Mamat Metro

Mamat Metro

Teror Bom

Cerpen Zaenal Radar T.

Sumber: Majalah KaWanku, No.22/XXXII, 28 Oktober –  3 November 2002


 
Gbr: ambonekspres.com


Untuk ketiga kalinya Pak Charles Sihbudin, bagian Tata Usaha SMU Harapan Bunda, mendapat ancaman dari penelpon gelap.  Penelpon tersebut mengatakan, bahwa pada pukul 9:30 WIB pagi ini SMU Harapan Bunda akan diledakkan!  Terang aja, pak Charles langsung menghubungi Bapak Kepala Sekolah, untuk melaporkan hal ini.
“Apa tuntutan mereka?” selidik bapak Kepala Sekolah.
“Mereka nggak pernah menjawab ketika hal itu saya tanyakan.  Setelah mengancam, mereka langsung membanting telponnya!” cerita pak Charles Sihbudin berapi-api.
“Mungkin orang iseng aja, kali?”  cetus Pak Kepsek, enteng.
“Ya ampun, pak!  Kalo bapak enggak percaya, bapak bisa dengar rekaman suara penelpon gelap itu!”
Lalu Pak Charles memanggil Tia.  Sebab Tia yang merekam suara penelpon gelap itu.  Kebetulan Tia reporter majalah sekolah, yang ke mana-mana always bawa tape recorder mini.
“Coba Tia, bapak Kepsek ingin mendengar rekaman penelpon itu!” perintah pak Charles.  Tia pun menurut, menghidupkan tape-nya.
“… pagi ini SMU Harapan Bunda akan kami ledakkan!  Kami telah menyimpan beberapa bom di salah satu sudut kelas.  Ingat, pukul 9:30 pagi ini!”
“Pak Charles!  Segera umumkan, kosongkan seluruh kelas sekarang juga!!!” teriak pak Kepsek kemudian.
Belum satu menit, seisi sekolah sudah berubah gaduh.  Gimana nggak?  Sebab Pak Charles dengan polosnya mengumumkan lewat speaker: “KAMI HARAP SELURUH SISWA-SISWI  SEGERA MENGOSONGKAN KELAS MASING-MASING.  KARENA ADA BOM!!!”
“Ih, pak Charles ini gimana, seeh!?” Tia protes.
“Habis gimana, dong?” sungut pak Charles, masih dalam posisi megangin mike.
“Bilang, kek. Ada sesuatu.  Biar gak panik begini!!”
“ALAA, NANTI BOMNYA KEBURU MELEDAK!!!” ups! Pak Charles nggak sengaja mengucapkan kata-kata itu masih di depan mike!  Tia langsung merebut mike itu, kemudian menekan tombol off.
“Maksudnya, jangan terlalu vulgar!”
“Eh, non, liat! Liat! Udah jam berapa sekarang!?”
Tia melihat jam di pergelangan tangannya.  Jam 9:15.  Berarti, cuma sisa waktu 15 menit lagi, bila apa yang dikatakan penelpon gelap itu benar: Bom akan meledak pada pukul 9:30 WIB!
Beberapa menit kemudian Tim Gegana dari kesatuan Polri tiba.  Suara sirenenya makin  bikin panik para penghuni SMU Harapan Bunda, yang siswa-siswinya terdiri dari anak-anak manca negara.

