Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di majalah Hai, No. 34 Th.XXX, 21 - 27 Agutstus 2006
Dimuat di majalah Hai, No. 34 Th.XXX, 21 - 27 Agutstus 2006
Namanya Kania Angelina.
Kalau temen-temen saya tanya, “Siapa seh, cewek lo sekarang?”, dengan bangga
saya pun menyebutkan namanya tadi.
Seandainya mereka akan tanya, do’i sekolah dimana, saya akan jawab
sejujurnya, kalau dia baru saja lulus dari sebuah SMA keren di Bandung, akan
melanjutkan ke sebuah perguruan tinggi top di Jerman. Dan kalau temen-temen
saya masih juga rewel tanya tentang kekasih baru saya itu, akan saya jawab: Dia
cantik, seksi, body proporsional, keren, lumayan cerdas, sedikit agak centil
(tapi cuma kepada saya), pokoknya nggak malu-maluin deh!
Tapi kalau seandainya temen-temen saya tanya, dia suka
musik apa? Ini pertanyaan yang sulit saya jawab. Masalahnya, dia nggak terlalu
suka dengerin musik yang saya dan temen-temen gandrungi. Pernah saya ajak lihat
konser Robbie Wlliams di Singapura, beberapa pekan lalu, tapi kayaknya
sepanjang konser itu dia nggak mood. Dia nggak terlalu seneng seperti
saya. Jelas aja begitu, ternyata Kania Angelina cuma suka satu jenis aliran
musik, yakni dangdut! Ugh...!
Saya bukannya anti sama dangdut. Dan bukan berarti benci
pada orang yang menyukai dangdut. Apalagi orang itu kekasih saya sendiri.
Orang-orang terdekat saya menyukai musik itu. Pembantu saya di rumah, Atun
Kusmiatun, sering saya denger tengah mengikuti lirik lagu dangdut yang ia setel
di belakang rumah, setiap kali ia tengah menyetrika baju-baju. Sopir saya, Mang
Koko Karjono, kerap saya pergoki menyetel musik dangdut di radio mobil kalau
sedang bosan menunggu saya. Tetapi baik Atun maupun Koko, mereka selalu mematikan
musik dangdut yang tengah mereka dengarkan bila mengetahui keberadaan saya.
Entah mereka malu, tidak enak, atau takut saya marah. Padahal saya belum pernah
menunjukkan sikap saya, marah atau mengomel bila mereka tengah mendengarkan
musik kesayangan mereka, musik dangdut.
Lain halnya dengan Kania Angelina kekasih saya yang
cantiknya minta ampun itu. Ketika mendengarkan musik dangdut kesukannya, dia
seolah nggak peduli apakah saya suka atau nggak.
Saya mengetahui Kania suka dangdut ketika mengantarnya ke sebuah pusat
perbelanjaan. Waktu itu, tiba-tiba saja dia memindahkan gelombang radio yang
sedang saya dengarkan.
“Nggak apa-apa kan, kalo gue pindah gelombangnya?” ucap
Kania ketika itu. Saya mengangguk setuju. Padahal saat itu saya lagi asyik
masyuk dengerin radio anak muda Jakarta, yang lagi memperdengarkan lagunya Five
For Fighting, The Riddle; ‘...There are secrets that we still
have left to find... there have been mystery from the beginning of time...
there are answers we’re not wise enough to see... He said....”
Srek..srek... srek... tuning radio mobil saya pun segera ditekan-tekan
Kania, dan terdengarlah irama dangdut melayu dari sebuah stasiun radio lain...
‘Aduh Buyuuung, mengapa lupa padaku...ah, selama engkau dirantau
kutunggu-tunggu dirimu... Berliku-liku janjimu berbelok-belok cintamu...
sehingga aku jemu pada dirimu...pada dirimu... Aduh Buyung, mengapa lupa
padaku, ah, selama engkau di rantau kutunggu-tunggu dirimu...’
Demikianlah suara yang kemudian terdengar dari radio mobil
saya. Aha, tau nggak, ternyata Kania bukan cuma fasih mengikuti lirik lagu
dangdut melayu tersebut, tapi juga hapal di luar kepala dentuman instrumen
nada-nada dan hentakan gendang serta serulingnya. Dagunya maju-mundur, leher
bergerak-gerak lincah, pinggul bergoyang aduhai mengikuti irama. Duh! Saya
nggak percaya melihatnya. Sepanjang perjalanan yang lagi macet total,
berturut-turut lagu demi lagu terdengar, dari mulai lagu berjudul, Sakit
Gigi, Cincin Kawin, Gula-gula, Bantal Guling, Kunanti Di Pintu Surga, Jatuh
Bangun, dan sebuah lagu dangdut lainnya yang menurutnya lagu yang paling
digemarinya, berjudul; Nasib Bunga! Waduuuuh!!
***
Kebiasaan Kania mendengarkan lagu-lagu dangdut
kesayangannya melalui radio mobil setiap
kali kami bersama-sama, membuat saya tak berdaya. Saya tak enak menegurnya.
