Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat majalah Muslimah, No. 28 Th. III, Ramadhan 1425, November 2004
Dimuat majalah Muslimah, No. 28 Th. III, Ramadhan 1425, November 2004
photo: namakuddn.wordpress.com |
Aku berkawan dekat dengan tiga anak lelaki. Yang pertama bernama Beny. Beny memiliki
kekasih bernama Via. Dan mengaku sudah dua tahun pacaran! Teman keduaku bernama Rully, yang semakin
hari semakin lengket dengan pacar barunya yang bernama Azi. Dan yang terakhir
bernama Ipal, cowok guanteng kayak
sikuteng yang lagi mesra-mesranya dengan sang pujaan hatinya bernama Dala.
Dari ketiga sahabatku itu cuma aku yang tak punya gebetan
alias Jomblo! Yeah, mereka
menyebutku jomblo!
“Udah Zak, tunggu apalagi?!
Tampang lumayan. Ortu kaya. Kendaraan tinggal pakai. Apalagi elu udah punya pekerjaan oke! Cewek
mana sih yang nggak mau sama elu!?”
“Cari aja di mal, Zak! Bejibun!”
“Di bioskop juga banyak!”
“Gue ketemu sama Via di halte busway! Jadi naik busway aja dari Blok M ke terminal Kota, siapa tau elu dapet
cewek!?”
Demikianlah. Ketiga temanku memaksa agar aku cepat-cepat
punya pacar. Tapi tak kuhiraukan! Habis
mau bagaimana? Aku sudah
berkomitmen (cie elaa..!) bahwa aku tak
mau punya pacar lagi!
Lima tahun lalu, aku memang sempat punya seorang pacar.
Kami menjalin kasih sebagaimana ketiga sahabatku tadi. Saling berucap janji,
sehidup semati! Walah,walah! Benar-benar dahsyat!
Kemana-mana kami selalu bersama. Aku selalu mengantarnya ke
kampus. Dan pulangnya ia kujemput. Letak kampus kami berlawanan arah. Tetapi
karena nggak ketemu sekali saja rasanya rindu berat, jadi aku pun mengorbankan
diri untuk selalu meluangkan waktu agar bisa bersama-sama dengannya. Maklum
saja, aku memang tak pernah pacaran sejak SMA. Selain dilarang sama kedua
orangtua, karena aku sendiri tidak terlalu berani dengan yang namanya cewek.
Namun
setelah punya pacar, yang terjadi
kemudian sungguh membuatku merana. Diam-diam, aku melihat dia sering bersama-sama
dengan seorang cowok. Aku panas melihatnya. Tapi aku tak pernah menegurnya.
Kubiarkan saja mereka. Aku tak mau berburuk sangka dulu. Siapa tahu cowok itu
saudaranya. Atau mungkin teman lamanya yang lama tak bertemu.
Dan pada akhirnya, terjadilah apa yang memang seharusnya
terjadi. Aku masih ingat benar. Waktu itu dia minta ditemani makan pizza di
resto sebuah mal. Pada saat itulah dia berterus terang, bahwa antara dia dan
aku tidak ada kecocokan!
Bagai disambar gledek, aku nyaris jatuh dari kursi. Pizza
yang tengah kukunyah serasa pecahan batu kerikil di halaman rumah. Aku tersedak
menahan amarah. Aku tak kuasa berkata-kata. Menerima keputusannya. Keputusan
yang tidak pernah kusangka-sangka. Seharusnya, waktu itu aku yang marah
padanya! Yang terjadi justru dia yang memutuskan hubungan kasih!
Sejak saat itulah, aku benci pada semua wanita (kecuali ibu
dan nenekku). Ketika satu dua cewek mendekatiku, aku pasti selalu menghindar.
Kalau sekadar berteman sih tidak apa-apa. Tetapi bila terlihat kesan dia ingin
dipacari, aku langsung mengelak. Bukan apa-apa. Aku percaya bahwa wanita nggak
boleh diberi harapan. Terkadang kita menganggap dia teman, menganggap dia
sahabat, namun karena ia menangkapnya lain, ia menganggap bahwa aku baik karena
aku suka padanya.
Karena aku dingin dengan semua cewek, tak sedikit
teman-temanku menganggap bahwa aku bencong. Pramuria. Bahkan ada yang
menyebutku gay! Masya Allah!
Dan sekarang, semua sahabatku menyebutku jomblo!
Sesungguhnya, panas juga kuping ini ketika mereka menyebutku
jomblo. Bukan sekali dua kali mereka menyebutku begitu. Setiap kali kami
bertemu, saat mereka bersama dengan pacar masing-masing, kata-kata itu membuat
dadaku terasa sesak.