Photo: iberita.com
Tia, yang sejak tadi bersama pak Charles dan pak Kepsek, tiba-tiba ingat Pierre.  Tia enggan membayangkan gimana nasib Pierre nantinya.  Pasti ortu Pierre yang udah lebih dulu ngacir ke negaranya, Prancis, semakin punya alasan kuat untuk menarik Pierre pulang ke negaranya.  Dan kalo Pierre sampe nurut ‘pulang kampung’?  Uh, Tiara bakal sedih karena ditinggal cowok tercintanya!
Beberapa waktu lalu kedua ortu Pierre balik ke negaranya dengan alasan Indonesia udah gak aman lagi buat dihuni.  Jelasnya, papi Pierre yang ekspatriat itu memilih balik ke negaranya dengan alasan keamanan.  Tapi Pierre sendiri gak mau ikut lantaran enggan menelantarkan sekolah.  Selain itu, apalagi kalo bukan demi yayangnya, Tia.  Untung aja Papi-Maminya menyetujui Pierre menetap untuk beberapa waktu lagi di Indonesia.  Hingga sekolahnya usai.  Tapi kata Papi-Maminya, kalo keamanan di Indonesia yang belakangan ini mereka anggap nggak aman semakin bertambah nggak aman, Pierre kudu secepatnya cabut, tanpa alasan apapun!
Dan sekarang, kalo Papi-Mami Pierre tahu bahwa di sekolah SMU Harapan Bunda di mana Pierre bersekolah ini ada teror bom? Hhhh… pasti mereka bakalan ketar-ketir. Mengharuskan Pierre cabut dari Indonesia detik ini juga!  Oh, betapa sedihnya Tia!!
Tapi, di mana ya Pierre sekarang?  Jangan-jangan do’i lagi ngumpet di gorong-gorong got?  Uh, Tia jadi nggak konsen sama tugasnya membantu pak Kepsek dan pak Charles, menerangakan rekaman tape-nya pada pak Komandan Polisi tentang teror bom dari penelpon tak dikenal itu.  Rasanya Tia pingin selekasnya menemui Pierre, biar perasaannya tenang.
Atau jangan-jangan, Pierre malah udah berada di bandara, meninggalkan Indonesia dan dirinya?
“Tia!”  tiba-tiba sosok cowok bule bermata biru memanggil Tia.  Tubuhnya penuh keringat dengan nafas ngos-ngosan.  Tapi cowok bule itu sedikit keliatan tenang setelah melihat Tia.
“Pierre?” Tia terperangah menyambut kedatangan Pierre di ruang kepala sekolah itu.
“Saya cari-cari kamu… sampe ke got-got…” ucap Pierre, dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar.  Terang aja, meski lahir di Paris, Piere dibesarkan di Jakarta!
Tia bernafas lega setelah melihat Pierre. Dan mendadak Tia ingat pada sohib-sohibnya yang lain.  Claudia yang asal Jerman.  Paula asal Amrik. Dan Nicole yang asli Australi.  Di mana ya mereka, pagi ini?
“Tadi temen-temen kamu cari kamu.  Mereka baru saja pulang” kata Pierre, masih si depan pintu ruang kepala sekolah
“Kok, kamu tau saya ada di sini?” selidik Tia.
“Barusan saya ketemu pak Charles.  Dia yang bilang kamu ada di ruang pak Kepsek ini.”
Tak lama kemudian pak Kepsek dan pak Charles memasuki ruang kepala sekolah, bersama dua orang berseragam polisi.  Sementara itu, di luar sudah ramai oleh siswa-siswi dan guru-guru yang berkerumun menyaksikan kedatangan tim penjinak bom dari kesatuan Gegana Polri. Tiga anjing pelacak mengendus-endus ke sudut-sudut sekolah.  Setiap kelas diperiksa dengan teliti.
“Kita pulang sekarang aja, Re?” ajak Tia, setelah menerangkan perihal rekaman penelpon gelap itu pada bapak-bapak polisi.
“Nanti saja, Tia.  Saya ingin tahu, apakah bom itu benar-benar ada atau tidak,” usul Pierre.
“Kalo ada, gimana? Kalo bom itu meledak, gimana!?” Tia jadi senewen pada Pierre.
“Kalo bom itu benar-benar ada dan… meledak, pasti kita bakal mati sama-sama.  Saya mau mati, asal bersama kamu…”
“Re!!  Keadaan genting begini kamu masih sempet ngerayu saya, ya!”  Tia menjawil lengan Pierre.  Pierre menangkap tangan mungil Tia.  Untuk kemudian, sesaat mereka saling tatap.
“Saya nggak akan ninggalin kamu, Tia…  Kecuali kamu benar-benar aman…” bisik Pierre.
“Ehm!!!” pak Charles berdehem, saat melintasi Pierre dan Tia.
“Pak Charles!” panggil Tia, sok mengalihkan perhatian.  “Gimana bomnya?!”
“Mungkin cuma orang iseng, kali?” jawab pak Charles enteng, seraya menjauh dari koridor  ruang  bapak Kepala Sekolah.
Apa yang diucapkan pak Charles memang benar adanya.  Sebab tak lama kemudian tim penjinak bom yang pake seragam mirip astronot itu menemui komandannya. Mereka melaporkan, bahwa  lingkungan SMU Harapan Bunda aman dari bom!  Dan nyatanya, udah jam 9:35, nggak kedengeran ledakkan bom seperti yang dikatakan penelpon gelap itu.
Tetapi tiba-tiba mang Domo berteriak-teriak di depan bapak Kepsek.  Mang Domo si petugas kebersihan sekolah itu bilang bahwa ia menemukan sebuah bungkusan yang mencurigakan di samping kantin sekolah.  Jelas aja, tim penjinak bom segera menghambur ke lokasi yang dimaksud mang Domo!
Bapak Kepala sekolah, pak Charles, beberapa guru, dan siswa-siswi SMU Harapan Bunda, termasuk Tia dan Pierre, menunggu dengan was-was.  Beberapa menit kemudian tim penjinak bom sudah kembali sambil membawa sebuah bungkusan kantung plastik besar warna hitam.  Semua orang menyingkir, dan merasa penasaran tentang jenis bom apa gerangan yang terdapat di dalam kantung plastik tersebut.
Kantung plastik itu dibuka setelah dimasukkan ke dalam sebuah box anti bom milik tim penjinak bom.  Seandainya meledak, resikonya tidak separah ketika meledak di luar box penjinak bom itu.  Dan setelah dibuka, semua orang kecewa.  Tim penjinak bom bilang, bungkusan plastik hitam itu berisi sampah! Hihihi….
* * *

