Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat majalah Bobo, No. 17. Th. XXXIV, 03 Agustus 2006
Aku
suka sekali makan belut. Apalagi belut hasil tangkapanku sendiri!***
Dimuat majalah Bobo, No. 17. Th. XXXIV, 03 Agustus 2006
Photo: www.wrtimimpi-az.com |
Ketika liburan ayah mengajak aku dan ibu
berkunjung ke desa. Kami menginap di rumah paman. Rumah paman terletak di tengah-tengah sawah. Pekerjaan sehari-hari paman adalah bertani. Paman memiliki seorang anak laki-laki.
Namanya Dono.
Dono adalah anak yang rajin. Ia membantu
ayah dan ibunya di sawah sepulang sekolah. Aku senang sekali memiliki saudara
seperti Dono. Pada saat kami menginap, Dono membantu paman mencarikan ikan di
empang. Paman memelihara ikan mas di empangnya.
“Begini caranya...” Dono mengambil jaring,
lalu memasukkannya ke tepi empang. Sebelumnya, Dono memberi makanan ikan,
sehingga ikan-ikan itu menuju tepi.
Ketika jaring diangkat, ikan-ikan mas itu berlompatan dari dalam jaring.
Namun begitu, ada beberapa ekor yang tak bisa melarikan diri.
“Wah, kamu pandai sekali, Don!” puji ayah,
yang sebelumnya tak berhasil menjaring ikan satu pun!
Kemudian ikan-ikan itu dimasukkan ke dalam
ember, lalu dibawa pulang untuk dimasak.
Setiap berkunjung, kami selalu diberi
hidangan istimewa. Nasi, sayur asam, dan pepes ikan mas adalah makanan
kegemaran ayah. Sehingga hidangan itu
tak pernah terlewatkan. Selain itu, paman selalu menangkap beberapa ekor ayam
peliharaan untuk dipotong. Rasa ayam kampung di rumah paman sungguh berbeda
dengan rasa ayam-ayam yang dijual di restoran Jakarta.
Satu hal yang paling kusukai bila berada di
kampung. Selain disuguhi makanan enak-enak, aku senang sekali bila Dono
mengajakku menangkap belut. Cara mendapatkan belut dengan cara dipancing.
Biasanya, belut-belut itu berada di sekitar tegalan sawah. Belut-belut itu
membuat lubang, sehingga kami bisa mengetahui di mana belut berada. Dono sangat
pandai sekali menangkap belut. Ia mengajariku bagaimana cara memancingnya.
Pancing belut hanya menggunakan benang kenur.
Tidak memakai joran seperti halnya kail. Dono sangat pandai sekali
menggunakan benang kenur itu, yang bagian ujungnya diberi mata kail. Mata kail
itu diberi umpan udang atau cacing.
Yang paling menarik adalah sebelum benang
kenur itu dimasukkan ke lubang belut. Biasanya mulut Dono membunyikan suara
aneh, seperti suara cikcak. “Cek... cek... cek...”
Entah apa maksudnya, aku hanya mengikuti
sarannya. Mungkin untuk membangunkan
belut di dalam lubangnya itu? Ah, aku tidak tahu. Ketika kutanyakan, Dono bilang
ia juga tidak tahu. Ia hanya menjalankan apa yang pernah diajarkan ayahnya.
Wah, wah, ternyata paman lah yang mengajari Dono memancing belut.
Suatu hari, ketika aku berlibur ke rumah
paman, aku dan Dono memancing belut. Aku sudah tahu bagaimana cara memancingnya.
“Cek.. cek... cek...” mulutku membunyikan nada seperti suara cikcak tepat di
dekat lubangnya. Setelah itu memasukkan benang kenur yang kailnya sudah kuberi
umpan cacing. Benang itu kutarik-tarik sebentar, lalu kudiamkan. Tak lama
kemudian benang itu ditarik dari dalam lubang. Oh, ternyata belut itu yang
menarik.
Dengan sekuat tenaga, kutarik benang itu.
Tapi tentu dengan sangat hati-hati. Sebab aku sering tak berhasil menarik belut
itu keluar, karena terlalu terburu-buru. Berbeda dengan Dono, yang sudah sangat
mahir menaklukan belut.
Ketika benang itu kutarik, jelas terasa ada
yang menggantung di dalamnya. Aku sempat tarik menarik dengan belut itu. Tak
beberapa lama kemudian, aku pun berhasil menangkap belut itu.
“Horeee...!” Dono berteriak-teriak
kegirangan. Dono sangat senang melihat keberhasilanku memancing belut!
Sayangnya, aku masih belum bisa menangkap
belut itu dengan tangan. Sebab belut itu sangat licin sekali. Belut itu seperti
ada olinya.
Berbeda dengan Dono. Ia pandai sekali
menangkap belut dengan sebelah tangan. Belut itu dicengkeramnya, sehingga tak
bisa berkutik. Akhirnya aku minta diajarkan bagaimana cara menangkap belut
dengan tangan.
Aku jadi ingat perlombaan menangkap belut
yang sering diadakan di lapangan kompleks perumahanku, di Jakarta. Biasanya untuk menyambut hari kemerdekaan
pada bulan Agustus. Anak-anak peserta lomba diperintah memindahkan belut dari
satu ember ke ember yang lain. Uh, andaikata Dono mengikuti perlombaan itu, dia
pasti yang menjadi juara. Sebab, jangankan menangkapnya dengan tangan,
memancingnya pun dia jagonya!
Selain itu, Dono juga bisa memasak belut itu
menjadi santapan yang lezat. Belut itu diberi bumbu yang pelajari dari ibunya.
Setelah itu dibakar di perapian hingga kering. Bila sudah terlihat kering,
belut itu siap disantap seperti kita makan keripik. Krauk...krauk...kraukk!!!
0 comments:
Posting Komentar