Mamat Metro

Mamat Metro

Inem

Cerpen  Zaenal Radar T.
Dimuat di majalah Gadis  No.10  07-16 April 2009



Kalau kalian mendengar nama ”Inem”, apa yang muncul dalam benak kalian? Teringat nama seorang foto model? Atau ingat tentang nama artis ternama? Tentang seorang perempuan cantik berambut pirang? Pasti bukan. Kata teman sekelas saya yang noraknya minta ampun, namanya Markum, dia bilang begini ke saya; ”Inem itu nama pembokat, coy!” Bisa jadi si Markum benar. Dalam sinetron seringkali Inem jadi nama pembantu. Belum pernah ada tokoh dalam acara drama atau film televisi bahwa nama Inem masuk ke dalam daftar nama-nama tokoh gadis SMU cantik dan molek, atau anak kampus yang keren, atau juga nama seorang majikan perempuan cantik dan aduhai.
 
gbr: zethaindonesia.com
Saya pernah mendengar nama Inem sejak ada film jadul banget yang judulnya Inem Pelayan Seksi. Diceritakan ada seorang pembantu yang namanya Inem. Dia cantik dan seksi sehingga juragannya sayang padanya. Sudahlah, cerita itu tak perlu saya lanjutkan. Takut porsinya kelebihan. Kita bahas soal Inem yang lainnya saja. Saya harap kalian setuju.
Kita kembali saja soal Inem. Sssttt... asal kalian tahu, Inem itu nama saya! Entah kenapa saya hanya diberikan nama dengan jumlah hurup lima buah saja; Inem. I – N – E – M.  Nama yang sekarang tertera pada kartu kelahiran, ijazah, kartu pelajar, parpor, rapor, dan hal-hal formal lainnya.
Kalian pikir semua ini lumrah dan biasa saja, bukan? Tetapi ternyata tidak buat saya. Entah kenapa saya seringkali tidak begitu percaya diri mengeja atau mendengar nama saya sendiri. Dikalangan teman-teman yang tidak pernah tahu nama asli saya, teman nongkrong di kafe misalnya, saya selalu dipanggil dengan sebutan, “I’in”. Anak-anak di sekolah, di kelas sendiri maupun di kelas lain juga memanggil saya dengan sebutan I’in. I’in tentu nama pendek saya. Sebutan I’in agar berkesan bukan nama pendek dari Inem, melainkan bisa saja Intan, Indah, Ina, dan sebagainya asalkan bukan Inem.
Dava, pacar saya, tak pernah mempersoalkan nama saya itu. Katanya dia setuju dengan Pak Saksfer, guru bahasa Indonesia-nya di sekolah, yang mengatakan bahwa, “Apalah arti sebuah nama?”. Katanya lagi, guru bahasa Indonesianya mengutif kalimat tersebut dari pujangga Inggris yang dia sendiri lupa namanya, yaaa... agak mirip-mirip nama guru bahasa Indonesia si Dava tadi itu.
Soal pacar saya Dava, saya mengenalnya di sebuah pesta ultah teman. Cinta pandangan pertama kami bukan pada saling pandang, tetapi karena secara kebetulan semata. Ketika itu dia tengah berjalan hendak memberikan selamat kepada teman yang ultah. Tetapi entah kenapa tiba-tiba kaki saya terpeleset lalu hilang keseimbangan sehingga menubruk tubuhnya hingga dia terjatuh. Tidak cukup sampai disitu, bajunya pun kena tumpahan kuah makanan dari piring yang saya bawa. Dava seperti mau marah tapi tidak enak dengan suasana waktu itu. Disitulah akhirnya saya berkenalan, dan tentu bukan menyebut nama saya dengan sebutan Inem, melainkan cukup I’in saja.
Sejak pertama kali bertemu itu, sejak berkenalan dan sampai sekitar tiga bulan melakukan ‘pdkt’, saya tak pernah jujur menyebutkan nama asli saya, kecuali sebutan I’in. Setiap kali berkenalan dengan orang baru yang dikenalkan Dava, nama I’in lah yang saya sebut. Dan dia sendiri tak pernah menanyakan siapa nama saya sesungguhnya, kecuali ya I’in itu tadi.
Dava baru tahu nama asli saya sewaktu duduk di ruang tengah rumah saya, lalu mama saya memanggil-manggil saya. “Neeem... Ineeeemmm...!” begitu panggil mama. Dava mungkin mengira mama memanggil pembantu.
“I’in, tadi mama kamu cari-cari si Inem. Disuruh ke belakang sebentar..” kata Dava waktu itu, kepada saya. Saya pun malu dan langsung ke belakang. Lalu Suci, pembantu saya, datang membawa banyak belanjaan, dan ketika saya kembali Dava mendekatinya. Saya mencuri dengar.
“Maaf mbak, eeee... mbak Inem tadi dicari mamanya I’in,” kata Dava pada Suci. Suci tidak menjawab, tapi malah mengerutkan kening.
“Maaf mas, Inem itu nama anak majikan saya!”
