Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat majalah Bobo, Edisi Khusus, No. 1 / 2005
Dimuat majalah Bobo, Edisi Khusus, No. 1 / 2005
gbr: yahya29.heck.in |
Setiap sore, ketika aku
tengah bermain sepeda di taman kompleks, Om Saman selalu duduk-duduk di sebuah
bangku panjang. Awalnya aku tak memperdulikannya. Kupikir Om Saman sama seperti
orang-orang di kompleks, yang sering duduk-duduk di bangku panjang bila sore
datang. Dan aku tetap asyik berputar-putar dengan sepedaku.
Namun
setelah secara diam-diam kuamati, sepertinya mata Om Saman selalu mengikuti ke
mana arah sepedaku pergi. Apa mungkin ia merasa aneh melihat sepedaku yang
besar? Atau, jangan-jangan, Om Saman ingin sekali bermain sepeda sepertiku. Dia
ingin meminjamnya, mencoba sepedaku. Hanya saja, ia malu mengatakannya?
Om Saman adalah seorang
lelaki setengah baya yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Ia belum lama
tinggal di kompleks perumahanku. Menurut Pak Pariman, Om Saman itu adik kandung
istrinya Pak Pariman. Waktu pertama kali bertemu, Pak Pariman memperkenalkan Om
Saman pada tetangga-tetangga. Termasuk pada teman-teman bermainku. Dan semua
anak menyebutnya Om Saman.
“Selamat sore Om Saman!”
sapaku, sambil menghentikan laju sepedaku.
Om Saman tampak kaget, karena sejak tadi sorot matanya tak lepas menatap
sepedaku. Ia seperti tak memperdulikan mataku yang tengah mengamati wajahnya.
“So-so-sore, Di!” Om
Saman gugup.
“Om Saman ingin mencoba
sepedaku?”
“Ee... boleh??”
“Boleh, dong! Nih!”
Om Saman tersenyum
bahagia ketika sepedaku kupinjamkan padanya.
Tetapi setelah stang sepeda itu sudah berada di tangannya, Om Saman
hanya duduk di jok-nya dan tidak pergi ke mana-mana.
“Ayo, Om Saman! Pakai
saja! Sepedaku kan besar. Jangan takut rusak. Ayah juga sering naik sepeda
ini!”
Om Saman hanya
manggut-manggut. Setelah itu ia mencoba melajukan sepedanya. Namun kaki kirinya
masih menginjak tanah. Beberapa saat kemudian, ketika kaki kanannya mencoba
menggenjot pedal, Om Saman tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Dan ia jatuh
tertindih sepeda!
“Om Saman!”
“Aduuh...” Om Saman
memijat-mijat lututnya sambil meringis kesakitan.
“Lho?! Kok jatuh?”
“Maaf, Di... Om Saman
sebenarnya belum bisa naik sepeda...”
“Hah!?? Belum bisa naik sepeda...?!”
Om Saman bangkit sambil
meringis kesakitan. Aku mengambil sepedaku.
“Bagaimana kalau Om
Saman belajar naik sepeda?”
“Kamu mau
mengajarkannya?!”
“Mau dong! Kalau Om Saman setuju,
Adi akan mengajarkan bagaimana caranya naik sepeda. Mulai besok sore, Adi akan
mengajarkan Om Saman naik sepeda,” aku berkata dengan sok sekali pada Om Saman.
Keesokan harinya, aku
menepati janji Om Saman. Aku mengajarinya naik sepeda. Ternyata Om Saman sangat
sulit sekali menjaga keseimbangan. Sementara tubuhku yang lebih kecil tak kuat
menjaga berat badannya. Tidak seperti ketika Ayah mengajariku. Waktu itu Ayah
memegang stang dan jok sepedanya, sehingga aku bisa menjalankan sepeda dengan
bantuan tenaganya. Namun untuk mengajari Om Saman, tentu saja tenagaku tak kuat
menopang stang dan jok sepeda.
“Rasanya Om Saman tak
akan bisa naik sepeda...” keluh Om Saman, ketika tubuhnya sudah jatuh
berkali-kali. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihat wajahnya
yang sedih.
“Jangan khawatir Om.
Coba saja terus. Lama-lama juga bisa!” aku menyemangatinya.
“Kalau aku bisa naik
sepeda, aku berjanji akan membelikanmu sepeda baru!”
“Hah? Yang bener, Om?!”
“Ya, Om janji!”
Aku jadi sangat
bersemangat menemani Om Saman belajar naik sepeda. Sore berikutnya, Om Saman
benar-benar membeli sepeda baru. Ukurannya sama seperti sepeda milikku. Om
Saman belajar naik sepeda dengan sepeda barunya.
“Di, Om Saman sudah
memesan sepeda yang lebih kecil untuk ukuran kamu. Kata penjaga tokonya, sepeda
itu baru ada besok sore!”
“Maksud Om Saman?”
“Kayaknya kamu lebih
pantas memakai sepeda yang ukurannya lebih kecil. Sepedamu itu lebih pas untuk
ukuran ayah atau Om Saman!”
Om Saman benar. Selama
ini aku memang memakai sepeda ukuran Ayah. Karena sepedaku itu sebenarnya
sepeda milik Ayah. Menurut Ayah,
daripada membeli sepeda baru, lebih baik menggunakan sepedanya saja.
“Baik Om Saman.
Sebelumnya terima kasih, ya!”
“Ya, sama-sama Di!
Mudah-mudahan Om Saman bisa cepat bisa naik sepeda!”
“Tapi, Om, kenapa sih Om
Saman tak bisa naik sepeda?”
“Karena sejak kecil Om
tak pernah belajar naik sepeda, Di!”
“Oh, begitu...”
Setelah itu Om Saman
kembali belajar naik sepeda.
Satu bulan kemudian, Om
Saman sudah mahir naik sepeda. Bahkan, aku melihat ia naik sepeda motor.
Katanya, ia memang sengaja belajar
sepeda agar lancar mengemudikan sepeda motor. Om Saman bilang, untuk belajar
naik sepeda motor, tidak memakan waktu lama. Aku jadi ingin belajar naik sepeda
motor.
“Nanti akan Om Saman
ajarkan bagaimana caranya naik sepeda motor!” ucap Om Saman, ketika kuutarakan
keinginanku.
Sayangnya,
Ayah melarangku belajar sepeda motor. Ia bilang, aku masih terlalu kecil naik
sepeda motor sendiri.***
0 comments:
Posting Komentar