Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Majalah Cerita Kita, Agustus 2006
Dimuat di Majalah Cerita Kita, Agustus 2006
Namaku Agustianingsih.
Tetapi teman-temanku di sekolah memanggilku Agus, meski aku maunya dipanggil
Tia atau Ningsih. Di rumah, aku dipanggil Nining. Itu panggilan kesayanganku.
Aku benci
sekali bila teman-teman di sekolah memanggilku Agus. Sebalnya, semakin aku tak
senang, anak-anak malah sengaja memanggilku Agus!
“Agus! Gimana kalo ntar siang kita ke mall!”
“Gus, elo jadi kapten kesebelasan tim basket kelas kita,
kan?”
“Aduh Agus, gue seneng punya temen kayak lo!”
Kalau sudah begitu, aku cuma memberengut. Kadang aku cuek
bebek bila mereka masih juga memanggilku Agus.
“Agus, kenapa sih lo merengut aja?” tanya Indri, waktu dia
mengajakku ke kantin.
“Dri, aku kan udah bilang ke kamu, aku nggak mau dipanggil
Agus!”
“Lho, itu kan memang nama lo...!? Gue lebih seneng manggil
lo begitu...”
“Tau nih, anak! Emang kenapa sih. Nama Agus kan lebih enak
diucapkan...!” Wulan menambahkan.
“Iya, Gus! Apalah arti sebuah nama... Lagian, nama Agus itu
nama pemberian orang tua lo!” Susan malah membawa-bawa nama ortu.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, sebal pada Indri dan
anak-anak lain yang tak mau menurut kemauanku.
Eh, kalau dipikir-pikir, bener juga kata Susan. Nama itu
kan pemberian ortu ya? Terus, kenapa ya, mereka memberi namaku Agustianingsih?!
Kayaknya aku mesti protes! Apa mereka
tidak tahu nama yang bagus-bagus..?!
Heran deh
aku. Memberi nama kok Agustianingsih! Kenapa tidak Tia Ningsih saja! Atau Apa
kek, asal jangan pake Agus. Nggak sekalian saja Agus Sujarwo!!!
Lihat aja nama sohib-sohib dekatku. Indri, namanya Ayu
Indrianty Kusumadewi. Dia bisa dipanggil dengan sebutan Indri. Seandainya
dipanggil Ayu, Rianty, Kusuma, atau Dewi, ya enak saja disebut. Sama seperti
Indah. Namanya kan Dita Indah Sari. Dia dipanggil Dita, atau Sari, ya teteup
enak diucapkannya. Begitupula Wulan, yang nama panjangnya Wulandari
Pujiastuti. Selain dipanggil Wulan, enak
juga disebut Ndari, Puji, atau Astuti.
Apalagi Susan, yang nama panjangnya Susanti Susilawati! Dia bisa
dipanggul Susan, Santi, Susi, atau Wati!
Kalau aku, Agustianingsih... Selain Tia dan Ningsih, ada
Agus-nya. Nama AGUS itu nama yang di sekolahku lebih dominan untuk nama-nama
cowok. Di kelasku saja ada yang namanya Agus Triadi. Di kelas 1.D, ada Agus
Hermanto. Ketua osis namanya Agus Darmawan. Kepala sekolahku namanya Agus
Sanjaya. Semuanya cowok, booo!!!
Apa mungkin karena aku lahir bulan Agustus, sehingga Papa
dan Mama memberiku nama Agustianingsih?! Ah, Wulan kan lahir bulan September.
Tapi namanya Wulandari Pujiastuti, bukan Sapto!! (Tapi, seandainya memakai nama
bulan, pastilah ortunya memberi nama Septi, ya...)
Sudahlah,
kenapa aku jadi mengungkit-ungkit nama orang lain. Lebih baik kunikmati saja
nasibku, dengan nama yang cukup jantan: Agus! Siaul, kenapa ya, di Jakarta ini
nama Agus identik dengan cowok...?
Tadinya aku mau protes sama ortu, tapi... nggak mau, ah! Biar aja deh.
Mereka di rumah kan udah panggil aku Nining, bukan Agus. Yang penting gimana
caranya agar temen-temen di sekolah nggak memanggilku Agus. Boleh Ningsing,
boleh Tia, atau Tien juga oke. Asal bukan AGUS!!
Kemarin, waktu aku di lapangan basket, aku malu saat
pelatih baruku melotot ketika memanggil namaku. Saat itu latihan basket
dicampur antara anak cowok dan cewek. Pada saat mengabsen namaku, guru olahraga
itu memandangku lama sekali. Guru olahragaku memanggil Agus. Maksudnya mungkin
Agus Triadi. Aku yang sudah terlanjur sering disebut Agus oleh sohib-sohibku
maju ke depan. Akhirnya anak-anak tertawa karena yang maju ada dua orang. Agus
Triadi dan aku, Agustianingsih!