Saya tak kuasa melarang atau mengkritiknya. Bahkan sekadar menyindirnya
sekalipun. Apa pantas ya, kalau sekiranya saya katakan ke dia, kalau apa
yang ia lakukan itu kampungan?
Untuk mengalihkan perhatiannya pada satu jenis musik, yakni
musik dangdut kegemarannya, saya pun sengaja meletakkan beberapa kaset serta cd
lagu-lagu top 40 dari musik-musik mancanegara sampai musik pop Indonesia yang
sedang populer di atas dash board. Harapan saya, seandainya dia tidak
menyukai lagunya Ronan Keating yang berjudul Iris, tak apalah dia
suka lagu-lagunya Peterpan atau Ada Band. Kalaupun misalnya do’i males
dengerin Sin, Sin, Sin yang
dibawakan Robbie Williams, nggak apa-apa deh dia nyanyiin lagu-lagunya
Audi. Saking maksanya, saya bahkan berharap dia menyanyikan lagu-lagunya grup
Radja aja! Menurut saya, grup band Radja ini
ada yang kedangdut-dangdutan juga, kan? Lagunya Dewa, album terbaru
mereka Republik Cinta, juga kalo tidak salah ada dangdutnya juga?? Kenapa Kania nggak pilih lagu Dewa yang
dangdut itu aja, ya?? “Di setiap ada kamu mengapa jantungku
berdebar...berdetak lebih keras...seperti genderang mau peraaanng...”
Tapi ternyata Kania Angelina bergeming! Dia tetap tak
peduli. Bahkan dia membawa kaset dan cd lagu-lagu dangdut miliknya, yang
sengaja ia bawa dari rumah. Bujuk Buneeeeng! Damn it!!
Kalaupun
Kania selalu mendengarkan lagu-lagu dangdut bila berdua di mobil dengan saya,
mudah-mudahan nggak saat kita berdua bareng sama orang lain. Seperti dengan
keluarga atau temen-temen saya. Tetapi, suatu hari, saat adik saya yang
kebetulan menumpang dengan saya karena mobilnya lagi di bengkel, Kania
mengganti gelombang radio mobil dengan stasiun radio kebanggannya, yang khusus
memutar lagu-lagu dangdut. Hal itu membuat kening wajah adik saya
berkerut-kerut. Maklum aja, adik saya ini anak hard core sejati. O,ya, waktu
itu saya melirik adik saya, yang akhirnya tersenyum-senyum penuh ejekan
memandangi saya. Saya hanya bisa menelan ludah.
***
Entah mendapat kabar dari mana, ternyata semua teman-teman
saya akhirnya tahu kalau cewek yang saya bangga-banggakan di depan mereka itu
menyukai dangdut. Padahal mereka belum pernah saya perkenalkan. Mereka kadang
menyela saya sambil berjoged dengan pinggul digoyang ke kiri dan ke kanan, atau
memutar-mutar bokong mereka bila di depan saya.
Suatu hari, saat saya dan Kania hendak berpisah karena dia
harus melanjutkan pendidikan di Jerman, saya ajak temen-temen mengantarnya ke
bandara. Sekalian memperkenalkan Kania pada mereka. Sebelum bertemu, Kania
mengirim sms ke saya. ‘Honey, don’t worry, gw gak akan dengerin dangdut di
depan temen2 lo.’ Saya tentu aja
terkejut membaca pesan singkatnya.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, saya, Kania, dan
ketiga temen saya yang semobil di kursi belakang, tidak mendengarkan radio atau
cd. Saat melirik temen-temen melalui kaca spion, saya bisa melihat dengan jelas
kalau mereka terkagum-kagum melihat Kania yang keren banget.
Selepas mengantar kepergian Kania di bandara, sepanjang
perjalanan pulang ketiga teman saya memberikan pujian akan Kania yang keren
banget. Saya tidak mendengar sindiran dangdut mereka lagi. Sampai akhirnya saya
mengantarkan mereka pulang, saya benar-benar lupa kalau antara saya dan Kania
punya perbedaan selera. Dia suka dangdut, sedangkan saya dan teman-teman tidak.
Namun saat saya sedang sendirian selepas mengantar
teman-teman, tiba-tiba saya kangen Kania. Padahal kami baru beberapa jam
berpisah. Saya pun menghidupkan radio mobil saya, menekan-nekan tuts tuning,
mencari-cari gelombang radio yang biasa Kania dengarkan. Maka terdengarlah sang
penyiar, “Abang... None, Ncang.. Ncing Nyak Babeh, nyok kite dengerin sebuah
lagu... Jatuh Bangun...,” Maka mengalunlah irama dangdut melayu, “Jatuh
bangun aku mengejarmu... Namun dirimu tak mau mengerti.. Kubawakan segenggam
cinta namun kau meminta diriku... membawakan bulan ke pangkuanmu... jreng
jreng!”
Entah mengapa, kepala saya mendadak teranggut-anggut
mengikuti irama lagu, pinggul saya bergoyang-goyang. Aha... tarik,
Maliiiih!!!***
*)
Pamulang, 17 Juli 2006
0 comments:
Posting Komentar