Mamat Metro

Mamat Metro

My Bad Bodyguard

          Cerpen  Zaenal Radar T. 
          Dimuat di Majalah ANEKA YESS!,    No.20  28 September – 11 Oktober 2009



Mungkin orang-orang enggak tahu betapa tersiksanya hidupku. Yang mereka tahu, aku ini hidup serba ada. Serba lengkap. Mau minta apapun tinggal sebut. Mobil mewah, baju-baju bagus, sepatu keren, sampai jalan-jalan ke LN. Pokoknya apapun yang aku inginkan, pasti dikabulkan. Satu hal yang sungguh membuatku tersiksa, yang tak pernah orang-orang sadari,  adalah terenggutnya kebebasanku. 
Foto: www.sixpackmagazine.com
Sejak bokap menjabat sebagai orang nomor satu di daerahku, kemana-mana keluarga kami dikawal bodyguard. Dan aku ternyata enggak luput dari kawalan. Mau kemana-mana harus bilang pada si bodyguard, dan mereka mengikutiku kemanapun aku pergi. Rasanya hidupku ini sempit sekali.
Sejak dari berangkat ke sekolah, seorang bodyguard mengikutiku. Di sekolah, tidak semua anak mau dekat denganku. Mungkin mereka minder, atau barangkali takut dengan pengawalku itu. Terutama anak-anak cowok.
Sebenarnya aku ingin sekali punya teman cowok yang bisa kujadikan pacar. Tapi kalau dekat-dekat saja mereka tidak berani, bagaimana mau nge-gebet aku? Atau, apa aku yang harusnya nge-gebet mereka? Duh, cewek macam apa aku ini...??
Belakangan ini aku ngerasa hepi. Sebab dari sekian ratus cowok di sekolah, ternyata ada yang berani mendekatiku. Namanya Markum. Nama yang antik kukira. Anaknya lumayanlaaah. Aku sudah mendapatkan nomor Hp-nya. Dan kami sudah saling berkirim pesan pendek. Dia mengaku padaku, belum kenal siapa aku. Jangan-jangan dia juga belum tahu kalau aku ini putri orang nomor satu di daerah ini? Baguslah kalau dia belum tahu, atau enggak mau tahu sekalian.
Menurut rencana, sore ini do’i bakalan ngajak aku makan gado-gado di warung Mpok Munah. Dia bilang, gado-gadonya Mpok Munah uenaaaaak buanget! Uh, sebelum ini aku enggak pernah dengar  makanan yang ‘uenaaaak buanget!’, apalagi namanya gado-gado. Bukan berarti aku enggak pernah tahu apa itu gado-gado. Aku pernah makan gado-gado. Tapi biasa-biasa saja. Ujungnya, perutku malah mules karena aku memang alergi kacang dan pedas.
Tetapi di depan Markum aku mau saja ditawari makan gado-gado.  Ini demi pendekatan saja. Sekalian penasaran dengan iklan gado-gadonya. Selain itu, ingin tahu juga siapa Mpok Munah yang menjual gado-gado itu. Sekali-sekali bolehlah kalau aku sedikit merakyat. Suntuk juga makan keluar di resto berbintang.
Namun semua itu ternyata enggak mudah. Aku harus lapor dulu pada bodyguard. Kemana aku harus pergi. Jam berapa. Dan dengan siapa. Aku yakin, ini akan sulit. Pertama, mereka belum tentu mengizinkan aku ke tempat tujuannya, warung gado-gado Mpok Munah. Aku sendiri belum tahu di mana lokasinya, karena nanti aku janjian ketemu Markum di dekat gerbang sekolah. Kedua, jam lima sore ini ada jamuan makan dengan keluarga para menteri, acara ramah tamah serba protokoler yang membosankan! Ketiga, ini yang paling rumit. Markum rasanya pemuda yang biasa-biasa saja, dan belum tentu tercatat sebagai pemuda berprestasi hingga layak jalan denganku. Aku baru tahu, prestasi Markum yang selama ini dibangga-banggakannya adalah juara sepak bola antar RT. Itupun, katanya, dia cuma pemain cadangan!
Dugaanku tidak meleset. Aku tidak diizinkan keluar rumah, apalagi dengan sembarang orang. Hah, mereka menyebut Markum orang yang sembarangan? Akhirnya aku langsung menghadap Mr. Gubernur, bokapku yang gagah, tampan, murah senyum, tapi aku tidak menyukai kekakuannya.
“Pap, Markum itu temen sekolahku. Plis pap, dia anak baik-baik,” rujukku, pada si Mr. Gubernur.