Saya yang mengintip di balik dinding hampir pingsan. Sejak itulah Dava tahu nama asli saya. Dan ternyata, Dava berterus terang bahwa dia sedikitpun tak merasa jengah atau sungkan dengan nama tersebut. Sebab Dava bilang, dia mencintai saya, bukan nama saya. Dia merasa tak ada salah dengan mama saya. Inilah yang membuat perbedaan cara pandang saya dengan Dava. Saya sangat benci pada nama saya sendiri.
Suatu hari, saya menangis memikirkan nama saya. Saya terpaksa curhat pada Dava.
“Sejak sekolah dasar sampai SMA, gue ngerasa tertekan sama nama gue,” ucap saya pada pacar saya, sewaktu pertama kali dia tahu nama asli saya.
“Nem... aeh, In... nama itu kan pemberian ortu. Kamu harus mensyukurinya.”
“Justru itu. Gue benci sama almarhum papa. Dia yang memberi nama gue Inem. Memangnya nggak ada nama lain selain Inem!?”
“Kamu tahu kenapa papa kamu memberi nama kamu Inem?”
“Nggak tahu!”
“Pernah nanya?”
“Males!”
“Ya udah, kenapa soal nama aja jadi masalah?”
“Jelas aja karena kamu nggak pernah ngerasa punya nama yang salah!” kali ini saya berkata dengan nada tinggi, seolah-olah ingin sekali melumatnya.
“Kamu pikir... ada yang salah dengan nama kamu?”
“Jelas aja salah! Saya dikasih nama Inem?”
Dava hanya menarik nafas panjang, lalu menghelanya perlahan. Saya makin geram padanya.
“Kayaknya gue harus ganti nama,” ucap saya kemudian.
“Maksud kamu??”
“Gue... mau ganti nama dengan nama lain!”
“Kenapa?”
“Ya nggak suka aja”
“Siapa kira-kira nama yang kepingin kamu sandang?”
“Nama apa aja. Yang penting bukan Inem!”
“Gimana kalo Ijah?”
“Uuuuhhh...!!! Sebeeeeel!!!” pekik Saya, sambil berlari menjauhi Dava. Dava mengejar saya sambil memanggil-manggil. “In...”
Saya tidak menoleh. Dia memanggil saya lagi, “In...”
Saya menghentikan langkah, “Kenapa? Kamu mau ngehina lagi, kan?” ujar saya, sambil melotot galak.
“In, gue nggak pernah punya niat menghina kamu”
“Terus apa maksudnya tadi kamu usul supaya nama gue jadi Ijah?”
“Maaf... tadi itu cuma becanda. Nggak usah marah”
“Huh, bodo amat!” Saya kembali berlari menjauh meninggalkannya. Kali ini Dava hanya bisa menatap kepergian saya.
Sejak saat itu, setiap kali bertemu, Dava memang tak pernah mau mempersoalkan nama saya. Meski begitu, saya tetap ingin mengganti nama saya. Sayangnya, saya tidak bisa. Selain ribet, ternyata berat diongkos. Mengganti nama membutuhkan biaya besar.
“Apa gue masih bisa panggil kamu I’in? Maaf, gue takut kalau nama kamu sekarang sudah diganti,” ujar Dava, saat datang malam minggu kemarin.
“Gue nggak jadi ganti nama...” kata saya, ketus.
Dava diam saja. Mungkin dia takut salah ucap. Saya menatapnya dengan tatapan menghujam. Tatapannya begitu tajam. Bak batu pualam terasah ber-ribu-ribu jam. Tahu-kah kalian, sebenarnya saya tak ingin melakukan ini. Saya hanya bermaksud agar Dava tak menghina kalau nama saya masih Inem.
“Kok, kamu diem aja. Kasih komentar dong!” tambah saya, membuat Dava terlihat serba salah. Dava berdehem sebentar, lalu mengatur nafas dalam-dalam.
“Kenapa nggak jadi ganti nama?” lanjutnya.
“Susah.”
“Susah?”
“Iya, susah. Ngurusnya ribet.”
“Ribet gimana...”
“Bukan cuma soal akte kelahiran, tetapi gue musti ganti nama semua ijazah gue. Dan merembet ke surat-surat lainnya.”
“Ya sudah,  kalo begitu dengan nama sekarang saja juga nggak apa-apa, kan?”
“Gue tetep nggak sreg! Gue malu!”
“Nggak usah malu.”
“Kalo sekiranya gue nggak malu, mungkin anak-anak yang gue lahirkan nanti malu punya ibu namanya seperti nama gue.”
“Kenapa kamu bisa punya pikiran begitu?”
“Kamu kan tahu, di sekolah akan ada pertanyaan siapa nama ibu kandung?”
“Terus masalahnya apa?”
“Gue takut anak-anak gue jadi jengah mengeja nama gue, Inem!”
“Harusnya mereka bangga!”
“Maksud kamu?”
“Pasti teman-temannya nggak punya nama seperti nama ibunya! Iya, kan?”
“Iya, lalu mereka semua menghina anak-anak gue, karena nama ibunya jelek! Puas kamuuu!!!”
Dia menelan ludah.
“Kenapa kamu diam??” gertak saya.
Dia terlihat jadi serba salah. Mungkin pacar saya membathin, Ngomong salah. Diam juga salah. Hidup salah!
***

