Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di majalah Muslimah, Tahun 1, Februari 2003
Dimuat di majalah Muslimah, Tahun 1, Februari 2003
photo: beautynesia.id |
Nenekku yang cerewet itu meninggal dunia setengah tahun lalu. Kubilang cerewet karena kalau bicara susah
berhenti. Terutama tentang apa-apa saja
yang kukerjakan. Setiap aku di rumah,
ada saja yang ia komentari.
“Perempuan jangan sering kelayapan malam-malam! Tidak baik!” ucapnya, setiap kali aku pulang
larut. Uh, sebal banget aku. Memang sih, dia yang paling sering membukakan
pintu rumah ketimbang mbok Jum, pembantuku.
Heran juga aku, jangan-jangan
nenekku itu sengaja menungguiku untuk akhirnya mengomeliku.
Di lain kesempatan, nenekku bilang, “Cobalah kamu pakai
jilbab seperti nenek. Nenek yakin, kamu
akan kelihatan lebih cantik! Seorang
muslimah seharusnya mengenakkan pakaian tertutup!”
Haha, pakai jilbab!?
Aku ketawa dalam hati. Hhh…
nenekku itu, ada-ada saja. Apa kata teman-teman nongkrongku, bila tiba-tiba aku
pakai jilbab? Nanti dikiranya aku ini
berubah jadi ustadzah, lagi? Sudah
begitu, mana mau si Agus jalan bareng aku, kalau aku pakai jilbab? Mana mau Ipen ngajak aku nonton? Dan jangan-jangan, aku bakalan nggak laku?
“Pakai jilbab itu tidak harus ustadzah!” komentar nenekku
dengan logat khasnya, yang menurutku begitu menyebalkannya.
“Perempuan memakai jilbab itu lebih berharga daripada yang
tidak. Coba kamu bandingkan
barang-barang yang dijual orang, yang dibungkus rapi dengan yang telanjang:
mahal yang mana?! Biasanya, yang tidak
dibungkus rapi itu barang obralan, yang mudah dipegang-pegang orang! Betul, kan?!”
“Kamu jangan takut enggak punya teman atau… enggak
laku. Ingat, perempuan baik-baik akan
mendapat pasangan laki-laki baik-baik pula!
Itu janji Allah!”
“Ya, ampun nek! Nenek pikir Yeni ini perempuan yang enggak
baik apa?!” akhirnya aku protes. Ingin
rasanya melabrak nenek. Tapi aku tahan
sekuat tenaga. Biar bagaimana dia
nenekku. Dan akhirnya kuhiraukan saja
dia.
“Nenek kan cuma pesan.
Kalau kamu terima, itu demi kebaikan kamu, Yen. Karena nenek sayang
kamu,” kata nenek, terdengar samar-samar, karena waktu itu aku menghambur ke
kamarku.
Dan ternyata, setelah kusadari, itulah kata-kata
terakhirnya, setelah akhirnya ia jatuh sakit.
Setelah nenek meninggal, pesan terakhirnya itu terus menempel dan
berdengung berulang-ulang pada dinding ingatanku. Tentang larangan agar aku jangan sering
keluyuran malam-malam. Tentang larangan
bepergian berduaan dengan teman lelaki. Tentang… jilbab! Dan kata-kata terakhirnya, bahwa ia
sesungguhnya menyayangiku.
Apa yang nenek
katakan, bahwa ia sayang aku, ada juga benarnya. Sebab meski ia cerwet padaku, meski bawel
bila tak senang melihat keganjilanku, nenek lah
yang selalu menjadi pelindung bila ayah dan ibu marah padaku. Pernah suatu hari ayah-ibu mendampratku
karena mengetahui aku tak pulang selama dua hari dua malam! Ayah ibu yang kerap tak di rumah karena
sering mengikuti rapat-rapat panjang di perusahaannya itu memarahiku
habis-habisan. Namun saat itu, nenek
justru melindungiku. Dan akhirnya, ayah
dan ibuku juga kena omelannya, karena terlalu sibuk mengurus pekerjaannya
daripada mengurus keluarga!
Setelah nenek meninggal, jelas tak ada orang yang ‘usil’
atas apa yang kulakukan. Ayah atau ibuku, terlebih kakak dan adik-adikku, tak
pernah mau ikut campur. Ayah dan ibuku
orang-orang yang sibuk, yang tak punya banyak waktu buat keluarga. Dan menurutku, ayah-ibuku orang-orang yang
pengertian. Sebab mereka bilang, aku
bebas bergaul. Yang penting tahu
aturan. Mampu menjaga norma-norma dan
etika bergaul. Kakak dan adik-adikku pun
sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hanya saja, adikku yang bontot, sempat over dosis karena kecanduan
narkoba. Dan kedua orangtuaku
mengirimnya ke sebuah pesantren.
