Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: SUARA PEMBARUAN, 25 Januari 2004
Sumber: SUARA PEMBARUAN, 25 Januari 2004
Tanah galian proyek kompleks perumahan itu sudah hampir mepet di belakang bilik rumah
tetangga sebelahku. Tingginya sekitar
enam atau tujuh meter! Curam dan
berbahaya bagi kami dan anak-anak kami yang masih kecil-kecil. Tetapi aku dan
istriku tetap bertahan di rumah gubuk kami, bersama sekitar sepuluh rumah
tetangga lainnya. Berharap uang ganti rugi lebih besar dari harga yang
ditawarkan pihak pengembang.
gbr: www.supri.info |
Aku dan istriku merasa was-was, bila saja rumah
tetangga sebelah kami itu menjualnya, maka galian tanah akan terus berlanjut ke
tanah rumah kami. Bukan tidak mungkin, kami pun harus menyingkir demi
keselamatan kami dan anak-anak kami yang masih kecil-kecil.
Pembangunan proyek perumahan di daerah kami berkembang cukup pesat.
Tadinya kupikir, aku dan para tetangga yang menempati rumah gubuk di bukit
dekat persawahan tidak terkena proyek pembangunan kompleks perumahan itu.
mengingat letak tanah dan rumah kami yang berbukit-bukit nan terjal itu, serta
sawah darat yang masih beberapa kali aktif memanen padi musiman.
Namun ternyata, setelah sawah-sawah itu
ditimbun, bul dozer terus menggali bukit-bukit untuk menguruk tanah di sekitar
sawah itu. Para penduduk diberi ganti rugi agar mereka menyingkir. Setelah itu kompleks perumahan dibangun satu
persatu, dan dalam waktu singkat sudah ratusan jumlahnya. Selain menjual rumah,
pihak pengembang menjual tanah kavling yang sudah diratakan, dan siap dibangun
hunian.
“Kita pindah saja, Pak. Seperti Pak Markum,”
bujuk istriku, suatu malam.
“Tunggu dulu, Bu. Siapa tahu mereka memberi ganti rugi yang layak. Masak tanah kita dihargai tujuh puluh ribu
permeternya. Bapak dengar, mereka
menjualnya lima ratus ribu permeter!”
“Mereka kan lain, Pak. Mereka menata
tanah-tanah mereka begitu indahnya. Lha, tanah dan gubuk kita ini,
semrawut seperti ini?”
“Wah, Ibu ini bagaimana? Justru kita harus menjualnya lebih
besar. Sebab mereka bisa mengeruk tanah
ini untuk menguruk sawah-sawah itu!”
“Terserah Bapak saja! Aku cuma khawatir sama
anak-anak kita. Tanah galian itu sudah
mepet di bilik pagar rumah Mang Sarwan! Aku khawatir anak-anak main ke
belakang. Apalagi kalau hujan turun, sedikit demi sedikit tanah di sekitar
rumah itu katanya longsor ke bawah!”
“Sabar, Bu!
Kan bukan hanya kita yang bertahan. Masih ada Bang Udin, Bang Kasdul, Bang
Romlih, Bang Samsul, dan lainnya!”
Selama ini kami memang tak pernah mendapat
tekanan atau paksaan dari pihak pengembang. Mereka tak pernah memaksa atau
mengancam kami. Kami jual tanah kami, mereka beli. Tidak dijual, tidak apa-apa. Hanya saja, setelah membeli tanah tetangga
kami, mereka langsung menggali tanah tersebut, untuk menguruk sawah-sawah yang
sudah lebih dulu mereka beli. Sehingga rumah gubuk kami yang berada
diketinggian, semakin lama semakin tinggi saja. Sebab penduduk di sekitar kami
tinggal telah menjual tanah mereka. Dan kami yang tersisa dikelilingi kompleks
perumahan!
“Biar saja, Bu!
Kita ladeni apa maunya mereka!”
“Tapi, Pak, apa Bapak tidak khawatir bila
anak-anak kita tergelincir!?”
“Makanya, kita harus hati-hati, Bu. Kita harus
menjaga mereka. Lagipula, kita mesti pindah ke mana? Apakah tanah dan rumah
yang kita jual nanti cukup untuk membeli rumah baru?!”
Istriku diam mendengar pertanyaanku tadi.
Mungkin dia memaklumi keputusanku untuk tetap
bertahan di rumah ini. Sebab dia tahu kemampuanku. Aku hanyalah seorang buruh
pabrik rendahan yang penghasilannya pas-pasan. Penghasilanku perbulan cuma
cukup buat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Itu pun harus menghutang sana-sini bila anakku yang kelas dua SD minta
dibelikan buku. Belum lagi satu yang di
SMP, yang kerap kali minta tambahan uang sekolah!
