Cerpen : Zaenal Radar T.
Sumber: Majalah ANEKA Yess! No. 11, 30 Mei – 12 Juni 2005
Sumber: Majalah ANEKA Yess! No. 11, 30 Mei – 12 Juni 2005
Gbr: www.vavermunki.co.uk |
Beberapa anak kelas tiga
yang sebentar lagi berpisah bakal menggelar Prom Night. Rencananya mereka menyewa ball room
sebuah hotel di pusat kota. Acara sudah
disusun sedemikian rupa. Dengan maksud,
biar acaranya benar-benar menjadi
kenangan indah yang tak terlupakan sepanjang masa. Seorang DJ Top telah
dihubungi, berikut beberapa penyanyi terkenal sebagai pengisi acara. Pokoknya, top mampus deh!
Ajeng, yang jadi ketua
panitia, terlihat paling sibuk. Saat ini
do’i lagi mampir di rumah Dea, membicarakan tentang acara Prom Night itu.
“DJ oke, pengisi acara oke,
susunan acara rapi, terus...” Ajeng berhenti sebentar, lalo... “Apa lagi yang
kurang?” lanjutnya, minta pendapat Dea.
“Tema kostumnya, Jeng! Tema kostumnya!” tukas Dea seraya
menjentikkan jemarinya, sebagaimana seseorang menemukan ide brilian.
“Maksud lo?”
“Pas prom night nanti,
kita-kita mesti pake baju apa?”
“Bener juga, lo. Punya
kebetan nggak?”
“Ada, sih. Kata majalah yang gue baca, ada beberapa
pilihan baju yang bisa kita pake pas prom night nanti. Sweet prom, Glam punk
prom, Vintage prom, atau Eccentric prom?”
“Wah, wah, ribet juga ya...
bisa jelasin satu-satu?” pinta Ajeng.
“Hehe, kayak wartawan aja, lo! Oke deh. Gue jelasin satu-satu, berdasarkan
majalah yang gue baca. Sweet prom itu, model bajunya lebih feminin dan
manis. Seperti warna-warna pastel. Hijau, biru, atau kuning pastel. Sedang
Glam punk prom, mentingin
aksesoris yang keliatan nge-punk. Vintage prom, nah ini yang agak ribet! Kayak pemakaian tile pada roknya dan draperi
atau kerutan-kerutan pada atasannya. Dan
gue rasa, pada saat kita memakai baju seperti ini, kita akan terlihat anggun,
hehe...” Dea ketawa, lalo narik nafas panjang.
“Nah, yang satunya lagi?”
“O, ya. Eksentric prom! Sesuai namanya, eccentric prom, tentu
kita bakal banyak menarik perhatian mata.
Sebab, baju yang kita pake emang nggak standar! Keliatan eksentrik, gitu! Nih, contoh-contohnya bisa lo liat di majalah
gue.”
Kemudian Dea mengeluarkan
majalah dari rak. Keduanya pun sibuk membolak-balik majalah itu, memilih baju
apa yang nantinya bakal mereka kenakan di acara prom night.
“Gimana kalo kita pake tema
sweet prom aja!” usul Ajeng, sambil menunjuk gambar sebuah gaun di majalah yang
dipegangnya.
“Oke banget tuh!”
“Ya udah, kalo elo setuju
gue juga oke! Terus... pas acara nanti, semua pada dateng, kan?”
“Beres! Anak-anak udah setuju semua, kecuali Nira,
yang mungkin nggak bisa dateng.”
“Kenapa?”
“Gue nggak bisa ngejelasin
detilnya. Kayaknya, elo yang mesti
ngebujuk dia!”
Hmm, Ajeng pun menghela
nafas. Begitu berat. Kalo sampe ada anak kelas tiga yang nggak
ikut acara prom night nanti, kayaknya nggak sreg! Apalagi Nira, cewek paling jenius dan
terkenal kreatif itu!
“Kenapa ya, Nira nggak mau ikutan?”
tanya Ajeng akhirnya, setelah keduanya berdiam-diam.
“Mungkin karena Nira nggak
suka pesta, kali?” tebak Dea.
“Iya juga, sih. Nira kan emang anti party! Tapi, masak pada malam perpisahan nanti dia
nggak mau dateng!”
“Kalo kamu bujuk, mungkin dia
bisa ikutan kali?” usul Dea.
“Oke deh, gue coba.”
Keesokan siang, pas bel
istirahat, Ajeng nyari-nyari Nira di tempat Nira biasa mangkal; perpustakaan
sekolah.
“Nira, saya mau ngomong,
bisa?” ucap Ajeng, membuka percakapan.
Nira yang lagi asyik ngebet-ngebet
sebuah buku cukup tebal, memberikan perhatian pada Ajeng. “Ada apa?” tanyanya, terdengar begitu resmi.
“Begini, Ra,” Ajeng sedikit
nervous, harus bagaimana menjelaskannya.
