Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat tabloid Keren Beken, Th VI, 12-25 September 2015
Dimuat tabloid Keren Beken, Th VI, 12-25 September 2015
photo.allinfor.ga |
Pagi
ini adalah pagi yang menyebalkan. Sebab Pak Abdul, sopirku, tak bisa mengantarku
ke sekolah seperti biasanya, dengan alasan sakit perut. Papa sedang berada di
luar kota. Mama berangkat siang, karena pagi ini masih banyak urusan rumah. Untuk menunggu taksi yang dipesan
Mamaku rasanya enggak mungkin, karena setelah dihubungi taksi tersebut baru
bisa datang dua jam lagi. Aku mengerti, mungkin seandainya ada, pasti taksi itu
cuma beralasan, tak mau mengantar penumpang yang jaraknya tidak terlalu jauh. Akhirnya
terpaksa, untuk yang pertama kalinya terjadi dalam hidupku, aku ke sekolah naik
angkot alias angkutan kota!
Dari jalan depan rumahku,
Mama menyuruh tukang ojek yang sedang mangkal mengantarku sampai gerbang
perumahan. Aku naik ojek dengan seorang tukang ojek bertampang tengil dan
genit, tapi aromanya lumayan harum; bau parfum aneh. Meskipun begitu, dia tak
bisa membohongi bau badannya yang asem campur asin. Huf, hidungku sangat
sensitif terhadap bau-bauan. Baik bau harum maupun bau tak sedap.
“Tumben neng naik ojek?”
kata si tukang ojek tengil itu, di tengah perjalanan.
“Ya,” kujawab malas-malasan.
“Sekolahnya dimana, sih?”
Ya ampun! Males banget
pagi-pagi ngobrol sama tukang ojek. Aku diam saja. Kalau ditanggapi, aku takut
dia semakin cerewet. Apalagi akhirnya dia tanya begini, “Udah punya pacar belum.
Hehehe...” Aku tetap enggak jawab. Dan si tukang ojek terus saja tertawa. Aku benci sekali. Aku sangsi, apakah dia
sudah sikat gigi hingga begitu PD-nya ketawa di dekat seorang Bunga Citra Lestari...?
“Pasti belum punya pacar
ya...? Hehehe...”
Si tukang ojek mungkin enggak
tau kalau aku sedang cemberut. Uh, kenapa perjalanan dari jalan depan rumah
belum juga sampai ke gerbang perumahan.
“Ngomong-ngomong namanya
siapa sih...?”
Alhmadulillah. Sudah sampai.
Aku enggak mau menjawab pertanyaan si tukang ojek ini. Aku keluarkan uang
pecahan dua puluh ribu. Lalu kuberikan padanya, “Nih bang! Jangan banyak omong
deh!”
“Deuelaah, cakep-cakep kok
galak amat sih! Hehehe... Duh, duitnya besar banget ya...?”
What? Dua puluh ribu... apakah terlalu besar???
“Enggak ada kembaliannya
neng!”
“Nama saya Bunga! Bukan
Neneng!” ralatku, sambil melotot. Si tukang ojek itu bukannya takut, tapi malah
tersenyum.
“Heheh, enggak ada
kembaliannya. Saya tukar dulu ya...”
“Terserah deh Bang!”
Kutunggu si tukang ojek itu
menukarkan uang dua puluh ribuan. Hampir lima menit aku menunggu, ia belum juga
kembali. Namun aku bisa melihat kegigihannya mendatangi para pedagang di
sekitar gerbang perumahan, menukarkan uang itu pada tukang bubur ayam, bubur
kacang ijo, susu kedelai, soto ayam, dan pada teman-temannya sesama tukang
ojek. Setelah itu ia kembali padaku.
“Bunga, enggak ada
kembaliannya... Pakai uang receh aja. Emangnya enggak ada?”
“Berapa sih?”
“Tiga ribu lima ratus!”
Kucari uang pecahan yang
diminta. Dan kutemukan empat lembar ribuan di dalam tas, lalu kuserahkan pada
si tukang ojek menyebalkan itu.
“Nih bang! Makasih ya...”
Kutinggalkan si tukang ojek.
Tetapi ia memanggilku.
“Bunga! Ini kembaliannya...!!”
si tukang ojek itu mengejarku sambil memberikan kembalian uang receh lima ratus
rupiah.
Hmm, jujur juga nih orang.
Andai saja ia jadi pejabat, bukan jadi tukang ojek, pasti negara ini udah maju
meninggalkan Malaysia atau Singapura. Negara kita mendatangkan pekerja
perempuan dari negara-negara tetangga, tidak sebaliknya seperti sekarang ini. Yeah,
Aku baca dikoran, banyak pejabat yang enggak jujur. Tapi, seandainya tukang
ojek yang jujur ini jadi pejabat, jangan-jangan genitnya malah menjadi-jadi?
“Kembaliannya buat abang
aja!” kataku, sambil terus bergegas meninggalkannya.
