanku. Sebenarnya
aku ini anak siapa seh? Jangan-jangan Papa dan Mamaku mengambil aku dari kardus
yang dibuang gelandangan di sudut pasar? Rasa-rasanya enggak mungkin kalau aku
ini putri mereka. Papa meski tidak terlalu tampan, kayaknya enggak terlalu
jelek. Wajah Mama bisa dibilang manis, meski enggak semanis artis-artis
sinetron... Dan aku... sama sekali enggak mirip keduanya. Aku mirip siapa, seh?
Apakah aku mirip kuntilanak? Seperti
yang pernah dikatakan Indah, teman sekelasku yang mulutnya enggak punya
saringan itu...?! Oh, buku harianku...
tolonglah aku...?”
Farah menarik nafas dalam-dalam sehabis menyelesaikan
tulisannya. Setelah menyingkirkan buku hariannya, Farah berjalan mendekati
cermin. Ia menatap dirinya lekat-lekat. Oh, rasanya Farah ingin memecahkan
cermin di sudut kamarnya ini,
karena setiap kali bercermin ia selalu
saja bersedih. Pilu menatap dirinya yang buruk rupa.
*
Hari ini Farah senang sekali. Ini sungguh tidak biasa.
Farah tampak ceria dan sering bersenandung di dalam kamarnya. Papa dan Mamanya
pun bingung dibuatnya.
“Farah kenapa ya, Pap?”
“Nggak tau deh Ma... dari tadi senyam-senyum sendirian...”
“Wah, bisa gawat Pap... jangan-jangan...”
“Jangan-jangan apa toh, Ma ...?”
“Jangan-jangan dia lagi
jatuh cinta...!?”
“Jatuh cinta...? Farah jatuh cinta sama siapa? Apa ada
cowok yang suka sama...”
“Hush! Sudah, sudah! Si Papa ini gimana sih, sama anak
sendiri...! Enggak ingat ya, waktu Farah kemarin ngambek...?!”
“Maaf, Ma... kemarin kan papa keceplosan... o ya, apa
mungkin Farah lagi jatuh cinta?”
Farah mungkin memang sedang jatuh cinta. Itulah yang
menyebabkan Farah senyam-senyum sendiri. Hatinya benar-benar riang. Pasalnya,
pagi tadi ketika berpapasan dengan Anjas, cowok tampan di kelasnya, Anjas
tersenyum manis pada Farah. Hal itulah yang membuat Farah senang.
Sore ini, di kamarnya, Farah merebahkan tubuhnya di atas
dipan. Farah mengingat-ingat apa yang terjadi siang tadi di sekolah. Untuk
pertama kalinya Farah mendapat senyuman manis dari seorang cowok. Dan cowok itu
bukan cowok sembarangan. Dia adalah Anjas, cowok tampan yang jago main sepak
bola. Hanya saja, sayangnya Anjas itu sudah jadian sama Indah.
Tapi enggak apa-apa. Apa pedulinya sama Indah? Si cewek
yang enggak punya perasaan itu...? Farah membatin,
sambil masih terus senyam-senyum sendirian.
Yang penting, malam ini Farah bahagia sekali. Farah ingin
segera tidur dan bermimpi indah. Melupakan sejenak perasaan yang selalu
menyalahkan dirinya yang buruk rupa.
*
Keesokan harinya, di sekolah, seperti biasa Farah ke kantin
sendirian. Farah duduk di sebuah kursi yang saling berhadapan dengan kursi
lainnya. Tempat itu memang sengaja didekor untuk sepasang pengunjung. Satu meja
yang terdiri dari dua kursi. Ada lima pasang meja seperti itu. Empat lainnya
penuh oleh anak-anak lain. Cuma satu yang tersisa, yaitu kursi yang terletak di
depan kursi yang tengah ditempati Farah.
Seperti hari-hari sebelumnya, setiap kali Farah duduk di
situ sendirian, memang tak ada anak lain yang mau duduk di kursi tersebut.
Farah menduga, anak-anak memang tak ada yang mau menjadi sahabatnya.
Farah kali ini tidak merasa benci pada keadaan ini. Farah
hepi-hepi aja. Farah lalu mengeluarkan buku hariannya, setelah memesan segelas
jus dan semangkuk bakso. Di kantin itu, Farah menulis diary-nya.
“Gila, Ry. Hari ini aku
seneng banget. Meski kayak biasanya, kursi di depanku kosong, tapi aku enjoy
aja. Kayaknya aku emang enggak perlu marah pada keadaan. Dan aku enggak harus
menyalahkan nasibku yang punya wajah buruk ini. Duh, Ry, masalahnya... kenapa
aku selalu berharap ada seorang cowok datang ke kantin ini, terus duduk di
depanku...