“Ee..., mungkin kamu udah tau kalo saya dan temen-temen mo ngadain prom
night. Semua anak setuju dan bersedia
ikutan. Saya denger-denger, cuma kamu
yang gak mau ikut. Bener nggak, sih?”
ucap Ajeng akhirnya.
“Ya. Terus, kenapa?” Nira balik tanya.
“Begini Ra. Maunya saya,
semua anak kelas tiga bisa ikutan semua.” Ucap Ajeng, dengan nada penuh harap.
Lalu Ajeng menatap wajah Nira yang tenang, seolah tidak memiliki rasa bersalah.
“Saya nggak bisa, Jeng!”
Ajeng menarik nafas
dalam-dalam. Memperlihatkan kekecewaannya.
“Boleh tau nggak, kenapa
kamu nggak bisa?”
“Masalahnya saya nggak suka
sama format acara itu. Dari namanya aja,
prom night! Saya yakin, kalian cuma tahu
namanya saja, prom night. Coba kalau
kalian bikin dengan tema ‘acara malam perpisahan kelas tiga’, misalnya, ada
kemungkinan saya bakal dateng!” jawab Nira, sedikit antusias.
“Alasan kamu nggak ngena,
deh Ra,” celetuk Ajeng.
“Oke deh, kita bahas dulu,
apa itu prom night. Asal kamu tau,
sebenernya prom night itu kan acaranya
para ortu. Tradisi prom night menurut buku Prom Night karangan Amy Best,
dimulai sejak awal abad ke-20. Tepatnya
kira-kira tahun 1920, di beberapa kota di Amrik. Terutama di kota-kota industri yang
masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai buruh-buruh pabrik. Nah, Prom ini dibuat oleh masyarakat setempat
sebagai ajang mempertemukan cewek dan cowok yang beranjak dewasa atau
remaja. Bisa dibilang, sebagai momen
para ortu memperkenalkan anak-anaknya.
Kalau mau contoh bentuk awal Prom, cek deh film The Deer Hunter. Nah,
itulah alasanku kenapa aku nggak mau ikutan...!” ucap Nira, dengan gaya seperti
seorang guru menerangkan pelajaran sejarah.
“Wah, kamu emang banyak tahu
tentang segala hal, Ra. Pantes kalo kamu
dinobatkan jadi murid paling oke di sekolah ini. Tapi, apa yang kamu kemukakan tadi nggak bisa
dijadikan alasan kenapa kamu nggak bisa ikutan,” kata Ajeng, dengan bibir
bergetar.
“Saya sudah bisa
membayangkan bagaimana acara yang kamu buat nanti berlangsung! Saya juga tahu bahwa acara kayak gitu emang
udah populer dan dijadiin tradisi oleh muda-mudi di beberapa negara. Satu hal yang perlu kamu tahu dari diri saya,
bahwa saya berbeda dengan kalian! Saya
tidak suka pesta! Dan saya... seandainya
bisa ikutan prom night... tidak punya pasangan seperti kalian...!”
Hmm, sekarang Ajeng
benar-benar mengerti keadaan sesungguhnya.
“Jadi, ketidakikutanmu dalam
acara tersebut bukan karena prom night itu budayanya orang loar negeri, kan?”
selidik Ajeng, manakala Nira terlihat mulai melunak.
Nira terdiam. Keadaan menjadi hening. Belum sempat berkata-kata, bel sekolah
berbunyi tiga kali. Semua anak meninggalkan
ruang perpustakaan. Nira menutup buku
tebalnya, meletakkannya di atas meja.
Ajeng membantu Nira, menaruh buku itu di sebuah rak yang tidak teraih
tangan Nira. Setelah itu, Ajeng
memegangi tubuh Nira yang hendak kembali duduk di kursi rodanya. Tapi Nira menolak dengan halos.
“Maaf, Jeng! Aku bisa sendiri!” elak Nira, sambil berusaha
keras duduk di kursi rodanya. Namun pada
saat itu, kursi rodanya agak oleng.
Sehingga keadaan tubuh Nira yang cacat sejak lahir itu limbung. Untung Ajeng mampu menguasai keadaan.
Memegang erat-erat kursi roda itu, hingga Nira bisa dengan mudah
menggunakannya. Setelah itu, Ajeng
mendorong kursi roda keluar perpustakaan.
Nira memegangi tangan Ajeng, mengelus-elusnya sambil bilang, “Terima
kasih, Jeng.”
Di loar perpustakaan, nampak
Dea dan kawan-kawan yang sejak tadi menunggu, merasa surprise melihat Nira
dan Ajeng yang berjalan mesra. Mereka
menduga-duga, barangkali Nira telah luluh hatinya. Besar kemungkinan doi mau ikutan acara prom
night nanti.
***
Photo: Liputan6.com |
Seminggu sebelum hari H,
beberapa anak kelas tiga yang jadi panitia prom night berkumpul, terutama
membahas masalah Nira. Sebab, mengenai
format acara dan tetek-bengeknya udah oke semua.
“Mudah-mudahan Nira bisa
ikut ambil bagian!” terang Dea, pada anak-anak lainnya.