***
photo.radarkedu.com |
Setelah lepas dari tukang
ojek, kutunggu angkot. Tadi Mama mengingatkan, setelah gagal mendapatkan taksi,
untuk sampai ke sekolah aku harus naik angkot D 15. Dari
pada telat, aku memang harus naik angkot.
Kulambaikan sebelah tanganku
setiap kulihat tulisan D 15 di kaca bagian atas angkot-angkot yang lewat.
Tetapi tak satu pun berhenti. Muatannya selalu penuh. Kalau sudah begini, Pak
Abdul yang kuingat! Kenapa pagi ini sopir pribadiku harus sakit perut, ya!??
Akhirnya, setelah sepuluh
menit menunggu, ada juga angkot D15 yang berhenti. Tetapi, ketika separuh
tubuhku sudah masuk, setelah kulihat ke dalamnya, tak ada tempat duduk kosong.
Seseorang berteriak pada sopir, “Sudah penuh, Bang! Mau ditaruh di mana?!!”
“Naik di depan, dik!!” sopir
itu berteriak. Apa dia bilang? Dik?
Emangnya aku adiknya apa?!! Aku
memaki dalam hati.
Aku kembali turun dan
melongok ke depan, ke arah sopir. Pintu depan terbuka, dan seorang cowok
berseragam sekolah turun. Lalu cowok itu
mempersilahkan aku naik.
“Kamu naik di dalam aja...”
ujar cowok itu. Sekilas kutatap wajahnya. Ia tersenyum dan mengangkat bahunya.
Tadinya aku males banget naik angkot ini.
Apa enaknya naik mobil sempit ini bertiga di depan? Toh, aku tetap naik juga. Dengan alasan,
pertama: karena susah menunggu angkot yang kosong. Kedua, karena cowok super care
di sebelahku keren banget! Ufs...!
Kalau tahu ada cowok keren
kayak dia naik angkot, mungkin sudah setiap hari aku naik angkot. Sumpeh
lho! Selama ini aku enggak pernah liat
tampang cowok seperti cowok di sebelahku ini di sekolah. Atau jangan-jangan,
dia emang lain sekolah?
Aku berharap cowok di
sebelahku ini mau bertanya padaku, seperti tukang ojek genit tadi. Tetapi, cowok ini diam saja. Ia malah membuka
tasnya, lalu mengambil sebuah buku lumayan tebal berwarna coklat. Hilang sudah harapanku untuk bisa mengobrol
dengannya.
Wow, dia membaca novel The
Da Vinci Code... novel kesukaanku!
Ini mungkin kesempatan aku buat tanya-tanya dia. Tapi, apa enaknya kalau
orang lagi baca diajak ngobrol. Apalagi pagi-pagi begini. Duh, jangan-jangan di
mata cowok ini nantinya aku jadi seperti tukang ojek tadi...? Biarin aja deh!
“Kamu suka Dan Brown juga...?”
kataku akhirnya.
Cowok itu mengangguk. Lalu
menoleh ke arahku dan tersenyum, “Kamu suka juga?”
“Suka banget! Aku juga udah
baca Angels and Demons, Robert Langdon’s First Adventure...”
“Ummm... Malaikat dan Iblis ya. Aku
juga udah baca. Dua buku Dan Brown yang
udah ditranslit kan...”
“Kamu beli di toko buku
mana?”
“Aku pinjem sama temenku.
Aku juga udah baca buku-buku Dan Brown lainnya, Kayak Deception Point
dan Digital...”
“Fortress...!”
sambungku.
“Kamu udah tau juga?”
“Tau dong, aku udah beli!”
“Keren-keren ya!”
“Iya...”
“Terminal habis! Terminal
habis!!” tiba-tiba Pak Sopir berteriak-teriak pada seluruh penumpang. Oh,
rupanya sudah sampai di terminal. Enggak kerasa banget deh....
Cowok itu turun, lalu
merogoh saku. Aku membayar dengan uang
pecahan dua puluh ribu. Uang yang tadi enggak ada kembaliannya itu. Setelah
kuberikan ke pak Sopir, Pak Sopir yang tengah menerima ongkos dari penumpang
lainnya bilang, “Uang pas aja ya...!”
“Berapa sih Pak?”
“Seribu!”
Kucari di tas, siapa tahu
ada pecahan seribu rupiah. Ternyata engga ada.
“Aku aja yang bayar!”
tiba-tiba cowok itu memberikan uang dua ribu rupiah pada Pak Sopir angkot.
Setelah itu dia menarik lenganku, meninggalkan angkot itu. Ketika menarik
lenganku, aku seperti tengah bersama-sama dengan cowok yang sudah lama sekali
kukenal.
“Selain baca, kamu suka apa?”
tanya cowok itu, setelah melepaskan lenganku.
“Aku suka... nonton, denger
musik, sesekali jalan ke toko buku... kalau kamu?”
