Mamat Metro

Mamat Metro

Untuk Siapa Aku Berdandan?


Cerpen  Zaenal Radar T.
Dimuat di Majalah ANEKA Yess!   No. 22. 31 Oktober-13 November 2005 



Di malam minggu yang cerah ini, aku masih menghadap cermin di dalam kamarku.  Sudah lebih dari satu jam aku duduk di depan cermin, mematut wajahku yang teman-temanku bilang, cantik rupawan.  Bibirku yang bagus sudah terpoles lipstik.  Bulu mata yang indah semakin indah dengan ulasan maskara. Pipi yang putih mulus terbalut bedak tipis. Gaun terbaik telah kukenakan.  Semua beres. Tampak indah dan serasi.  Satu pertanyaan belum terjawab, setelah aku  rapih berdandan: Untuk siapa aku berdandan?


gbr: www.kawankunk.info
Ya, untuk siapa aku berdandan?  Pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab setiap kali  aku selesai berdandan. Pertanyaan yang sebenarnya membuatku benci pada diriku sendiri.  Untuk siapa aku berdandan, tetapi masih saja berdandan?

Setahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas satu SMU, aku tak pernah memikirkan apa-apa setelah berdandan. Sebab kala itu aku memiliki seorang kekasih yang sangat menyayangiku. Namanya David, cowok lain sekolah asal Inggris. Dia, cowok bule yang punya nama panjang David Beckham, yang kutemukan di stadion sepak bola Gelora Bung Karno Senayan. Ketika itu kami sama-sama hendak menyaksikan pertandingan sepak bola Liga Indonesia.

David Beckham, yang namanya persis sama dengan nama bintang sepak bola Inggris itu, menyukai olah raga sepak bola. Begitu pula aku, meski cewek, penggemar bola sejati. Ketika menonton di stadion utama Senayan itu seperti biasa aku datang sendirian. Sengaja aku nonton di kelas VIP, biar agak sedikit aman.  Sebab nonton di bangku kelas dua atau tiga, ngeri dengan sesama penonton lain yang suka brutal. Main lempar-lemparan botol minuman, main desak-desakkan saat masuk stadion, dan sebagainya.

Kalau di kelas VIP, suasananya agak nyaman. Masuknya teratur, dan penontonnya lebih tertib. Di situlah aku bertemu dengan David.  Dia pun  kebetulan nonton sendirian. Dia bilang, biasanya dia berangkat dengan teman-temannya, teman satu sekolah yang rata-rata anak-anak pelajar asing maupun anak-anak berkewarganegaraan Indonesia.

Saat pertama kali melihatnya, aku merasa biasa-biasa saja. Tetapi karena David melirikku terus, aku jadi kegeeran. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.  Apalagi ia duduk tak jauh dari kursiku. Sepanjang pertandingan itu aku jadi tidak konsen. Karena sebentar-sebentar aku melirik ke arah David yang kudapati sering melirikku. Dan akhirnya aku dan dia jadi main lirik-lirikkan.

Ada enak nggak enaknya juga nonton bola sambil lirik-lirikkan.  Di satu sisi aku merasa hepi diperhatiin cowok keren. Di sisi lain aku jadi nggak enjoy melihat pertandingan. Malahan, saat gol terjadi, aku ketinggalan sorak.  Sebab pada saat gol terjadi, aku sedang melirik David. Dan ketika para penonton lain sudah sedikit reda dari sorak, aku malah sorak belakangan! 

Saat pertandingan istirahat, David mendekatiku. Aku jadi semakin salah tingkah. Malu-malu tapi mau. Terang aja, dideketin cowok bule, apa nggak jadi mati rasa, tuh!  Baru kali ini aku deket-deketan dengan cowok bule. Apalagi dia agak agresif.  Dia tanya ini itu, nama, sekolah, mengapa suka sepak bola, dan sebaginya.  Bahasa Indonesianya cukup lancar. Semua kujawab dengan lancar pula, dan balik menanyai tentang dirinya.

Setelah pertandingan babak kedua, kami pun duduk saling bersebelahan! Jadi semakin nggak konsen aja deh, aku! Pada akhirnya aku dan David jadi akrab. Saat gol kedua terjadi, kami bersorak bersama-sama. Aku dan dia sempat pegang-pegangan tangan saking semangatnya!

Dan setelah pertandingan selesai, aku dan David pulang bersama-sama. David mengantarku pulang dengan mobilnya. Sebelum pulang, David menawariku makan. Dia senang  kuajak makan di sekitar kaki lima daerah Senayan. Kami makan nasi goreng sambil melepas lelah setelah hampir dua jam berada di dalam stadion yang lumayan penat.

