Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat majalah Ummi, No. 05/ XX/ September 2008
Dimuat majalah Ummi, No. 05/ XX/ September 2008
gbr: hamdanhasan.deviantart.com |
Belakangan
ini istri saya rajin sekali menonton acara ceramah di televisi. Saya tentu saja
senang. Karena biasanya dia saya pergoki lebih sering menonton acara sinetron
atau lainnya. Namun begitu, tidak semua acara ceramah agama ditontonnya.
Ternyata istri saya cuma senang melihat ceramah seorang ustadz yang katanya sedang
nge-top, yakni ustadz Beny.
Mendengar
namanya saja, Ustadz Beny, saya agak-agak heran. Biasanya nama ustadz selalu
berbau-bau nama Arab. Misalnya, Kyai Abdullah Gymnastiar. Sekadar menyebut contoh
lainnya; Jefry Al-Bukhori, Yusuf Mansyur, atau Arifin Ilham. Tapi ustadz yang
dimaksud istri saya, Ustadz Beny! Tidak ada nama belakang atau nama depan. Nama
yang pasaran saya kira. Tapi, cukup unik untuk nama seorang ustadz.
Sekali
waktu saya ingin melihat ustadz yang dimaksud istri saya. Sore itu ada acara
langsung yang disiarkan dari masjid terbesar di Jakarta, yang menayangkan ceramah
Ustadz Beny di depan ribuan jamaah, termasuk presiden dan menteri agama. Saya
penasaran ingin melihatnya. Lima belas menit sebelum acara dimulai, dia sudah
sibuk sendiri di depan teve. Sebagai teman menonton, ia siapkan kopi hangat dan
pisang goreng. Menggelar permadani, meletakkan bantal-bantal besar sebagai alas
duduk, dan menyuruh pembantu mengajak anak-anak kami ke ruangan lain. Karena
istri saya tak mau diganggu oleh kebisingan anak-anak. Dan kalau anak-anak
minat ikut nonton, syaratnya tidak boleh berisik.
Di kamar
sudah disediakan televisi lain. Jadi anak-anak boleh menonton di sana
sepuasanya, asal ditemani oleh pembantu. Anak-anak pun tak boleh asal memilih chanel. Pembantu kami sudah diberitahu
mana tontonan yang boleh dilihat dan mana yang dilarang. Demikianlah, kami
tidak pernah menyalahkan stasiun televisi untuk jenis acara apapun yang mereka
tayangkan, tetapi lebih kepada memberi batasan untuk anak-anak kami.
Saat acara siaran
langsung ceramah dimulai, seorang pembawa acara menyebutkan nama Ustadz Beny,
maka di layar televisi muncul ustadz yang dimaksud. Raut wajahnya tampan. Cara
berpakaiannya tidak berbeda dengan ustadz-ustadz muda seperti Jefry Al-Bukhori
atau Ustadz Yusuf Mansyur. Cuma memang cara menyampaikan ceramahnya yang lain
daripada yang lain.
Sepuluh
menit sejak Ustadz Beny bicara, istri saya senyam-senyum sambil
mengangguk-angguk. Saya sendiri tidak terlalu menangkap isi ceramahnya, karena saya
memang tidak terlalu menyimaknya. Pikiran saya terbelah dua. Lebih dominan
memikirkan dan mengingat-ingat, apakah saya mengenali wajah ustadz Beny itu?
Rasanya saya
pernah mengenalnya? Tapi, saya masih ragu, apakah benar ustadz Beny yang tengah
berceramah di televisi ini si Beny Brandal yang pernah senasib dan
sepenanggungan dengan saya dulu? Lebih dari sepuluh tahun saya tak pernah
menghubungi teman-teman lama. Melihat wajah Ustadz Beny di televisi, saya jadi
teringat pada semua teman-teman satu kampus.
Saya pernah
berteman dengan Beny Brandal, yang wajahnya sama persis dengan ustadz Beny yang
saat ini saya lihat di televisi. Saya juga dapat mengenali dari vokal dan
bagiamana dia tertawa. Melihat ustadz Beny, tak ubahnya memandangi Beny Brandal
sahabat saya dulu.