“Oh... kamu Agus
juga yah...?!!” tanya guru olahraga.
Anak-anak mentertawaiku habis-habisan!
***
Meskipun seluruh anak memanggilku Agus, ada satu anak yang
memanggilku Tia. Dia cowok kelas III.IPA. Dia kakak kelas yang jadi anggota
Pecinta Alam. Anggota Pecinta Alam di sekolah tidak banyak. Di kelasku saja,
cuma aku yang jadi anggotanya. Aku sengaja daftar jadi anggota Pecinta Alam,
agar pisah dari sohib-sohibku yang memilih jadi anggota PMR atau Chersleader.
Aku kaget
juga saat cowok itu memanggilku Tia, bukannya Agus. Pada saat mengabsen namaku,
dia memang menyebutku Agustianingsih. Tapi sewaktu aku diminta maju untuk
memperagakan bagaimana cara membuat tali simpul yang benar, dia menyebutku Tia.
“Coba Tia, kamu maju ke depan. Bantu saya untuk
memperagakan bagaimana membuat tali simpul yang benar. Ini penting sekali,
karena sangat berguna ketika kita melakukan pendakian.”
Wuih, aku seneng sekali saat mendengar, “Coba Tia, kamu
maju ke depan!” Bukannya Agus. “Coba Agus, kamu maju ke depan!” Uh, aku pasti
sebel! Apalagi kalau tiba-tiba yang maju
ke depan ada dua orang. Aku dan Agus yang lain, yang tentu laki-laki. Ya, sebab
memang ada anak Pecinta Alam yang namanya Agus. Yaitu Agus Susanto!! Hohoho...
O ya, kakak pembimbing anak kelas tiga yang menyebutku Tia
itu bernama Anto. Setiap kali dia memanggilku dengan sebutan Tia, aku merasa
senang sekali. Dan kukira, Anto sepertinya senang pula memanggilku Tia. Pada
saat mencari-cari ke kelasku, Anto pun menanyakan pada anak-anak, “Apakah Tia
ada??!” Begitu yang diceritakan Wulan, saat menyambut kedatangan Anto di depan
kelasku.
Seiring berjalannya waktu, aku menjadi akrab dengan Anto.
Karena bila sedang BT istirahat di kelas, aku main ke kelasnya, atau janjian di
kantin sekolah. Aku senang bukan main setiap kali Anto menawariku sesuatu.
“Tia, kamu mau makan apa?” Atau, “Tia, ntar siang mau nggak nganter aku ke toko
buku?”
Belakangan, anak-anak pada ribut soal hubunganku dengan
Anto. Aku cuek bebek. Aku memang bukan
cuma senang pada Anto karena ia menyebutku Tia, tetapi karena Anto itu cowok
yang nggak terlalu jelek untuk dijadiin temen spesial.
Sejak sering bersama-sama Anto, aku jadi kembali merasa
menjadi cewek di sekolah. Sebabnya apalagi kalau bukan karena Anto selalu
memanggilku Tia, tidak seperti anak-anak di kelasku. Menurutku, nama Tia lebih
enak didengar ketimbang Agus. Gimana nggak, setiap kali anak-anak memanggilku
Agus, aku selalu terkenang pada ucapan pembawa acara saat upacara bendera. Begini
kata pembawa acara: “Untuk selanjutnya, sambutan dari bapak Kepala Sekolah.
Kepada Bapak Agus kami persilahkan!!!”
Kalau sudah begitu, sohib-sihibku melirik ke arahku sambil tersenyum.
Ugh!!
***
Pada saat liburan sekolah, tim Pecinta Alam mengadakan pendakian
di kaki Gunung Salak. Aku tentu ikut ambil bagian, meski anak cewek cuma aku
satu-satunya. Aku tak perlu khawatir, karena di sana ada Anto. Dan pasti aku
lebih sering mendengar nama Tia disebutkan. Selain itu, anak-anak Pecinta Alam
lainnya lebih sering memanggilku Tia daripada Agus. Mungkin karena di tim
Pecinta Alam semua anak tahunya aku bernama Tia.
Di absen pun namaku Tia, tidak dengan nama Agustianingsih.
Aku yang meminta agar Anto yang menjadi ketua harian Pecinta Alam cukup menuliskan namaku Tia, tidak diberi
embel-embel lainya. Seneng deh dipanggil Tia!!