“Aku senang dengan cara kamu berdandan!” puji David, saat kami berada di warung tenda.

“Masak? Aku justru tidak bisa berdandan! Teman-temanku bilang, aku gadis tomboy!”

“Aku senang gadis tomboy!  Tapi kamu tidak terlihat tomboy!”

“Ya, aku memang mulai melepas ketomboyanku! Seperti sekarang ini, kamu lihat sendiri! Aku tidak tomboy, kan?”

“Haha, aku tahu. Sebenarnya kamu tidak suka berdandan, kan? Dan pasti baru kali ini?”

“Kamu benar!  Sebenarnya aku tidak suka berdandan! Papa dan mamaku selalu marah karena aku tidak suka berdandan.  Makanya, akhirnya aku jadi terpaksa berdandan seperti sore ini...”

“Kamu berdandan padahal mau nonton sepak bola! Hahaha!”

“Ya, aku dandan saat mau nonton sepak bola! Tadi papa dan mama senang melihat aku berdandan.  Dan mereka bertanya, kamu dandan sayang?  Mau ke mana?  Lalu kujawab, nonton sepak bola! Hehe, mereka kembali membrengut!”

“Hmm, pasti papa dan mama kamu tidak suka kamu berdandan untuk nonton sepak bola?”

“Yah, mereka suka aku berdandan, tapi tidak suka sepak bola!”

“Hahaha, ternyata kamu nakal, ya.   Aku suka cewek nakal seperti kamu!”

“Eh, jangan sembarangan David! Aku tidak nakal. Aku suka sepak bola, tapi tidak pernah nakal!”

“Setidaknya menurut papa dan mama kamu!”

“Mungkin.”

Sejak saat itu, aku yang sebenarnya tidak suka berdandan, setelah kenal David, aku jadi suka berdandan.  Aku berdandan terutama ketika hendak bertemu dengannya.
*

“Mama ini heran? Waktu mama ajak kamu arisan keluarga, mama tidak melihat kamu berdandan.  Tetapi kalau kamu mau nonton sepak bola, kamu selalu berdandan?!”

“Tahu nih, anak. Kan bisa nonton di rumah melalui teve. Jangan-jangan, karena pemain sepak bolanya tampan-tampan kali, Ma?” seloroh Papi.

“Iya, Pa, Ma!  Sebab Elliza punya temen cowok di stadion Senayan!”

“Temen cowok? Temen sekelas kamu?!”

“Bukan! Dia temen spesial Elliza.  Makanya, Elliza selalu berdandan setiap kali hendak menonton sepak bola! Soalnya, Elliza akan bertemu dengannya!”

“Wah, mulai genit anakmu ini, Pa!  Tapi nggak apa-apa lah.  Asal kamu nggak tomboy! Sekali-sekali, ajak temen kamu itu ke rumah.”

Akhirnya Papa dan Mamaku senang melihat perubahanku. Karena pada akhirnya mereka sering melihatku berdandan. Dan itu disebabkan karena aku dan David sering janjian ketemu di stadion sepak bola. Sebelum bertemu dengannya aku selalu berdandan, mematut-matut diri di depan cermin.
Namun setahun kemudian, setelah David kembali ke negaranya, aku sudah tak lagi bisa bertemu dengannya. Apalagi setelah kuterima khabar, bahwa David telah memiliki seorang kekasih di negerinya!

Bila tadinya aku senang mendengar namanya, kini aku jadi berubah benci! Aku benci pada David, benci abis-abisan!  Dan pada akhirnya, aku benci pada diriku sendiri!

“Sudahlah, Elliza. Kamu mesti bersabar.  Dunia ini luas.  Cowok itu bukan cuma David.  Kamu bisa mendapat cowok yang lebih baik dari David,” nasihat Mama, suatu malam di kamarku.

“Tapi, Ma, apakah semua cowok seperti David? ”

“Tentu tidak, Sayang. Lupakanlah David! Lagipula, kita berbeda dengannya!”

“Tapi Ma, kami sama-sama suka sepak bola!”

“Elliza sayang, tidak sedikit cowok Indonesia yang suka sepak bola!”

“Siapa bilang, Ma! Cowok Indonesia kalau nonton sepak bola selalu tawuran di bangku stadion! Mereka bukan menonton sepak bola, tetapi cuma senang rusuh!”