”Kepinginnya gue, Nira bisa
baca puisi ciptaannya!” sodok Galuh, sambil senyum-senyum.
“Kalo nggak, baca
cerpen-cerpennya juga asyik, tuh!” Cyntia menambahkan.
“Gimana kalo dia nyumbang
satu lagu ciptaannya?” kali ini Meutia yang mengusulkan.
“Gue sih setuju-setuju
aja. Masalahnya, dia bener-bener mau
dateng, nggak?” akhirnya Ajeng komentar, membuat anak-anak kembali jadi
keliatan down.
Sebenarnya,
seandainya Nira tidak ikutan prom night, anak-anak panitia yakin acara itu
meriah. Namun kehadiran Nira di acara
itu sungguh berarti bagi mereka. Semua
anak-anak kelas tiga pun pasti senang melihat Nira bersama-sama mereka.
Nira adalah anak yang pandai
dan serba bisa. Dia seringkali
mengharumkan nama sekolah. Cacat yang dideritanya tidak menghalangi
kreativitasnya. Sehingga, berbagai
pengharagaan, dari soal seni budaya maupun ilmu pengetahuan bisa diraihnya. Nira
yang tidak mampu berdiri itu jagonya bikin puisi. Nira yang sehari-harinya duduk di kursi roda
itu langganan juara nulis cerpen.
Bahkan, dia menjadi salah satu peserta kompetisi fisika
internasional! Itulah sebabnya, sebagian
anak-anak panitia ngotot menghadirkan Nira pada acara itu.
***
“Apakah semua anak mesti
berpasangan?” tanya Nira, pada Ajeng dan anak-anak panitia yang datang ke
rumahnya, yang tak mau berhenti membujuk Nira.
“Nggak harus, Ra. Saya juga sendirian,” ucap Ajeng.
“Jangan begitu, Jeng. Saya nggak mau, gara-gara saya si Adit yang
jadi korban!” tukas Nira, yang tau banget kalo Ajeng dan Adit udah lama
pacaran.
“Kalo perlu, saya juga dateng
sendirian!” ucap Dea tiba-tiba, membuat anak-anak kebingungan.
“Bima mau dikemanakan, Dea!”
kata Nira, sambil senyam-senyum.
“Ya, sudah. Nggak usah
basa-basi. Saya pasti dateng di acara
prom night nanti. Ada atau tidak ada
pasangan. Lagian, saya sudah biasa
sendirian, kok,” ucap Nira akhirnya, membuat Ajeng dan anak-anak nggak percaya.
Mereka tidak menduga kalau akhirnya Nira luluh juga. Barangkali karena hampir
semua anak memaksa Nira untuk hadir di Prom Night?
“Kamu mau dateng, Ra?” Ajeng
melotot, masih nggak percaya.
“Kamu bisa dateng?!” Dea
ikutan terbelalak.
“Ya, ya, saya pasti dateng!”
Nira meyakinkan.
“Niraa... makasih, ya...”
semua anak memeluk Nira.
***
Gbr: kokiers.com |
Acara prom night pun
berlangsung meriah. Semua anak kelas
tiga hadir. Termasuk Nira!!! Anak-anak menyambutnya senang. Apalagi, Nira ternyata ‘diapit’ oleh Ahmad,
cowok paling ganteng di kelas tiga!
Ahmad always berdiri di belakang kursi roda Nira. Semua anak
nggak nyangka. Termasuk Ajeng dan Dea.
Apalagi, malam ini Nira begitu cantik dan anggun. Bersanding dengan Ahmad,
cowok super tampan.
“Ya, Tuhan... Ahmad...” mata
Dea terbelalak.
“Bener kan kata gue, segala
hal bisa terjadi tanpa kita duga!” kata Ajeng, sok berfilosopis.
“Gue pikir, Ahmad bakal
ngajak siapa, gitu...” kata Dea lagi.
“Udahlah, emangnya kamu
ngiri, ya? Bima mau dikemanain?!” tukas
Ajeng, bikin Dea berubah merengut. Hehe,
mulutnya jadi berubah manyun.
Semua anak, terutama cewek,
tak pernah menyangka bila Ahmad datang bersama Nira. Ahmad, salah satu cowok
paling keren di sekolah, rupanya sengaja datang menemani Nira atas inisiatfinya
sendiri. Ternyata sudah lama Ahmad membanggakan sosok Nira.
Di tengah-tengah acara,
Ajeng meletakkan mahkota kecil yang anggun dan indah di kepala Nira. Nira dinobatkan sebagai prom-miss, alias yang
menjadi ratu di acara prom night kali ini!
Semua anak bertepuk tangan, memberikan aplous buat Nira.
Acara ini pasti sungguh berkesan di hati Nira. Nira akhirnya menyadari kalau selama ini anak-anak
kelas tiga sangat tulus menyayanginya.
Yang jelas, pada akhirnya menjadi begitu berat berpisah dengan mereka,
seluruh anak-anak yang selama tiga tahun ini bersamanya di sekolah. ***
*)Pamulang, 2005
0 comments:
Posting Komentar