Kenapa
disebut Beny Brandal, karena anaknya memang berjiwa brandalan. Susah diatur.
Suka semaunya. Selalu bikin resah di lingkungan tempat tinggal. Pokoknya yang
jelek-jelek ada pada diri Beny Brandal.
Waktu itu,
dari sekian anak yang tinggal di lingkungan kos-kosan mahasiswa, cuma saya yang
betah hidup satu kamar dengan Beny Brandal. Sebab cuma saya yang bisa mengerti sifat
buruknya. Dan menurut saya, Beny Brandal masih memiliki sifat baik, meskipun
pada saat itu lebih terlihat yang buruk-buruknya.
Lebih dari empat
tahun saya satu kamar kosan dengannya. Dan selama bersamanya itu, saya hadapi
segala peristiwa menyebalkan yang banyak menyita waktu dan pikiran. Karena
kedua orangtuanya jauh di seberang lautan, dan tak memiliki sanak saudara yang
bisa dihubungi, maka sayalah satu-satunya orang yang selalu jadi bahan pengaduan
para korban akan akibat dari perlakuannya.
Seperti
saat Beny Brandal memukul seorang dosen yang dianggapnya menyebalkan, sayalah
yang dibuatnya repot mengurus ini itu supaya ia tak dikeluarkan dari kampus.
Saat dia memukul seorang mahasiswa yang ia anggap merebut pacarnya, sayalah
yang membantunya agar masalahnya tidak melibatkan pihak kepolisian. Sewaktu ia
ketahuan mengembosi mobil kapolsek yang tengah bertugas, sayalah yang
memohon-mohon agar ia tak ditangkap, karena Beny Brandal dalam keadaan mabuk
berat. Dan masih banyak kejadian-kejadian lainnya yang membuat saya harus susah
payah menanganinya.
Jelasnya,
Beny Brandal telah banyak merepotkan hidup saya. Tetapi itu tak membuat retak
pertemanan kami berdua. Dan saya yakin, sayalah satu-satunya orang terdekat
Beny Brandal, hingga akhirnya ia dijemput kedua orangtuanya. Setelah dikeluarkan
universitas karena meludahi seorang rektor, Beny Brandal kabarnya dikirim ke
sebuah pesantren. Tapi saat itu saya tidak benar-benar yakin dia akan betah di
sana.
Bertahun-tahun
kemudian, saya tak ingat lagi di mana Beny Brandal. Saya tak lagi mendengar
beritanya. Saya sibuk menyelesaikan kuliah. Bekerja sebagai wartawan
Mempersunting seorang gadis yang kini jadi istri saya. Mengurus anak. Dan
sampai sekarang ini menjalankan rutinitas hidup seperti orang-orang berkeluarga
lainnya. Hingga akhirnya saya melihat Beny sekarang ini di televisi.
“Bagus kan
Pap, ceramah ustadz Beny...?” usik istri saya, saat acara iklan memotong
ceramah, membuyarkan lamunan saya tentang Beny Brandal. Saya tentu saja
kebingungan. Karena memang tidak menyimak ceramah ustadz Beny yang dimaksud
istri saya. Untung istri saya tak sempat kenal Beny Brandal, yang saya yakini
sudah bergelar ustadz, dan saat ini menjadi ustadz favoritnya.
“Pap, kok
malah bengong...?”
“Eh,
iii...iya mam... lumayanlah ceramahnya...”
“Heeehhh...
kok, lumayan sih? Ceramah bagus gitu dibilang lumayan...? Papi ini gimana sih?
Asal papi tahu saja, ustadz Beny tuh dulunya preman lho Pap. Dia bisa dengan
cermat menyampaikan isi ceramah karena apa yang ia sampaikan pernah ia lakukan,
yang baik-baiknya, maupun yang buruknya sekalipun! Jarang ada kan, penceramah
seperti itu??” cerocos istri saya, membuat keyakinan saya tentang ustadz Beny
dan si Beny Brandal kemungkinan memang ada hubungannya.
“Mam, itu
berarti... ustadz Beny itu dulunya pernah jadi brandalan dong?” pancingku,
sebelum acara iklan di televisi berakhir.
“Iya Pap.
Ustadz Beny itu emang dulunya brandalan! Mami udah baca profilnya di tabloid
gosip!”