“Tia, hati-hati. Jalannya licin!”
“Tia, nanti kamu yang masak air, yah...!”
“Aduh Tia, kamu ternyata kuat naik gunung!”
“Tia... sini deh, bantuin gue!”
“Tia, kenalan dong!”
(Ih, udah tau namaku Tia, masih minta kenalan! Hihihi.)
Bila aku ketemu dengan anak pecinta alam dari sekolah lain,
saat kenalan, aku menyebut namaku, “Nama saya Tia!” Kayaknya aku nggak akan sreg bila bilang,
“Namaku Agus!”
Dan suatu malam, saat berada di lokasi perkemahan, Anto
mengajakku ke suatu tempat. Aku dan Anto jalan berdua, lalu duduk di bawah
pohon dengan rembulan sebagai penerangnya. Romantis sekali deh!
“Tia, aku mau ngomong sama kamu...” ucap Anto, saat kami
sudah duduk di bawah pohon yang rindang itu.
“Mau ngomong apa, To...”
“Ee... kamu mau nggak, jadi temen deket saya?”
“Maksudnya?!”
“Eee, kamu mau nggak jadi pacar saya?”
“To, sekarang aja saya udah ngerasa jadi pacar kamu kok...”
kataku malu-malu plus gemetaran.
“Iya sih, tapi nggak resmi kan?”
“Jadi resminya sekarang?!”
“Iya, gimana?!”
Sesaat aku diam.
Anto pun tidak bicara. Keadaan jadi hening. Malam yang sepi menjadi benar-benar senyap.
Hanya terdengar binatang malam yang berada di sekitar hutan.
“Ya, To!” kataku kemudian.
Anto pun tersenyum. Setelah itu aku dan Anto kembali ke
tenda perkemahan. Anto mengantar ke tendaku. Lalu dia kembali ke tendanya.
Ketika aku sudah berada di dalam tenda, seseorang memanggil-manggil.
“Yul! Yuli! Gue tidur duluan, yah!” teriak salah seorang
anak.
“Oke, gantian yah!” jawab seseorang, yang kudengar sebagai
suaranya Anto.
Aku jadi penasaran. Aku keluar tenda lagi. Memastikan
apakah ada anak perempuan, yang tadi dipanggil Yuli. Ternyata tak ada anak
perempuan di luar tenda. Aku pun berteriak.
“Yuli!! Yuliii!!” pekikku, memanggil nama yang tadi
disebut-sebut seorang cowok. Jangan-jangan...ada anak cewek selain aku di
tengah hutan ini? Ketika tengah
mencari-cari seseorang dengan nama Yuli, seorang cowok berlari tergopoh-gopoh
ke arahku. Dia adalah Anto!
“Ada apa, Tia?!” tanya Anto, sambil memandang wajahku dengan tatapan penuh selidik.
Anak-anak lain pun berdatangan ke sekitar tendaku.
“Ng-ng... nggak ada apa-apa...” kataku akhirnya.
“Yul, minta ditemenin kali dia..?” ucap Agung, anak sekelas
Anto.
“Iya, Yul! Elu sih, ditinggalin!” ujar yang lain.
Lho!? Kenapa anak-anak memanggil Anto Yuli?!!
“Nggak, nggak pa-pa kok. Aku baik-baik aja...” ujarku,
membuat anak-anak Pecinta Alam lainnya lega.
***
Paginya, aku, Anto, dan anak-anak Pecinta Alam melanjutkan
perjalanan. Aku masih penasaran kenapa anak-anak semalam memanggil Anto dengan
sebutan Yuli! Kenapa, ya?
“Tia, kok bengong aja...?” Anto mengusik lamunanku.
“Eh, nggak... aku... eee...”
“Kenapa...?! Pasti
soal semalem, ya?”
Aku mengangguk.
“Semalem kenapa, sih?
Kamu ngeliat hantu, ya?”
“Ng-nggak. Aku nggak liat apa-apa. Apalagi hantu. Hantu kan cuma ada di film dan sinetron...!
Hehehe...”
“Hehehe. Lantas?”
“Aku denger ada anak manggil Yuli, kupikir ada anak cewek
yang ikut selain aku...”
“Ooh... gitu ya??
Yuli kan nama aku, Tia!
Hahahaha!”
Anto tertawa.
“Lho, nama kamu kan Anto!”
“Iya, tapi nama panjangnya... Yulianto!”
“Oooh...” aku seperti orang linglung di depan Yuli... aeh,
Anto!***
*)Pamulang 2005/2006.
0 comments:
Posting Komentar