Namun begitu aku bersyukur memiliki rumah ini,
rumah peninggalan orangtua istriku. Aku bersyukur tidak repot-repot memikirkan
rumah setelah menikah. Karena istriku
tinggal berdua saja dengan ibunya yang renta. Setelah ibunya meninggal, kami
menempati rumah itu karena istriku anak satu-satunya.
Di rumah ini, meski hanya sebesar gubuk, kami
hidup bahagia. Sebelum ada pembangunan kompleks perumahan, istriku menanam
berbagai macam jenis sayuran di sawah darat yang tidak kami ketahui siapa
pemiliknya. Penduduk bilang sih sawah yang ditanami istriku itu milik
orang kota. Di tanah itu istriku menanam kangkung, bayam, kacang panjang, atau
pohon singkong. Lumayan hasilnya, bisa untuk mengurangi beban yang harus
kupikul. Ada kalanya istriku menjual
sayur-sayur itu ke pasar, seperti daun singkong atau kacang panjang misalnya,
bila hasilnya melimpah.
Bukan cuma kami yang memanfaatkan sawah-sawah
itu. Beberapa penduduk sekitar juga melakukan hal yang sama. Di samping penduduk yang memang masih
memiliki tanah di sawah itu. Sebab tanah di daerah kami memang cukup subur bila
ditanami sayuran, di samping padi. Hanya
saja, para penduduk agak malas bercocok tanam.
Terbukti, ketika pihak pengembang membeli sawah-sawah itu, mereka langsung
menjualnya. Termasuk tanah orang kota yang ditanami sayuran oleh istriku.
Setelah tanah itu di bangun, keadaan langsung
berubah. Tanah sawah yang diuruk dengan
tanah yang dikeruk dari tanah-tanah di sekitarnya, yang datarannya lebih
tinggi, itu berubah jadi rumah-rumah. Pembangunan terus dilakukan hingga nyaris
menyentuh batas tanah gubuk kami. Satu
dua penduduk lainnya menjual tanah mereka, lalu pindah entah ke mana.
Pengembang terus menggali tanah-tanah yang mereka beli. Dan kami yang masih
tersisa tak bisa berbuat apa-apa.
Hingga akhirnya, tanah galian itu benar-benar
sudah mepet di pagar dapur rumah tetangga sebelahku! Kini antara tanah galian
dan rumahku hanya berselang satu rumah!
“Kita harus pindah, Pak! Tanah di belakang
rumah Mang Sarwan semakin longsor!” teriak istriku, sore itu ketika hujan baru
saja turun.
“Tenang saja, bu! Hari ini aku akan berunding
dengan mereka.”
“Terserah bapak, yang penting kita harus
pindah!”
Siang itu aku dan beberapa tetangga yang
tersisa mendatangi kantor proyek pengembang, untuk membicarakan nasib kami.
Siapa tahu mereka mau membayar tanah kami lebih mahal.
Setibanya di sana, beberapa pegawai menerima
kami dengan santun. Dan kami pun membicarakan pokok permasalahan itu. Namun
sayangnya, tak ada kesepakatan sama sekali.
Yang ada justru kekecewaan.
Menurut pegawai proyek pengembang itu, saat ini proyek sedang macet.
Untuk sementara pembangunan proyek dihentikan dulu. Tetapi bila kami mau menjual tanah kami
dengan harga lima puluh ribu permeternya, mereka mau membeli!
“Wah, gawat pak! Kok, bisa jadi begini?!”
istriku kembali panik, setelah aku dan bapak-bapak para tetangga kembali dari
kantor proyek.
“Mau bagaimana lagi, bu? Mungkin mereka juga
terimbas krisis!”
“Bapak, sih! Bukannya dari dulu menyerah
saja!”
“Lho!?
Ibu kok, menyalahkan aku?
Lagipula bu, kalau kita jual dengan harga segitu, kita mau tinggal di
mana?!”
“Daripada sekarang, kita harus bagaimana?!”
“Kita bersabar saja, bu...”
“Sabar bagaimana toh, pak! Tanah di
belakang makin longsor saja!”
***
Waktu pun berlalu. Kami tetap bertahan di rumah
kami. Sekitar sepuluh rumah tersisa di
perbukitan, diapit oleh kompleks perumahan yang tersendat-sendat
pembangunannya. Sebenarnya pemandangan perumahan itu jadi tampak buruk, karena
menyisakkan rumah gubuk kami yang tidak sedap dipandang mata. Namun entah kenapa pihak pengembang tak mau
menyingkirkan kami dengan harga yang layak.