“Tabloid
gosip?”
“Ya iyalah!
Emang majalah kantornya papi. Mana mungkin ngebahas gosip...”
“Kok,
ustadz bisa masuk majalah gosip?”
“Kan
ustadznya kayak selebritis gitu, Pap...heheh. Udah deh Pap, ceramahnya mau
mulai lagi tuh!”
Setelah itu
istri saya kembali khusuk mendengarkan ceramah Ustadz Beny. Dan saya tak bisa
tidak, mengikuti acara ceramah tersebut. Sedikitpun saya tidak tertarik,
seperti halnya istri saya. Setiap kali istri saya tersenyum sambil
mengangguk-angguk, saya justru terheran-heran. Saya malah mengingat-ingat
bagaimana si Beny Brandal telah banyak menyusahkan hidup saya saat tinggal
bersama.
***
Di satu
kesempatan, istri dan anak-anak saya ajak mengikuti acara ceramah ustadz Beny secara langsung di sebuah masjid.
Acara yang diliput sebuah stasiun
televisi swasta itu diikuti oleh ribuan jamaah. Diantara kami sekeluarga, istri
saya tentu yang paling senang. Sebab ia akan melihat ustadz favoritnya secara
langsung, tidak melalui televisi seperti biasanya.
Setelah
acara ceramah selesai, saya dan istri bermaksud menemui sang ustadz, meski
harus berebutan dengan jamaah lain yang juga ingin melihat lebih dekat.
Walaupun sekadar bersalaman atau cuma melihat wajahnya dari dekat, nampaknya
istri saya sangat senang sekali.
Tetapi hal
itu tak mudah, seperti yang sudah saya bayangkan sebelumnya. Namun buat saya
hal itu bukanlah sesuatu yang menyulitkan. Saya sudah belasan tahun menjadi
wartawan, yang sebagian besar saya habiskan di lapangan. Dengan pengalaman
mewawancarai nara sumber penting, dengan mudah saya bisa mendekati posisi
ustadz Beny yang tengah sibuk menjawab pertanyaan para wartawan yang tengah meliputnya.
Ketika
sudah berdekatan dengan ustadz Beny, dengan yakin seyakin-yakinnya, saya dapat
memastikan kalau ia adalah Beny Brandal. Sebelumnya, saya sudah menanyai teman
kantor di desk dokumentasi, menanyakan tentang siapa ustadz Beny yang sedang
naik daun ini. Dan ternyata dugaan saya memang tidak meleset.
“Ben!
Beny!” teriak saya, saat ustadz Beny hendak melintas. Entah kenapa, saya tidak
sungkan seperti jamaah kebanyakan. Karena ulah saya itu, seorang lelaki, yang
saya kira salah satu ajudannya, langsung mendekati saya dan menasehati saya.
Ternyata ia sangat geram pada saya, yang ia anggap tidak sopan. Saya menyadari
akan kesalahan saya, dan memilih diam. Tetapi ustadz Beny yang saya panggil
sempat menoleh. Sesaat ia memandangi wajah saya cukup lama, lalu ia tersenyum.
Lalu Ustadz
Beny mendekati saya. “Siapa ya? Apa ana pernah ketemu antum...?” ujarnya. “Mungkin...” kata saya. Lalu Ustadz Beny mengangguk-angguk dan kembali
tersenyum. Beberapa saat kemudian, seseorang sudah memotong komunikasi kami. Ustadz
Beny pun digelandang keluar, apalagi saat para jamaah lainnya datang minta
bersalaman atau berfoto bersama.
Melihat
semua itu, istri saya nampak keheranan. “Papi kenal sama Ustadz Beny...?”
tanyanya. Saya tersenyum sambil merengkuh bahunya keluar masjid, dan bilang,
“Nggak kenal, Mam...”
Saya tidak
kecewa sedikitpun atas kejadian itu. Saya malah bersyukur, karena Beny sekarang
ini bukanlah Beny Brandal yang dulu. “Selamat ya Ben! Semoga Tuhan senantiasa
memberikan hidayah pada umat-Nya yang mau berubah!”***
*)Pamulang,
2006
0 comments:
Posting Komentar