Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di majalah BOBO,
No. 50, Tahun XXXI, 18 Maret 2004
gbr: mutualart.com |
Ketika masih di kampung, aku
menggembalakan bebek. Jumlah bebekku
kira-kira seratus lima puluh. Bebek-bebek itu milik ayahku. Aku selalu menghitung jumlahnya setiap kali
mereka masuk kandang. Walau jumlah
mereka cukup banyak dan suaranya sangat berisik, aku tidak kesulitan. Sebab bebek-bebek itu tertiba dan mau antri.
Bebek-bebek yang berjalan di belakang,
tak pernah berpisah dengan yang berjalan di depan. Mereka selalu berjalan
berbaris, tidak saling mendahului atau menyodok yang lain. Namun, ada satu kekurangan mereka. Mereka suka bertelur di sembarang tempat. Aku harus rajin mencari telur-telurnya yang
berserakan di sela-sela rerumputan atau di pematang sawah.
Telur-telur bebek itu berwarna
hijau. Aku suka sekali mengumpulkan
telur-telur bebek itu. Setiap tiga hari sekali, ayah menjual telur-telur bebek
itu ke pasar. Sebagian hasil penjualan
telur-telur bebek itu digunakan untuk biayaku sekolahku.
***
Saat ini aku melanjutkan sekolah di
Jakarta. Aku tinggal bersama paman. Aku
pindah sekolah atas permintaan paman. Sekolahku sangat dekat letaknya dari
rumah paman. Berbeda dengan sekolahku
yang di kampung. Aku harus berjalan sejauh 20 kilo meter untuk sampai di
sekolah.
Ketika tinggal di Jakarta ini, aku
selalu terkenang akan bebek-bebekku
Apalagi setiap kali aku dan paman pergi ke luar dengan mobil paman.
Jalanan di kota Jakarta selalu macet. Dan setiap kali macet, Paman selalu menggerutu, “Kenapa sih
mobil-mobil di depan itu tidak mau antre?
Saling sodok. Jadi macet, deh!
Manusia kok, tidak sabar. Malu sama
bebek! Bebek saja antre!”
Hihihi... aku tersenyum geli mendengar keluhan
paman. Ah, aku jadi rindu pada
bebek-bebekku di kampung. Bebek-bebekku yang selalu berjalan tertib dan
antre.***
0 comments:
Posting Komentar