Bokap nampak mengatur nafas. Ia melirik ke arah beberapa bodyguard.  Para bodyguard berdiri tegap dengan tatapan mata lurus ke depan, seolah tak berkedip. Kukira mereka mungkin menahan nafas seperti berada di dasar kolam renang.
Beberapa saat kemudian nyokap datang, khas dengan senyumnya yang selalu menawan.
“Isadora sayang, mami ngerti keinginan kamu. Tapi...”
“Kalau mami mengerti, kenapa mami enggak bantu papi ngizinin Dora keluar sama temen Dora, mam?” potongku cepat.
Mulut nyokap masih terbuka, melongo, lalu menatap ke arah bokap. Bokap geleng-geleng kepala. Ia nampak kebingungan. Mikirin aku sudah seperti lagi mikirin propinsi saja. Huh!
“Pap...” kataku manja.
“Ya sudah, kamu boleh keluar dengan temanmu itu...” ucap Mr. Gubernur  akhirnya.
“Bener, Pap?!!” aku masih kurang yakin.
Mr. Gubernur mengangguk. Aku langsung berlari ke arahnya, lalu memeluk dan mencium kedua pipinya, “Mmmuaaah... thanks Mr. Gubernur!!
Sementara itu nyokap menghela nafas sambil geleng-geleng kepala.
Aku menahan langkah bokap yang hendak memasuki ruang kerjanya.
“Ada apa lagi?” tanya bokap.
“Tapi pap, kali ini Dora enggak mau dikawal...” ucapku, membuat raut wajah bokap berubah kesal.
“Maksud kamu?”
“Paaap, selama ini Isadora kan selalu dikawal bodyguard. Isadora mohon, mulai sekarang papi ngizinin Dora jalan sendiri, seperti temen-temen sekolah Dora lainnya...”
“Isadora... Papi ngerti keinginan kamu. Tapi kalau nanti terjadi apa-apa sama kamu, bagiamana?”
“Yakin deh Pap, Isadora baik-baik aja. Plis pap...”
“Tidak bisa, Dora. Kamu harus dikawal”
“Paaap, sekali iniii saja... Isadora kan bukan anak kecil lagi. Masak sih jalan sama cowok harus dikawal. Pap, pliiisss...”
Mr. Gubernur terdiam. Ia menatapku. Airmataku mulai menetes membasahi pipi. Ini tentu airmata buaya...ups! Kalau enggak begini, pasti bokap akan bersikeras memerintah bodyguard buat mengawalku.
“Ya sudah kalau begitu. Tapi kamu harus diantar Pak Gatot,” bokap akhirnya luruh juga.
“Pak Gatot siapa, Pap?”
“Pak Gatot yang akan jadi sopir kamu... Masak kamu lupa sama Pak Gatot...”
Aku mengingat-ingat. Ya, aku ingat sekarang. Pak Gatot salah satu prajurit terbaik marinir, jago tembak, juara bela diri, mampu berenang dari satu selat ke selat lain, masih cukup muda,  dan sekarang ini menjadi salah satu pasukan pengawal keluargaku.
“Gimana, setuju?”
“Ya sudah, pak Gatot saja ya Pap. Enggak usah yang lain.”
Aku kembali merangkul bokap dan mencium pipinya. Setelah salah satu bodyguard membuka pintu, bokap melanjutkan langkah memasuki ruang kerja. Nyokap menyusul memasuki ruangan kerja. Aku sendiri langsung melangkah menuju kamarku untuk mempersiapkan diri. Inilah sore yang bersejarah dalam hidupku. Aku akan keluar rumah dengan seorang cowok, tanpa diikuti bodyguard!
Aku menghubungi henpon Markum. Markum mengaku sudah stand bye. Senang sekali rasanya. Setelah berdandan dengan rapi, yang tentu saja berkat bantuan ahli kecantikan dan ahli busana istana kepresidenan, aku tampil cukup santai sore ini. Pak Gatot sudah siap dengan mobilnya.
“Kita ke mana Isadora?” tanya Pak Gatot, tanpa menatap wajahku.
“Ke sekolah dulu, Pak...”
Pak Gatot nampak tersenyum, lalu melajukan mobilnya. Pintu gerbang istana kepresidenan terbuka, beberapa prajurit di sekitar pintu gerbang memberikan hormat. Mobil melaju menyusuri jalan raya kota, tanpa hambatan, tanpa kemacetan, dan tidak mempedulikan lampu lalu lintas. Jalanan begitu lancar, sebab semua kendaraan lain berhenti menepi.