“Kok, hobi kita bisa sama,
ya?” cowok itu tersenyum. Aku cuma bisa menghela nafas. Baru kali ini kutemukan
cowok yang wajah dan kegemarannya kusuka!
“Oke deh, kayaknya kita
mesti pisahan di sini. Aku masih harus
naik sekali lagi,” ujar cowok itu, sambil melambaikan tangan.
“Oke! Sampai ketemu ya...”
“Daag...”
“Daag...”
Aku dan cowok itu berpisah.
Dia naik sebuah bus kota, dan aku cukup berjalan kaki menuju gerbang sekolahku.
Ringan sekali kakiku melangkah. Kalau sudah begini, aku tak lagi sebal bila mengingat
Pak Abdul. Aku justru harus berterima kasih kepadanya. Kalau saja pagi ini ia
enggak sakit perut, aku belum tentu bisa ketemu sama cowok di Angkot D 15 itu!
Apakah aku akan bertemu lagi
dengan cowok itu? Ya ampun, kenapa tadi aku lupa tanya nomor telponnya...?
Selain itu, siapa nama cowok tadi...?!! Kucari-cari bus kota yang tadi ia
tumpangi. Sayangnya, bus itu sudah jauh meninggalkan terminal Damn!!
***
Keesokan harinya aku tak mau
diantar sama Pak Abdul. Aku naik ojek seperti kemarin, dan menunggu angkot yang
sama. Enggak peduli sama tukang ojeknya
yang genit abis. Enggak peduli meskipun angkot D 15 selalu penuh penumpang.
Sayangnya, aku enggak ketemu
sama cowok yang kemarin itu. Tak ada cara lain untuk bisa ketemu sama cowok
itu, aku harus naik angkot D 15 setiap pagi. Terkadang, pulang sekolah pun aku
tak mau dijemput. Pak Abdul kusuruh menunggu di gerbang perumahan, biar aku
terhindar dari si tukang ojek itu.
***
Sudah sebulan lebih aku naik
angkot D 15, tetapi tak pernah bertemu dengan cowok yang pernah satu angkot
denganku. Bukan saja aku punya hutang seribu rupiah padanya. Namun, aku masih ingin banyak ngobrol tentang
banyak hal dengannya. Pasti asyik banget
punya temen cowok yang memiliki kesamaan hobi.
Papa dan Mama menghargai
pilihanku naik angkot ke sekolah, meski sebenarnya mereka agak-agak khawatir.
Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak, apalagi sudah tiga minggu ini Pak Abdul
tak pernah masuk karena sakit.
Sore ini Papa dan Mama
mengajakku menengok Pak Abdul ke rumahnya. Meskupun malas, aku mau ikut. Pak
Abdul sudah kuanggap bagian dari keluargaku. Dia orang yang baik, rajin dan
penyabar.
Setibanya di rumah Pak Abdul
yang sangat sederhana, kami disambut dengan ramah oleh beliau. Pak Abdul masih tampak lemah. Papa dan Mama pernah bilang, Pak Abdul yang sudah tak memiliki
istri ini tidak pernah mau berobat ke rumah sakit. Dan beginilah jadinya.
Penyakitnya jadi lama sembuhnya.
“Sekarang sudah agak lumayan,
Tuan. Saya sudah mulai enak makan.
Mungkin dua hari lagi saya sudah bisa
masuk kerja...”
“Tidak apa-apa, Pak. Barangkali Pak Abdul memang perlu
istirahat. Lagipula, Bunga sudah mulai
suka naik angkot, kok...”
Pak Abdul tersenyum
mendengar pengakuan Papa.
”Ya ampun, saya lupa
menyediakan minuman. Sebentar ya... Sam! Sam...! Minumannya dikeluarkan..! Dari tadi baca terus sih..!” Pak Abdul
berteriak-teriak memanggil seseorang. Tak lama, seorang cowok membawa minuman
dengan sebuah nampan.
“Iya, Pak... ini
minumannya...” ujar cowok itu, sambil melirik ke arahku. Cukup lama kami saling
bertatapan.
“Kamu...” aku
menunjuk-nunjuk ke arahnya, sambil mencoba mengembalikan ingatannya. Siapa tahu
dia lupa sama aku. Aku adalah... cewek yang pernah satu angkot dengannya!
“Kamu... Sophie Neveu... from
The Da Vinci Code, kan?” ujar cowok itu, sambil meletakkan minuman.
“Benar, Robert Langdon... aru you
remember about Angels and Demons...!” aku ikut menyebutkan tokoh cerita dari
salah satu bacaan favorit kami lainnya.
“Kalian sudah saling kenal,
ya?” terka Mama, melihat keakraban kami.
Aku cuma tersenyum
malu-malu. Oh, sore ini aku bahagia sekali. Akhirnya aku bisa bertemu kembali
dengan cowok ini. Aha, yang pasti namanya bukan Robert Langdon, melainkan Sam!***
*)Pamulang, 05/2005
0 comments:
Posting Komentar