Setelah mendengar berita teror bom di SMU Harapan Bunda, Papi-Mami Pierre langsung menelpon Pierre.  Apalagi kalo bukan perintah agar Pierre secepatnya cabut meninggalkan Indonesia!  Beberapa anak berkebangsaan asing lainnya udah lebih dulu ‘pulang kampung’ ke negara mereka masing-masing.  Termasuk ketiga sohib lengket Tia:  Claudia, Paula, dan Nicole.  Uh, Tia sedih banget!
“Kenapa seeh keadaan jadi begini?” tanya Tia pada Papinya, yang seorang manajer entertainer.
“Papi juga bingung, kenapa keadaan balik nggak aman begini?  Papi sendiri juga rugi berat, Tia.  Semua grup musik yang bakal manggung pada membatalkan kontrak mereka, dengan alasan keamanan!” kata Papi Tia, nggak kalah sedih.
“Pap, kalo begini terus, mending kita ke luar Indonesia aja, yuk…?” ucap Tia, asal.
“Kita mau  ke mana?  Ke Perancis, ikut Pierre-mu itu?  Nggak mungkin!  Apalagi Papi nggak punya persiapan untuk menetap di negeri orang.  Jadi, kita nggak bisa kabur ke mana-mana.  Paling jauh kita kabur ke Banten, ke rumah eyang kamu?  Hihihi…”
“Paap!!  Tia serius, tau?!”
“Papi juga serius! Eh, Ti, kalo eyang kamu asli Perancis, papi udah lama ngajak kamu kabur ke sana!!”
“Hihi…” kali ini Tia yang ngikik.  Lalu, “Papi pinter juga...”   Tia berhenti sebentar, ”Tapi pinter mengkhayal! Hihihi…”
 Lalu keduanya saling ngikik di tengah kesedihan.  Ketawa ngikik di tengah kesedihan?  Hihihi, kok bisa ya?  Hihihi… (eh, kok malah keterusan hihihi, seeh!!!)
***

Siang ini Tia mengantar Pierre ke bandara.  Nggak bisa nggak, ortu Pierre ngotot menyuruh Pierre pulang.  Soal sekolah Pierre yang tinggal setahun lagi, itu urusan belakang. Yang jelas, demi keselamatan, Pierre harus segera angkat kaki dari bumi Indonesia!
Tentu saja yang paling sedih adalah Tia!  Setelah kehilangan ketiga sohib kentalnya, kini Tia harus berpisah dengan cowok pujaannya!  Rasanya Tia kepingin nangiiis aja.  Dan itu belum cukup. Sebab ia paham, nangis nggak bakalan merubah keadaan. Tia hanya ingin, keadaan menjadi benar-benar aman.  Biar dia bisa turut meyakinkan ortu Pierre, bahwa Pierre akan aman menetap di Indonesia.
“Saya pasti akan merasa kesepian,” keluh Tia, saat masih di dalam taksi menuju bandara.  Pierre gak komentar.  Tia memahami akan keterdiaman Pierre.  Tia yakin,  Pierre pasti punya perasaan yang sama dengannya.
Namun saat taksi memasuki kawasan bandara, Pierre angkat bicara.  Pierre bilang pada sopir taksi, “Pak, tolong kita kembali lagi…”
Pak sopir kebingungan.
“Ada yang ketinggalan?” tanya Tia, heran.
“”Nggak!”
“Lalu?”
“Saya berat ninggalin kamu.  Saya jadi ngerasa nggak fair. Saya nggak mau meninggalkan orang yang saya cintai bila ia nggak aman!”
“Maksud kamu?”
“Saya baru mau pulang bila keadaan di sini sudah benar-benar aman!”
“Tapi Re, Papi-Mami kamu?”
“Ah, mereka pikir saya ini anak kecil, apa?  Saya sudah besar sekarang.  Dan saya besar di negeri ini.  Aman atau tidak aman, saya akan tetap di sini!  Setidak-tidaknya, sampai sekolah saya selesai!”
“Pierre?” Tia terpekik, seolah gak percaya Pierre berkata begitu.  Kemudian merangkul Pierre dengan hangat yang dibalas Pierre dengan penuh kasih sayang.
“Eh, Den, Non, kita ke mana, nih!?”  teriak sopir taksi, agak ketus.
Pierre dan Tia kaget.  Lalu keduanya ketawa geli.
“Ke Kemang lagi, pak!” ujar Pierre, tegas.***
                                                                                                                  *) Jakarta, Indonesia, 28/10/2002
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...