Mamat Metro

Mamat Metro

Kuingin Kau Membenciku

Cerpen  Zaenal Radar T.

Dimuat tabloid Keren Beken, Tahun VI, 25 April – 8 Mei 2005

 
photo: newsth.com

       Kurasakan malam semakin pekat. Tampak awan hitam menggulung cakrawala. Melesapkan cahaya rembulan dan bintang gemintang. Angin berhembus perlahan,  membuat sampah plastik tampak berterbangan.
Kuperhatikan para pedagang kaki lima mulai merapihkan dagangannya, berkemas-kemas untuk pulang. Aku berada tak jauh dari mereka, menyandarkan tubuh pada sebuah dinding ruko (rumah toko).  Nafasku turun naik, begitu cepat, seiring degup jantung yang berdetak-detak. Kuremas-remas kepalaku, sesekali membenturkannya ke tembok. Pusing.
Bermaksud menghilangkan penat, aku berjalan menyusuri jalan-jalan di sepanjang ruko-ruko.  Para pedagang makanan, warung-warung tenda, satu-persatu meninggalkan tempat mereka berdagang.  Aku sendiri terus saja berjalan, melangkahkan kakiku tiada tujuan.  Pikiranku kembali teringat pada kejadian tadi sore, ketika Anna menemuiku di tempat aku biasa parkir.
Anna, dengan sedan BMW-nya, menemuiku dengan bermaksud mengajakku jalan-jalan. 
“Cuma nemenin saya, Kum,” bujuk Anna.
“Saya nggak bisa, An.”
“Kenapa?”
“Ee..., ya... nggak bisa...”
“Mesti ada alasannya, dong!”
Nggak bisa... ya nggak bisa aja.”
“Oke deh, gini aja. Sore ini kamu nganter saya, nanti pulangnya kamu saya kasih ongkos, lebih besar dari pendapatan parkir kamu sore ini! Gimana?”
“Anna!!?” aku berteriak, merasa tersinggung pada ucapannya.
“Ma-af, Kum, saya cuma kepingin kita jalan-jalan. Itu aja.”
“Tapi kan bisa di lain waktu!? Nggak harus sekarang kan...!??”
Anna memandangku sesaat, lalu menepiskan tangannya dengan raut wajah marah.
Kalo nggak mau ya udah!!”
Anna membanting pintu sedannya, lalu melajukannya ke luar areal parkir warung tenda yang terletak di sekitar ruko-ruko itu.
“Kum, Markum! Cewek bening begitu kok disia-siakan!” ledek kang Asep, penjual sea food yang tadi memergoki  aku dan Anna.  Aku tak meladeni kang Asep. Menghela nafas sebentar yang terasa sesak, lalu meninggalkan areal parkir.
Sejak kelas dua SMP, aku sudah menjadi tukang parkir.  Menjadi tukang parkir kulakoni demi menyambung hidup diri dan keluargaku.  Membiayai sekolahku, adik-adikku, dan ibuku yang sakit-sakitan.  Saat ini aku kelas tiga SMU.  Dan bangga juga aku, karena aku mampu membiayai sekolahku sendiri.  Dua adikku yang beranjak besar,  mengikuti jejakku menjadi tukang parkir.  Maka, sedikit demi sedikit, pengeluaranku berkurang.  Namun, sejak ibuku mengalami berobat jalan, aku harus lebih giat lagi.  Kalau biasanya aku pulang jam sepuluh malam, kini aku baru kembali jam dua belas.  Kalau biasanya aku mengantungi dua puluh lima ribu, aku bisa mendapat tiga puluh lima sampai lima puluh ribu.  Apalagi bila malam sabtu atau malam minggu, aku bisa mendapat lebih dari itu. Dengan begitu, aku bisa mengatasi biaya pengobatan Ibu. 
Hanya saja, kalau aku pulang malam sementara besoknya masuk sekolah, aku pasti mengantuk di kelas. Tetapi semua rekanku maklum, karena mereka tahu bahwa aku adalah seorang tukang parkir yang pulang larut malam!
Termasuk Anna.  Anna adalah teman sekolahku, hanya berlainan kelas.  Anna tahu kalau aku seorang tukang parkir.  Tapi itu tak menyurutkan dirinya untuk berteman dekat denganku.  Semua anak di kelasku akhirnya tahu kalau Anna suka padaku.  Begitu pula aku, senang memiliki teman wanita secantik dirinya. Hanya saja, aku selalu merasa tak enak hati berdua-duaan dengan Anna, cewek cakep anak orang kaya itu.
Semua teman di sekolahku mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang lumayan tampan.  Selain itu, tubuhku atletis dan berisi.  Aku jago takwondo dan basket.  Di sela-sela kegiatan parkir, aku berlatih main basket di areal parkir.  Untuk latihan taekwondo, aku menyempatkan ikut latihan setiap hari minggu pagi.  Sejak ikut latihan kelas dua SMP, kini aku telah menyandang sabuk hitam dan dua!