Hampir setengah tahun, sejak mendatangi kantor
proyek itu, tanah di belakang bilik pagar rumah tetangga dekat kami semakin
longsor ke bawah. Beberapa hari lalu Mang Sarwan bercerita, sebuah panci lusuh
miliknya jatuh ke bawah, karena tanah di sudut dapurnya mulai terkikis. Hal itu
benar-benar membuat aku dan istriku semakin ketakutan.
Dan pada akhirnya, sehari kemudian kudengar
khabar bahwa Mang Sarwan rela menjual tanah dan rumahnya!
“Lho, Mang Sarwan mau pindah ke mana? Kalau
Mang Sarwan menjual, bagaimana nasib saya dan anak istri saya?”
“Habis mau bagaimana lagi, Ma’un! Gue ngeri anak-anak gue celaka!”
“Emang Tanah Mang Sarwan dihargain berapa?”
“Naik sedikit dari harga kemaren. Enam Puluh
Ribu permeternya! Ya sudah, Mang Sarwan
jual saja! Mang Sarwan mau pindah ke
Gunung Sindur saja!”
“Sudah dapat tanah penggantinya?”
“Kebetulan Mang Sarwan punya saudara di
sana. Jadi untuk sementara menumpang
dulu!”
Setelah tanah Mang Sarwan dijual, rumah
gubuknya yang memang sudah reot seperti rumahku, luluh lantah digaruk bul
dozer. Dan akhirnya aku dan anak istriku sudah bisa melihat rumah-rumah yang
berada di bawahnya dengan gamblang.
“Bagaimana Bang Maun, Mang Sarwan sudah
pindah. Kita tinggal sembilan rumah. Apa
kita juga harus pindah?” tanya Bang Romlih, setelah rumah Mang Sarwan telah
rata dengan tanah.
“Bagaimana, ya? Saya juga bingung. Kalau proyek menggali
tanah bekas rumah Mang Sarwan, berarti tanah galian itu berbatasan dengan rumah
saya! Saya juga ngeri!”
“Begini saja Bang. Saya denger proyek udah
mulai bergerak lagi. Abang bisa lihat kan, pembangunan taman di depan gerbang
kompleks? Menurut si Jamal, yang jadi satpam di proyek, sekarang proyek sudah
mulai bangkit lagi. Itu berarti, kita bakal dapet ganti rugi yang lebih baik!”
“Baguslah! Kalau begitu kita datangi lagi
kantor proyek itu!”
Siang itu kami kembali mendatangi kantor
proyek. Kami hendak menanyakan nasib tanah dan rumah gubuk kami.
“Kalau bapak-bapak bersedia menjual enam puluh
ribu permeter, sekarang juga kami akan membayarnya,” ucap seorang pegawai
proyek, ditengah perundingan.
“Apa tidak bisa naik sedikit lagi, pak?” tanya
Bang Samiun, sambil membenarkan letak tudung lakennya.
“Kami hanya mampu membayarnya enam puluh
ribu. Dulu kami tawarkan tujuh puluh
ribu, bapak-bapak tidak mau. Sekarang,
keadaan keuangan kami sedang tidak baik.
Jadi, kami hanya bisa menawarkan dengan harga demikian. Seperti yang tadi saya katakan, kalau
bapak-bapak bersedia, kami akan membayarnya secepatnya!”
Aku dan para tetanggaku hanya bisa menghela
nafas. Pertemuan itu pun tak menemukan
kesepakatan. Akhirnya kami memilih tetap bertahan di tanah rumah kami. Biar saja proyek terus berjalan. Pembangunan terus berlangsung. Kami tetap bertahan di rumah gubuk kami, di
atas rumah-rumah kompleks perumahan yang asri.
Sehari setelah pertemuan itu, tanah bekas rumah
gubuk Mang Sarwan digali bul dozer. Dan
kini tanah galian itu sudah mepet persis di belakang tanah rumah gubukku! Istrikku semakin histeris!
“Bagaimana ini, Pak! Tanah itu sudah mepet di
belakang pagar rumah kita!”
“Sabar bu.
Biar saja mereka gali. Yang penting kita bisa menjaga anak-anak agar
tidak bermain ke belakang!”
“Tapi Pak, kalau hujan bagaimana. Tanah itu bisa longsor! Kita bisa ambruk, Pak!”
Istriku terus saja mengoceh. Aku tetap
bergeming, tak tahu harus bagaimana. Sementara itu kudengar di luar hujan mulai
turun rintik-rintik. Aku beranjak ke belakang rumah. Kulihat segumpal demi
segumpal tanah berguguran ke bawah.***
*)Pamulang, Banten, 2003.
0 comments:
Posting Komentar