Bukan apa-apa. Aku kan cowok normal. Aku juga sebenarnya
ingin punya seorang kekasih seperti mereka. Mungkin karena trauma dengan masa
lalu, aku jadi takut berhubungan dengan yang namanya cewek. Dan bukan itu saja.
Ibuku yang akhir-akhir ini sering mengaji pun setuju dengan sikapku. Ia setuju
kalau aku tak perlu punya kekasih. Bahkan kalau aku sudah siap berumah tangga,
ia bersedia mencarikan aku jodoh!
Wah, wah!
Ini tentu luar biasa gawat! Bagaimana kalau ketiga sahabatku tahu aku mau
dijodohin?! Kok, kesannya jadi kayak orang jaman dulu aja..?! Dan sebenarnya
bukan cuma ibuku saja yang ingin menjodohkanku. Ketiga sahabatku pun tak
jera-jeranya memperkenalkan cewek-cewek untukku. Aku tahu maksud mereka.
Barangkali mereka kasihan melihatku bila kami berkumpul. Bayangkan saja. Bila
kami berada di sebuah resto atau pergi ke suatu tempat, semuanya
berpasang-pasangan kecuali aku. Apakah mungkin mereka kasihan melihat
kejombloanku!?
“Elu sebut aja Zak, tipe cewek gimana yang elu mau! Sebut
aja! Nanti gue cariin!”
“Iya, Zak! Sekarang elu sebut, ntar malem gue bawain!”
“Untuk ukuran cowok kayak elu, nggak susah nyari cewek
Zak!!”
Benar-benar sableng mereka! Mereka menganggap mencari cewek
semudah membalik telapak tangan. Uh, bagi mereka itu memang tidak aneh. Sebab
mereka sendiri, sebelum ini, memang sudah sering gonta-ganti pacar! Mungkin yang sekarang mereka jalani ini sudah
yang kesebelas kalinya? Atau keduabelas...?!
Bagi mereka, mengganti cewek seperti mengganti celana kolor aja!
Benar-benar keterlaluan!
Tapi mau bagaimana. Mereka itu teman-temanku.
Sahabat-sahabatku. Selama aku tak terpengaruh dengan gaya hidup mereka, aku
tetap menjalin persahabatan dengan mereka.
Lagipula, selama ini aku tak pernah terbawa arus pergaulan yang kuanggap
diluar batas. Aku cuek bebek meski mereka sering berganti-ganti pacar. Dan aku
tak pernah mau menuruti mereka meski mereka terus mendesakku untuk memiliki
pacar.
Kupikir, ada baiknya juga ngejomblo kayak aku ini. Aku tak
pernah terbebani untuk selalu pergi malam mingguan seperti ketiga sahabatku
itu. Aku terbiasa pergi seorang diri, kemanapun aku suka.
Dan satu hal lagi. Bahwa ternyata apa yang menjadi pilihan
hidupku ini sudah benar adanya. Bahwa memiliki pacar itu tidak selalu membuat
hepi. Terbukti, setiap kali aku dan sahabatku bertemu, selalu saja ada masalah
yang menimpa jalinan hubungan mereka dengan pacar masing-masing.
“Gue heran sama elu Zak! Kayaknya hidup lu tenang-tenang
aja! Enjoy banget! Jangan-jangan nggak punya pacar kayak elu itu lebih asyik
kali?!”
“Iya Zak! Kayaknya elu nggak punya beban! Nggak kayak gue,
yang selalu aja mesti jemput do’i gue tiap hari. Mesti nganter dia ke salon!
Belum lagi kalau udah ngambek!”
“Apa kami mesti ngejomblo juga kayak elu, Zak!?”
Diserang begitu, aku diam saja. Aku nggak mau mempengaruhi
mereka. Kami sudah dewasa. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa apa yang menjadi
pilihanku selama ini tidaklah salah. Selain itu, aku memang bukan orang yang
pandai berkata-kata. Seperti ketika ibuku hendak memperkenalkan aku dengan
seorang gadis anak temannya, aku setuju-setuju saja.
Dan pada saat berkenalan, ternyata... anak gadis yang
hendak dikenalkan denganku itu sangat lumayan. Artinya, dia tidak terlalu jelek
untuk kujadikan istri! Hihihi, aku jadi malu. (Ya Tuhan! Apa semua ini sudah
menjadi rencana-Mu?! Seperti yang seringkali diucapkan ibuku?!)
photo: dream.co.id |
Ketika dipertemukan dengan gadis itu, aku sempat tidak
percaya. Apa mungkin putri dari teman pengajian ibuku ini belum punya kekasih?!
Aku nggak yakin kalau gadis secantik dia masih sendiri. Atau jangan-jangan, dia
belum pernah bertemu dengan ketiga sahabatku yang playboy berat itu...!?