“Tidak semua, sayang!  Nah, sekarang berdandanlah!”

“Untuk siapa aku berdandan, Ma?”

“Yang jelas bukan untuk David!”
*

Oh, untuk siapa aku berdandan?! 

Dan aku masih duduk di depan cermin kamarku, menatap wajahku yang cantik menawan. Tak bisa disanggah lagi kalau aku memang cantik.  Semua orang setuju kalau aku ini cantik.  Cowok-cowok satu sekolah banyak yang memuji. Tapi sori. Nggak ada yang kuladeni. Aku belum bisa melupakan si David brengsek itu!

Sudah lebih dari satu jam aku menatap wajahku, mematut-matut diri di depan cermin. Akhirnya aku tak perduli untuk siapa aku berdandan. Aku tetap berdandan meski tidak untuk siapa-siapa.  Sore ini aku memutuskan untuk pergi ke suatu tempat.  Entah ke mana yang penting bukan ke mal, bioskop atau kafe. Aku benci ke tempat-tempat seperti itu. Aku tidak mau berdandan untuk orang-orang di tempat yang tak kusukai!

O’ya. Lebih baiknya aku pergi ke stadion utama Senayan.  Aku mau lihat pertandingan sepak bola Liga Indonesia. Sore ini, di malam minggu yang cerah, aku ingin menikmatinya sendirian. Aku tidak berharap terlalu banyak, bertemu cowok seperti David misalnya.

Seandainya aku bertemu dengan seseorang yang memperhatikan aku, seperti David misalnya, aku pikirkan dulu apakah kuterima atau tidak. Sebab meskipun aku sudah habis-habisan berdandan, aku berdandan bukan untuk siapa-siapa kecuali untuk diriku sendiri!

“Mau ke mana sayang?” tanya Mamaku, sambil melirikku dari rambut hingga ujung kaki.

“Mau ke stadion utama Senayan, Ma.”

“Hmm, dandanan kamu cantik sekali!”

“Iya dong, Ma!  Siapa dulu dong, anak mama!”

“Nonton bola kok pake dandan segala!” sela Papa.

“Iya nih, pasti ada apa-apanya? Jangan-jangan David balik lagi ke Indonesia, ya?” tambah Mama.

“Ah, papa-mama mau tahu aja!  Elliza nggak mau ketemu siapa-siapa, kok.  Elliza cuma mau nonton sepak bola...”

“Ya, sudah.  Hati-hati, ya sayang!  Nanti langsung pulang, jangan mampir ke mana-mana dulu!”
*

Di stadion utama Senayan, seperti biasa aku menikmati pertandingan sepak bola.  Hanya saja, kali ini aku sendirian lagi, tidak seperti ketika David masih bersama-sama denganku.

Di tengah-tengah pertandingan, seorang cowok mendekatiku.  Cowok itu lumayan keren. Ia permisi ingin duduk di dekatku. Aku mempersilahkannya karena kursi di sebelahku masih muat untuk satu orang.  Cowok itu tidak hanya duduk dan menyaksikan jalannya pertandingan.  Sesekali ia melirikku.

Dan dalam satu kesempatan, ia menegurku.

“Sendirian nih?  Kok, cewek nonton sendirian?  Malam minggu, lagi?”

Aku diam saja. Kujawab pertanyaannya dengan senyum.

“Kamu manis sekali kalo lagi senyum!  Dan, kayaknya kamu emang manis, deh!  Apalagi dandananmu keren banget!”

Kembali aku tersenyum.  Aku bersikap seramah-ramahnya pada cowok itu.  Setelah itu aku permisi, pindah tempat duduk!

“Maaf, permisi!”

Cowok itu terbengong-bengong ketika aku pindah ke kursi lain! Aku duduk di sebuah kursi dekat penonton lain yang benar-benar menikmati jalannya pertandingan.  Dan aku pun terlarut menyaksikan pertandingan itu, hingga benar-benar melupakan cowok yang tadi menanyaiku.

Namun, tak lama kemudian cowok itu sudah berada di belakangku.  Ah, aku tak perduli.  Karena aku ingin menikmati malam minggu ini sendirian, sambil menikmati jalannya pertandingan sepak bola!

Setelah pertandingan usai, aku segera menghubungi taksi. Aku menuruti pesan mamaku, setelah pertandingan sepak bola selesai, aku harus  langsung pulang!***
*)Pamulang, 2004/2005.
Untuk seorang gadis: Miss Jakmania...
                                                                                 Bravo Persija!!! 
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...