Uh, kayaknya
enggak mungkin banget deh! Cowok gokil aja yang mau duduk di deketku...!”
Pesanan Farah tiba. “Permisi... ini jus sama baksonya...!”
Bu kantin berkata dengan ramah, namun sebenarnya dengan hati yang gundah. Ya,
Bu kantin pernah berterus terang pada teman-teman sekelas Farah, bila Farah
berada di kantin, pengunjung kantin menjadi berkurang. Sebab mereka enggak mau
duduk di dekat Farah. Namun Bu kantin tak bisa berbuat apa-apa ketika salah
seorang cowok mengaku bersedia menanggung kerugian kantin. Cowok itu adalah
Anjas!
“Biar saja dia duduk di situ. Dan anggap saya duduk di
hadapannya. Nanti saya akan membayar kerugian ibu...” ucap Anjas pada Ibu
kantin.
Sambil sibuk menulis buku hariannya, rupanya Farah
mendengar dengan jelas percakapan Bu Kantin dan Anjas!
Gila Ry...
hari ini, ternyata ucapan Anjas itu tidak hanya sebagai pemanis mulut saja.
Sebab akhirnya Anjas benar-benar bermaksud duduk di hadapan saya. Kenapa Anjas
melakukan semua ini ya Ry? Apa karena Anjas merasa kasihan sama saya. Dan tahu nggak Ry, si Indah yang seringkali
melecehkan Farah di depannya hampir diputusin. Uh Indah, meski sesuai dengan namanya,
yaitu memiliki wajah dan tubuh yang indah, namun perangainya buruk ya Ry...
“Boleh aku duduk di sini...?” ujar Anjas pada Farah. Farah
tak menjawab. Farah malah terbengong-bengong.
“Ry... apa
mungkin cowok kayak Anjas mau duduk di dekatku...? Kayaknya semua ini cuma
mimpi... Aku enggak yakin...”
Dalam keadaan bingung, dan Anjas sudah berdiri di
hadapannya, Farah masih terus menulis
buku hariannya.
“Ry...
seandainya kejadian ini cuma mimpi, aku berjanji akan tetap terus hepi. Aku
enggak mau sedih lagi. Buat apa aku sedih?
Meski enggak ada seorangpun anak yang mau jadi temenku, aku kan masih
punya kamu Ry... Buku Harian yang setia...”
Farah terus menulis buku hariannya. Ia tak peduli pada
anak-anak pengunjung kantin yang saling mengobrol dan berbisik-bisik
meliriknya. Farah seakan tidak peduli, meski
sebenarnya ada seorang cowok tampan berdiri di dekatnya. Farah masih
terus berandai-andai; andaikan Anjas datang ke mejanya dan bilang, “Boleh aku
duduk di sini...?”
“Farah... boleh aku duduk di sini...?”
Ini memang seperti mimpi! Seperti yang diharapkan
Farah. Bagaimana mungkin Anjas mau duduk
di hadapannya...?
“Anjas... biarkan saya sendirian...” ucap Farah akhirnya.
Anjas masih berdiri di dekat kursi yang kosong itu. Anjas
tampak kecewa karena Farah tak mau ditemani.
“Kenapa saya enggak boleh duduk di sini...?” kali ini Anjas
tampak memelas. Sebelumnya Anjas tak pernah diperlakukan oleh cewek seperti
saat ini. Apalagi oleh cewek seperti... Farah...
“Maaf Anjas... kamu enggak pantas duduk di dekat saya...
lagian, ngapain kamu duduk berhadap-hadapan dengan saya. Mau menanggung malu?”
“Saya enggak malu, kok!? Ngapain malu? Kamu kan teman saya? Boleh ya, saya duduk di
sini...? Plis...” rupanya Anjas benar-benar memelas.
Akhirnya Farah mengangguk sambil tersenyum. Hal itu membuat
Anjas senang. Dan Anjas pun duduk di hadapan
Farah.
“Kamu manis juga kalo lagi senyum...” ujar Anjas, terdengar
jelas sekali di telinga Farah. Ya
Tuhan, kenapa Anjas bilang begitu...? Farah baru menyadari, selama ini di
sekolah, ia memang tak pernah tersenyum. Di dalam hatinya Farah berjanji, kini
ia harus sering-sering tersenyum.
Semua anak yang berada di kantin menoleh ke arah Farah dan
Anjas yang tengah duduk berdua. Anjas memesan minuman ke penunggu kantin.
Farah kembali menulis di buku hariannya.
Diary... sudah dulu yah... aku lagi mau ngobrol neh sama
Anjas... Sampai nanti yaaa...
mmmmmmuaaaach...!!!
*)Tangerang
Selatan, 2009
0 comments:
Posting Komentar