“Apa kamu nggak
punya pacar?!” tanyaku pada gadis itu.
“Pacar...?! Nggak!”
“Kamu nggak pernah pacaran...?!”
“Buat apa?!”
“Pendekatan!”
“Menjadikan pacaran sebagai alasan untuk pendekatan itu
omong kosong. Ada temanku yang berpacaran selama delapan tahun, baru dua tahun
menikah langsung bubar! Dikemanakan saja waktu pacaran mereka!??”
“O’ jadi itu yang jadi alasan kenapa kamu nggak pacaran!”
“Nggak juga! Kalau ada yang bersedia menikahiku, kenapa
nggak pilih dia aja! Kamu sendiri, siapa
pacar kamu sekarang!?” Gadis itu balik bertanya. Aku gelagapan.
“Aku... nggak punya pacar!
Aku... jomblo!”
“Ooo, kita sama dong!”
Kami berdua tertawa. Setelah itu kedua jomblo sepakat
melepas kejombloannya. Antara aku dan dia bukannya berpacaran, tapi langsung
menikah!! Luar biasa!
***
Tibalah saatnya, diam-diam aku dan keluarga menyiapkan
acara pernikahan. Kedua orang tua kami merestui hubungan kami. (Tentu saja,
antara ibuku dan kedua orangtuanya sudah sepakat sejak awal.) Aku yang terkenal
jomblo diantara teman-temanku sebentar lagi akan berstatus sebagai seorang
suami.
“Gimana Zak?! Masih kepingin sendirian!?”
“Apa calon pacar lu perlu kita bawa satu-satu ke rumah
lu?!”
“Jangan-jangan... elu emang udah berubah, Zak! Gue khawatir
elu...”
“Oke, oke... sebentar lagi gue kenalin siapa yang bakal
mendampingi gue!” akhirnya keluar juga kata-kata itu, yang sebenarnya ingin
kurahasiakan.
“Wah, jadi sekarang elu udah punya cewek toh...!?”
“Nggak ngejomblo lagi, doong!?”
“Kayak siapa sih, anaknya...?!”
“Bentar lagi juga kalian tahu. Tunggu aja tanggal
mainnya!!”
Seminggu kemudian kusebarkan undangan. Termasuk kepada
ketiga sahabatku itu. Mereka langsung tercengang membaca undangan itu.
“Gila lu Zak! Nggak salah baca nih..!??”
“Elu mau menikah...?!”
“Ah, becanda kali, luh!??”
Ketiga sahabatku tidak percaya. Mereka menganggap aku cowok tidak waras. Mereka menganggap aku
lelaki gila. Bagaimana mungkin cowok jomblo tiba-tiba saja mau menikah?!
“Gue cuman kepingin membuktikan, bahwa gue sesungguhnya
laki-laki satria dibanding elu semua!
Kalo kalian menyebut gue jomblo, gue terima. Tapi kalian juga mesti
menerima kalau gue sebut pengecut!”
“Lho!? Kok..?!”
“Maksudnya apa, nih?!”
“Kenapa bisa bilang begitu, Zak!???”
Ketiga sahabatku tidak terima. Lalu kukatakan pada mereka,
“Kalau kalian benar-benar lelaki kesatria, segera lamar dan nikahkan cewek
kalian sekarang juga!”
“HAH!!!”
“Gila, luh..!”
“Bujukbuneng!!”
Ketiganya melongo.
“Makanya, jangan suka meremehkan orang. Gue emang jomblo,
tapi itu bukan berarti gue nggak kepingin punya cewek! Dan gue harap elu semua
jangan menganggap cowok ngejomblo kayak gue nggak mampu ngedapetin cewek. Mau
bukti konkrit...?! Tunggu, sebentar lagi dia mau dateng ke sini!”
Ketika mulutku belum sempat terkatup, sebuah sedan berhenti di dekat kami. Seorang
gadis berkerudung keluar, berjalan dengan anggun ke arah kami. Dia, siapa lagi
kalau bukan calon istriku! Aku dan dia memang janjian bertemu hari ini.
Gadis cantik itu mengucapkan salam. Lalu kuperkenalkan
kepada ketiga sahabatku, yang terbengong-bengong melihat paras cewekku... eh,
calon istriku!
Setelah itu kami pamit. Kami akan mempersiapkan upacara
pernikahan kami yang akan digelar secara sederhana di sebuah aula masjid. Aku
tidak tahu apa yang tengah teman-temanku bicarakan setelah kami pergi. Yang
jelas, aku yakin mereka tak mungkin lagi menyebutku jomblo!***
*)Pamulang, 7 April 2004
0 comments:
Posting Komentar