Ternyata Pak Gatot tidak membawaku ke gerbang sekolah, melainkan ke sebuah resto.
“Pak, kok bukannya ke sekolah Dora?” tanyaku penuh heran.
“Isadora... kamu mau ketemu sama teman kamu yang bernama Markum, kan?”
“Kok, bapak tahu?”
“Pak Gubernur yang bilang ke saya.”
“Eee...ya, benar. Saya memang mau ketemu dia...”
“Tenang saja. Dia sudah ada di dalam resto ini...”
Aku langsung turun dari dalam mobil meskipun masih diliputi kebingungan. Dan ucapan Pak Gatot benar, karena kulihat Markum berdiri di depan resto. Aku langsung menemuinya.
“Kum, kamu bilang kita makan gado-gado Mpok Munah?” tanyaku pada Markum. Markum tidak menjawab dan langsung menarik lenganku ke dalam resto. Sebelum berkata-kata, Markum terlihat takut-takut. Sorot matanya menyelidik ke setiap ruangan. Aku mengikuti arah tatapannya. Aku melihat sepasang lelaki dan perempuan setengah baya tengah bercakap-cakap di sudut ruangan. Aku yakin benar, keduanya tidak sungguh-sungguh mengobrol, karena kedua mata mereka sesekali melirik ke setiap sudut ruangan resto. Dua lelaki lain mengobrol di dekat pintu gerbang, dan sorot mata mereka menyelidiki setiap tamu yang baru tiba.
Di dekat kasir, aku melihat seorang lelaki tegap dengan rambut cepak berdiri sambil memegangi koran. Di sudut yang lain, dua lelaki duduk dengan sorot mata yang sama, meskipun mereka pura-pura asyik mengobrol. Aku bisa menangkap gerak-gerik mereka.
“Dora... saya enggak boleh ngajak kamu ke warung Mpok Mumun. Tapi gado-gado Mpok Mumun bisa dipesan di sini...”
“Kok, bisa?”
“Saya enggak ngerti. Tadi pas saya datang ke sini, semua baju dan celana saya diperiksa...”
“Siapa yang suruh kamu ke sini..”
“Aku dijemput seseorang, katanya kalau mau ketemu kamu ke tempat ini...”
“Kenapa kamu enggak telpon aku?”
“Henponku mereka ambil..”
Aku mengerti sekarang. Pasti semua ini pekerjaan Mr. Gubernur. Sebal banget rasanya. Kayaknya aku harus buat perhitungan.
“Kamu tahu jalan keluar lewat pintu belakang?” tanyaku pada Markum.
“Nggak tahu. Tapi kalo mau lari lewat dapur kayaknya bisa...”
Aku tersenyum menatap Markum. Tetapi sebelum aku dan Markum hendak pura-pura ke kamar kecil, tiba-tiba terjadi kegaduhan. Salah seorang pengunjung yang kebetulan mabuk minuman ribut dengan temannya sendiri, dan nyaris berkelahi. Salah satu dari mereka ternyata membawa senjata api. Dengan satu gerakan yang sangat cepat, seorang lelaki tegap yang duduk di dekatnya langsung menghajar orang itu hingga terjatuh. Sedangkan dua lelaki tegap lainnya berdiri dan mengacungkan senjata api. Lima orang lainnya mendekati aku dan Markum, dan seorang lagi yang dekat kasir juga mengeluarkan senjata api. Dua lelaki lain, yang berdiri di dekat pintu masuk, juga mengeluarkan pistol mereka.
Aku dan Markum bingung, lalu berlari menuju kamar kecil, belok ke dapur, dan keluar resto menuju pintu belakang. Aku dan Markum langsung menumpang sebuah taksi, menuju resto yang lain.
Senang sekali rasanya sore ini, karena barangkali aku benar-benar bisa bebas jalan berdua dengan seorang cowok, tanpa pengawalan!
Di tengah jalan, henpon Markum berdering. Aku bingung, tadi Markum bilang telponnya diambil salah satu pengawalku. Tapi, kenapa henponnya bunyi. Aku pura-pura tidak memperhatikannya. Mungkin saja Markum punya banyak henpon.
Markum nampak bicara di henpon dengan tenang. Aku pura-pura tidak mendengarnya, padahal sebenarnya aku menguping pembicaraannya. “Ya, ya...pak gubernur, baik pak...” ucap Markum samar-samar, membuatku jadi perlahan-lahan sebal padanya.
Rasanya, aku belum benar-benar bisa pergi tanpa pengawalan.***
                                                                                              *)Tangerang Selatan, 08-2009
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...