Sekarang ini, semua berjalan lancar-lancar saja.
Setelah nenek tiada, aku merasa bebas. Seperti layaknya seorang tahanan yang baru
keluar dari penjara. Karena setelah tak
ada nenek, praktis tak ada orang rumah yang mencampuri urusanku. Bahkan, aku bebas membawa siapa saja ke
rumah. Agus, Ipen, dan teman-teman
lelakiku lainnya. Yang penting, aku bisa
menjaga norma-norma dan etika bergaul!
Seperti pesan ayah dan ibuku yang super sibuk itu!
***
Akhir-akhir ini aku sering merasa tak enak badan. Tubuhku sering lemas dan perut terasa
mual-mual. Tiba-tiba aku ingat
nenek. Kalau saja perempuan tua itu masih
hidup tentu ia yang paling repot. Dia
pasti yang selalu menungguiku, merawatku, menjagaku, dan tentu dengan sedikit
komentar-komentarnya. Seperti
kebiasaannya, ada saja kata-kata yang disampaikannya, pesan-pesan dan
nasehat-nasehatnya. Yah, kadang aku
berpikir, nenek sebenarnya baik. Apalagi
sekarang, setelah ia meninggal dunia, saat aku lemah terbaring begini, aku baru
merasakan begitu kehilangan dirinya.
Karena di rumah ini tak ada orang yang peduli padaku melebihi nenek,
meski ia cerewet.
Baru siang tadi aku ke dokter. Aku ke dokter tidak ditemani nenek lagi,
tentu. Melainkan bersama Ipen, salah
satu teman lelakiku. Dokter mengatakan
bahwa penyakit yang kuderita tak perlu dirisaukan. Beliau bilang, sudah biasa perempuan muda
mengalami penyakit seperti yang kini kurasakan.
Ada ketegangan di wajah Ipen manakala dokter mengatakan,
bahwa tak lama lagi ia akan menjadi seorang ayah! Terlebih-lebih aku! Bagaimana tidak? Karena ternyata Ipen tak mau mengakui bahwa
calon bayi dalam rahimku adalah hasil perbuatannya. Ia malah menuduh, ada laki-laki lain selain
dirinya! Ia beralasan, selama ini ia
selalu memakai ‘pengaman’ setiap berhubungan denganku!
Maka siang itu juga, kuhubungi Agus, teman lelakiku
lainnya. Namun aku gagal
menemukannya. Lalu kuhubungi Jave,
temanku lainnya. Lalu… ah, aku tak berhasil mendapatkan mereka! Tiba-tiba semua teman lelakiku sulit sekali
dihubungi! Mereka seolah lesap ditelan
bumi.
Dan sekarang, aku sendirian. Bayi dalam kandunganku berumur tiga
bulan. Kalau saja ada nenek, tentu aku
sudah habis-habisan dimakinya. Karena
nenek pasti tahu, apa yang tengah aku derita.
Sebab nenekku pensiunan dokter kandungan yang tentu sedikit banyak masih
memiliki kemampuan ‘indera’ kedokterannya.
Aku ingin menggugurkan kandunganku ini. Tapi semua dokter angkat tangan. Menurut mereka, semua sudah terlambat. Kalau aku memaksa, akan membahayakan diriku. Disamping itu, menurut dokter, aku memiliki
fisik yang lemah, yang bisa menyebabkan kematian bila kugugurkan kandunganku
sekarang!
Uh,
tiba-tiba aku ingat nenek! Ingat segala
kecerwetannya, ingat pesan-pesannya, nasehat-nasehatnya, yang selalu ia
lontarkan kepadaku bila aku terlalu bebas bergaul. Sekarang baru kusadari, kalau saja kudengar
pesan-pesan dan nasehatnya, mungkin tidak
begini jadinya. Lantas, bagaimana
sekarang?
Aku tak berani mengatakan pada ayah dan ibu. Pasti mereka kecewa, karena aku tak mampu
menjaga diri atas kebebasan yang diberikannya.
Yang jelas, mereka tentu malu.
Malu memiliki putrinya hamil yang tiada bersuami. Lalu, bagaimana?
Sebentar lagi mereka akan mengetahinya! Karena semakin lama perutku semakin bertambah
besar saja. Pada siapa lagi aku minta
perlindungan, bila ayah ibu tahu keadaanku?
Kalau saja nenek masih ada….***
0 comments:
Posting Komentar