Setelah kejadian itu, belakangan ini Dava sekali bertemu dengan saya. Saya sendiri sibuk di rumah. Karena pembantu saya Suci pulang kampung dan tak kembali lagi bekerja. Kabarnya Suci akan menikah di kampung.
Namun suatu hari Dava mampir ke rumah. Pada saat yang bersamaan keluarga saya sudah punya pembantu baru. Meskipun begitu, saya sedang tak punya semangat hidup. Sejak pembantu baru saya, yang masih saudara jauh itu menetap di rumah, saya merasa semakin tertekan.
“Kamu kenapa? Kok keliatannya suntuk banget sih?” tanya Dava.
“Nggak apa-apa,” kata saya, singkat dan padat.
“Bener kamu nggak apa-apa?”
“Bener.”
“Syukur deh kalo gitu.”
Lalu kami berdiam-diam lagi. Beberapa saat setelah kami berdiam-diam, muncul gadis muda yang terlihat polos dan lugu. Gadis ini membawakan minuman. Dialah pembantu baru yang saya maksud tadi.
“Saudara kamu ya?” tanya pacar saya, penuh selidik, setelah gadis itu meletakkan minuman dan kembali ke dalam.
“Pembantu.”
“Pembantu? Keliatannya masih seumuran kita ya?”
“Cari pembantu susah. Mama mengambil saudara jauh buat bantu-bantu disini.”
“Apa dia nggak sekolah?”
“Dia cuma lulus SMP”
Dava mengangguk-angguk mengerti. Lalu gadis itu kembali membawa nampan berisi stoples makanan ringan. Dava tersenyum ramah padanya, yang dibalas dengan anggukan.
“Silakan...dicicipin makanannya...” ujar pembantu saya dengan sopan.
“Terima kasih...”
Lalu Dava saya memandang ke arah saya.
“In, kayaknya pembantu kamu itu rajin ya...” katanya, berusaha mencairkan suasana. Saya tak menjawab, hanya mendengus pelan.
“Ngomong-ngomong, siapa namanya...? Nggak usah curiga dulu ya, aku cuman kepingin akrab aja sama dia...hehe,” katanya lagi, yang membuat saya menahan geram.
“Ngapain sih pake nanyain nama segala! Apa sih pentingnya! Bilang aja, kamu ingin menjatuhkan saya, kaaan? Nyebelin banget kamu!!” hardik saya panjang lebar. Dava terdiam. Saya makin sebal padanya. Sebab pertanyaannya benar-benar menyinggung perasaan saya. Sialnya, pembantu saya kembali ke ruangan sambil membawa sapu ijuk.
“Maaf, sebentar...” Dava menghentikan gadis itu. Pembantu Saya pun memandang pacar saya dengan tatapan bingung.
“Ada apa Mas?”
“Kamu baru ya di rumah ini?”
Dia cuma mengangguk.
“Boleh tahu nggak, nama kamu siapa?”
“Clara.”
“Clara...??”
Si pembantu mengangguk pelan, lalu dia pergi. Dava menatap saya sambil menelan ludah. Tahukan kalian, nama saya Inem, dan nama pembantu saya: Clara. Bagi kalian atau pacar saya Dava mungkin tak masalah. Tapi buat saya... saya tidak terima! Tapi mau bagaimana ya. Saya hanya bisa bingung dan tertekan.
“Nem, Ineeem... kok kamu bengong aja sih?” sapa Dava. Saya berlari meninggalkannya. Saya kesal banget. Kenapa Dava bukan menyebut nama Saya I’in, tapi malah Inem!! Grrrrhhhh....***
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...