Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat majalah Bobo, No. 14 Th. XXX 04 Juli 2002
Dimuat majalah Bobo, No. 14 Th. XXX 04 Juli 2002
Gbr. Harry Potter |
Sebenarnya hari minggu ini aku ngantuk sekali.
Semalam aku menemani Kak Arsid nonton Lita Italia sampai pagi. Dan paginya aku tak bisa tidur karena Paman
Endang datang. Berbeda dengan Kak Arsid
yang tidur sampai siang. Aku menemani Paman Endang yang sudah jauh-jauh datang
dari London.
Sorenya ketika Paman Endang pamit ke rumah Kakek,
Ayah, Ibu dan Kak Arsid mengajakku ke bioskop. Aku pura-pura tegar. Padahal rasa kantukku hebat sekali. Tetapi
karena ke bioskop, apa boleh buat. Apalagi kata Paman Endang filmnya
bagus. Paman sudah menontonnya di
London. Film itu memang sangat
dinanti-nanti kami sekeluarga. Ayah telah membeli empat bukunya untuk kami.
Tetapi sekali lagi, terus terang saja aku ngantuk
berat! Sejak mengantre karcis, mataku sudah sulit kukendalikan. Ayah, Ibu, Kak Arsid tentu tidak tahu kalau
aku ngantuk.
Kini kami memasuki bioskop, duduk menghadap
layar. Mataku benar-benar tak berdaya
melihat layar yang tertimpa cahaya proyektor.
Film dimulai. Kantukku tak
tertahan. AC bioskop sungguh sejuk. Dan mataku benar-benar terpejam. Mungkin Kak Arsid, Ibu dan Ayah asyik dengan
film itu. Sehingga lupa kalau aku juga
ikut menonton.
“Kenalkan, aku Harry!” kata bocah itu. Dia bertubuh tidak terlalu besar, bertampang
manis dan berkacamata minus.
“Harry?! Ka... ka... kamu.... Harry!?” aku tak
percaya.
“Ya. Kalau kamu tak percaya, mari ikut aku.”
Lalu Harry membawaku ke tempat sepi. Harry memperlihatkan sebuah sapu. Sapu yang bagus sekali. Langsing berkilat,
dengan gagang dari kayu mahoni. Anyaman di
ujungnya lurus dan rapi, dengan tulisan emas Nimbus Dua Ribu di dekat
puncaknya.
Harry memanggil sapu itu, “Nimbus Dua Ribu!”
Lalu sapu itu terangkat sendiri ke udara,
kira-kira setinggi sadel sepedaku.
“Mari, kita naik bersama-sama!” ajak Harry padaku.
Setengah berani setengah takut, aku menuruti. Kami
naik sapu itu seolah-olah naik sepeda berboncengan. Harry di depan dan aku
memeluknya di belakang.
“Berangkat!!” Harry berteriak, dan sapu itu pun
terbang!
Wwuuuussshhh...!!!”
Mulanya aku deg-degan. Tapi lama-lama jadi asyik sekali.
“Kita ke mana?” tanya Harry kemudian.
“Antar aku ke toko buku,” kataku.
“Ke mana?”
“Di Blok M!”
Atas perintah Harry, sapu itu terbang menuju Blok
M. Tetapi sebelum tiba di Blok M, Harry mengajakku berkeliling-keliling. Kami
meluncur di atas lapangan sepak bola Gelora Bung Karno. Lalu kembali melintasi
atas Plasa Senayan. Dan, dengan kekuatan yang luar biasa, sapu itu berbalik
arah, melesat ke jalan Jendral Sudirman.
Dengan leluasa aku dan Harry memandang bangunan kota Jakarta dari
ketinggian. Beberapa orang yang melihat kami berteriak-teriak, “Ada sapu
terbang! Ada sapu terbang!”
Aku dan Harry hanya melambaikan tangan ke arah
mereka. Beberapa saat kemudian sapu itu melesat di atas bundaran HI. Ciiihuuuuuyyy...!!! Sapu itu menukik, miring
ke kiri, ke kanan, tegak ke atas dan kembali meluncur lurus. Pintar sekali Harry memainkan Nimbus Dua
Ribunya.
Setelah beberapa saat berputar-putar, akhirnya
kami kelelahan. Dan kami memilih
istirahat di Monas. Aku dan Harry menclok tepat di atas Monas! Baru kali ini aku bisa memeluk bongkahan emas
di atas Monas!
“Oh, ya, namaku Markum,” kataku, tersenyum pada
Harry.
Uh, sombong sekali aku, tak memperkenalkan namaku
sejak tadi.
“Gimana, asyik kan naik sapu terbang?”
“Ok’s banget, Har!”
“Tapi sayangnya kita tidak bisa lama-lama di sini.
Karena aku harus kembali ke sekolah Hogwarts.”
“Sekolah Hogwarts?”
“Ya, apa kamu tahu?”
“Tentu saja, Harry!”
“Baiklah.
Kita ke tujuan semula. Ke toko buku di Blok M!”
Kami ke Blok M. Di sepanjang jalan yang kami
lintasi, orang-orang berteriak-teriak, “Harry Potter! Harry Potter! Ada Harry Potter, heeey...!”
Wwwuuuusssshhhh....! Sapu terbang melesat ke udara, melintasi
gedung-gedung pencakar langit Jakarta.
Namun ketika sapu yang membawa kami menukik, tanganku terlepas dari
pegangan. Dan tubuhku tergelincir ke
bawah! Aku menjerit, berteriak
sejadi-jadinya.
“Harry!
Harry Potter! Tolong aku!”
Tubuhku terus saja meluncur ke tanah. Orang-orang yang kebetulan melihatku,
menjerit-jerit ketakutan.
“Toloooooonggg....! Tolong aku, Harry
Potterrrrr!!!”
“Kum!
Markum! Kenapa kamu? Kamu
ketiduran, ya? Hey, ayo bangun! Filmnya sudah habis!”
Tiba-tiba Ayah, Ibu, dan Kak Arsid
membangunkanku. Orang-orang di dalam
bioskop senyum-senyum ke arahku. Aku
mengucek-ucek mata.
“Harry Potternya mana, Bu?” tanyaku.
“Filmnya sudah selesai, sayang.”
Ha? Sudah selesai?
Yaa, aku jadi tidak nonton!
Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku sudah merasakan naik Nimbus
Dua Ribu bersama Harry! Meskipun hanya dalam mimpi.***
0 comments:
Posting Komentar