Perihal hubunganku dengan Anna sudah menjadi rahasia umum.  Karena akhirnya semua anak di sekolah, guru-guru, para pemilik warung tenda di tempat aku biasa parkir, tahu kalau Anna kekasihku.  Bahkan ibuku pun tahu.  Sebab bukan sekali dua kali Anna datang ke rumahku.  Anna sempat pula mengantar ibuku ke rumah sakit dengan sedannya.
Namun begitu, nampaknya kedua orangtua Anna tak suka Anna berhubungan denganku.  Orangtua Anna mengetahui hubungan putrinya dari Alek, salah satu cowok sekelas Anna.  Alek cukup tampan dan berada.  Hobinya motor sport dan ngetrack di jalan raya. Teman-temanku bilang Alek sudah lama naksir Anna.  Tetapi Anna tak menanggapi.  Malah, Anna pernah mengatakan padaku bahwa ia tidak suka Alek.  Dan Anna bilang, ia sangat mencintaiku.  Ia tak peduli meski aku seorang tukang parkir!
Sebaliknya, akhir-akhir ini, aku yang malah selalu menghindari Anna. Dengan berbagai alasan, aku selalu menolak bila Anna menemuiku di luar sekolah.  Apalagi harus jalan-jalan berduaan, seperti yang diinginkan Anna sore ini.  Hal itu kulakukan karena aku mendapat ancaman dari orangtua Anna, yang  mendampratku di tempat parkir.
Ketika itu aku tengah sibuk memarkir kendaraan seperti biasa.  Tiba-tiba, seseorang dari dalam salah satu mobil yang tengah parkir memanggilku.
“Kamu yang bernama Markum, ya?!” tanya seorang laki-laki berkepala botak  dari dalam mobilnya.
“Kenalkan, saya papinya Anna!  Saya tahu, kamu suka mengganggu putri saya!  Apa kamu tidak pernah ngaca, siapa diri kamu?!  Mulai sekarang, jauhi putri saya!  Kalau tidak, kau akan berurusan dengan polisi!  Nih, kembaliannya ambil!!” bentak laki-laki yang mengaku sebagai orangtua Anna itu, sambil melempar uang dua puluh ribu rupiah padaku. Aku tidak mengambil uang itu. Membiarkan lembaran  bergambar Ki Hajar Dewantara terhempas di aspal.  Temanku Ipen, seorang tukang parkir lainnya, mengambil uang itu lantas mengembalikannya padaku.
“Ambil saja!  Buat anak-anak!” kataku pada Ipen.
Sejak saat itu, aku yang sebenarnya mencintai Anna, berusaha untuk menghindar. Aku tak perduli meski ia selalu mendekatiku.  Aku tak perduli meski ia selalu mengajakku pergi.  Aku tak perduli meski sesungguhnya hatiku begitu berat menolak setiap ajakannya.  Aku tak perduli menolaknya meski sesunguhnya aku begitu mencintainya. Aku tak perduli!  Aku ingin, ia tak mencintaiku!
“Apakah kamu udah nggak suka sama saya lagi, Kum?” tanya Anna siang itu, di kantin sekolah.
“Saya suka kamu, An!” kataku, jujur.
“Lalu, kenapa kamu selalu menolak ajakanku?”
“Belum saatnya, An.”
“Belum saatnya?”
“Ya.”
Anna tidak tahu kalau orangtuanya mendampratku di areal parkir.  Anna tidak pernah tahu kalau orangtuanya sering mengancamku, melalui Alek..  Sebaliknya, aku tidak pernah menceritakan perihal ini.  Aku khawatir Anna akan marah pada orangtuanya bila kuberitahukan hal itu. 
Aku masih berjalan sendirian, menyusuri jalan di penghujung malam.  Hujan tiba-tiba turun, ditandai dengan gemuruh halilintar. Langit akhirnya menangis, seperti ingin berbagi kesedihan.  Aku berteduh di sebuah emperan pasar swalayan.  Duduk di sana, menunggu hujan reda. 
Lima belas menit kemudian aku sudah kembali berjalan, entah ke mana, yang aku sendiri tidak tahu.  Tak peduli malam masih menyisakkan gerimis, aku melangkahkan kaki mengikuti jalan raya dengan hati giris.  Pikiranku kembali pada Anna, gadis cantik yang telah membuat perasaanku gundah gulana.  Ingin kukatakan bahwa sesungguhnya aku mencintainya.  Tapi aku tak mampu.  Bukan  karena aku takut pada orangtuanya.  Tetapi aku menuruti pesan ibuku.  Agar aku tidak terlalu serius berhubungan dengan seorang gadis. 
“Berkawan boleh-boleh saja.  Tapi ada batasnya.  Kau harus lebih banyak berkonsentrasi pada sekolah dan pekerjaanmu!  Ingat, kaulah harapan ibu satu-satunya.  Kau harus lulus sekolah. Kalau kau gigih, kau pasti mampu!  Meskipun cuma tukang parkir, kalau kau sungguh-sungguh, kau pasti bisa, Kum! Sayang, bapakmu harus mati ketika kamu masih sangat membutuhkannya...”
“Bu, ibu jangan berkata begitu.  Biarlah bapak tenang di alamnya.  Markum berjanji akan menuruti pesan ibu,” jawabku waktu itu.
“Maaf ya, Kum.  Ibu harus melarangmu seperti ini.  Apa yang ibu katakan, semuanya demi kemajuan kamu.  Satu hal lagi, Kum.  Tentang Anna. Kalau bisa, sebaiknya kau jangan terlalu serius dengannya.  Dia itu berbeda dengan kita.  Antara kita dan dia itu ibarat langit dan bumi.  Kau harus memperlakukannya dengan baik.  Meskipun ia baik pada kita, jangan sekali-sekali kau berpikir, berandai-andai suatu saat ia jadi pendamping hidupmu. Kecuali jika kau bisa membuktikan, bahwa kau bisa keluar dari kesulitan ini.  Oleh karena itu, berkonsentrasilah pada sekolah dan pekerjaanmu.”
Aku kembali tersadar dari lamunan.  Aku masih berjalan sendirian, menyusuri jalan aspal yang basah. Tak kuhiraukan gerimis yang mulai membasahi tubuhku.  Aku tetap berjalan, menembus kegelapan malam yang gerimis. Dan aku masih tetap tak mampu keluar dari bayang-bayang Anna.  Entah kenapa, sekarang baru kusadari.  Semakin aku berusaha melupakannya, aku semakin rindu padanya.  Semakin kutekadkan diri untuk tidak mencintainya, aku semakin merasa tersiksa.  Apakah harus kukatakan sejujurnya bahwa aku sebenarnya sangat mencintainya, dan selalu kuturuti setiap ajakannya?
Aku tak tahu.  Aku bingung.  Mungkin aku memang laki-laki bodoh.  Dan aku benci pada semua ini!  Ya Tuhan, mengapa nasibku seperti ini?  Mengapa aku tidak seperti teman-teman sekolahku?  Apakah seharusnya aku tak sekolah saja?  Apakah seharusnya aku seperti teman-teman parkirku saja.  Tak perlu susah-susah sekolah, karena sekolah cuma bikin pusing saja?!  Aku sendiri belum tahu, apakah setelah lulus SMU ini aku bisa langsung mendapatkan kerja, meneruskan kuliah, atau  tetap seperti ini, menjadi tukang parkir!?
Menjadi tukang parkir pun tidak jelek-jelek amat.  Tetapi untuk apa aku sekolah, bila tetap menjadi tukang parkir.  Temanku seperti Ipen dan Agus yang tidak sekolah pun bisa jadi tukang parkir!  Ya, Tuhan!  Kalau saja ibu tak menyuruhku sekolah, sudah lama aku berhenti sekolah!  Dan, mengapa Anna harus mencintaiku!?  Sialnya, aku pun tak mampu melupakannya, meski aku berusaha sekuat daya dan upaya.  Aku tak tahu lagi bagaimana cara menghindar darinya.
Seminggu lalu sudah kucoba dengan cara memanas-manasinya dengan cewek lain.  Aku sengaja berjalan dengan Lidya di depannya, dengan maksud memancing kecemburuannya.  Aku pun mengantar Lidya pulang sekolah. Aku berharap ia terpancing.  Aku ingin ia membenciku.  Biar ia tak usah datang-datang lagi menemuiku.  Biar aku bisa melupakan wajahnya.  Biar lambat laun aku bisa menghapus keberadaanya.  Melenyapkan dirinya dari kehidupanku! 
  Tapi, Anna tidak cemburu!  Anna tidak marah aku berjalan dengan Lidya.  Anna tidak marah aku mengantar pulang Lidya.  Ketika itu Anna justru menanyakan secara baik-baik pada Lidya, tentang hubungan Lidya denganku.  Uh, dengan jujur Lidya mengatakan bahwa antara aku dan dirinya tidak ada apa-apa.  Jadi, memang tak ada alasan ia cemburu!
Lalu bagaimana caranya agar ia membenciku? Apakah aku harus berpura-pura, mengatakan padanya bahwa aku membencinya?  Berbohong pada kata hatiku?!
Aku tak mampu melakukannya.  Dan kini, ketika semakin jauh kumelangkah, aku tak tahu bagaimana jalan keluarnya.  Malam semakin larut.  Gerimis tak juga reda.  Aku masih terus saja berjalan tanpa tujuan. Berusaha untuk menenangkan pikiran yang tak kunjung hilang.  Berusaha untuk melupakan Anna sekejap saja yang tak pernah bisa kulakukan.***
*)Pamulang, 2003/2004.
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...