Cerpen Zaenal Radar T.
Sumber: Tabloid
GAUL Edisi 49, Tahun III, 9-15 Desember 2004
photo: reportase5.com |
Bukan
apa-apa. Meski sebelumnya Riri enggak
pernah merasakan langsung betapa merananya diputusin, Riri tahu dari pengalaman
kak Risha. Riri dan kakaknya, Risha,
tinggal sekamar. Jadi apa-apa yang dialamin Risha, langsung ataupun tidak,
dampaknya dirasakan juga oleh Riri. Maka
akibatnya, Riri jadi ngerasa trauma.
Riri takut jatuh cinta!
Seenggaknya, Riri berusaha menghindar dari hal-hal yang berhubungan
dengan cinta, dalam hal ini cowok! Pikir
Riri, buat apa jatuh cinta bila suatu saat bakal sengsara? Risha buktinya!
Dulu,
sebelum putus-putusan antara kak Risha sama yayangnya, kak Bayu, Riri
membayangkan betapa indahnya jatuh cinta sama cowok itu. Setiap waktu Riri gak pernah menemukan kemurungan
di wajah kak Risha. Pernah sekali, tapi
enggak lebih dari sehari. Sebab bila kak
Risa tengah sedih atau kelihatan cemberut, setelah mendapat telepon atau
didatangi Bayu, kak Risha kembali cerah ceria.
Pasti Bayu selalu membuatnya jadi
hepi. Karena setelah itu kak Risha mengatakan bahwa hatinya berbunga-bunga,
sesegar bunga-nunga yang diberikan Bayu untuknya...
Namun,
saat ini, yang terjadi menimpa kak Risha benar-benar fatal adanya. Setiap hari kak Risha nangis dikamar. Airmatanya enggak kering-kering meski setiap
kali nangis tumpah. Riri tak harus
bertanya apa sebabnya, karena persoalannya udah jelas. Gara-gara Cinta.
Apakah ini yang namanya ketulah? Dapet kemalangan karena nggak peduli sama
larangan?
Riri
tidak tahu.
Hubungan
Risha dengan Bayu memang backstreet. Sembunyi-sembunyi. Papi-Mami nggak
pernah tahu putri sulungnya itu pacaran. Dan sebenarnya mereka melarang kedua
putrinya pacaran. Soalnya masih pada sekolah. Risha masih kelas satu es-em-u.
Apalagi Riri, baru kelas dua es-em-pe.
Nanti,
kata papi-mami, kalau sudah benar-benar dewasa baru Risha en Riri boleh
pacaran. Bila udah tiba waktunya. Itu pun harus dengan cowok yang
bertanggungjawab.
“Jangan
sampai kelewat batas!” pelotot Mami. “Karena yang namanya cewek itu beda sama
cowok!” tambah Mami.
“Lagian apa sih untungnya pacaran?” kali ini papi
ikut komentar. Lalu lanjutnya, “Papi
mami dulunya enggak pacaran. Papi ketemu mami di bus. Kebetulan kampus papi-mami berdekatan. Dan
waktu itu sama-sama semester akhir.
Setelah papi lulus dan bekerja, orangtua papi datang ke rumah orangtua
mami. Melamar. Lalu menikah, deh. Punya
anak. Ya kamu-kamu itu, Risha dan
Riri! Kalian pasti enggak percaya ya,
kalo papi mami dulu enggak pacaran?”
“Yaa,
percaya enggak percaya deh, pap. Abis,
kan waktu papi-mami remaja Riri dan Risha belom lahir?!” celetuk Riri. Hihi, Riri bisa aja.
Dan,
sekarang ini papi sama mami enggak tahu kalo kak Risha lagi dirundung
duka. Sebab Risha dan Riri kompak. Dalam hal yang satu ini mereka bedua enggak
mau terbuka. Mereka merahasiakan apa
yang tengah dialami Risha. Lagian, enggak
mungkin Riri menceritakan pada papi-mami bahwa kak Risha lagi sedih karena
putus cinta! Kalau sampai papi-mami
tahu, pasti mereka pada bingung. Kapan
pacarannya tahu-tahu udah pada putus?
Atau bisa jadi papi-maminya bilang, “Siapa suruh pacaran!”
* * *
Sehari,
dua hari, seminggu, seminggu lebih sehari, dua minggu …hingga memasuki minggu
ketiga, Risha masih nampak murung. Maunya diam di kamar. Wajahnya selalu dirundung duka, bagai
gumpalan awan hitam. Riri enggak tahu
gimana keadaan kak Risha bila di sekolah.
Yang pasti, kak Risha engga pernah lagi Riri temukan tengah
belajar. Yang Riri tahu, kak Risha seringnya
melamun. Menikmati kesedihan yang
menjadi-jadi!
Kecuali
pas di depan papi atau mami. Risha
pura-pura hepi. Namun satu dua kali papi
dan mami mencium perubahan yang terjadi pada diri Risha. Ya, seperti kata-kata bijak, ‘Sepandai-pandai
orang menyimpan bangkai, suatu saat pasti kecium baunya.’ Serapih-rapihnya Risha simpan kesedihannya,
papi-mami toh tahu juga. Namun papi dan
mami gak tahu, apa kira-kira yang membuat tiga minggu belakangan ini Risha jadi bersikap enggak kayak biasanya.
Papi
mami menduga, mungkin putrinya yang satu ini lagi tak enak badan. Mungkin Risha sakit. Akhirnya mereka membujuk Risha agar berobat
ke dokter. Risha menolak dan bilang,
bahwa dirinya baik-baik aja. Risha
enggak sakit. Risha oke-oke aja. Cumaaa… di dadanya, jauh di lubuk hatinya,
ada nyeri yang pasti sungguh sulit diobati.
Risha yakin, dokter manapun gak bakal mampu menanganinya. Yang ia butuhkan, katanya pada Riri,
barangkali sebotol racun serangga!
Masya
Allah! Ya, Tuhan… sebegitu sakitnyakah
hati kak Risha?! Uh, diam-diam Riri ikut
merasakannya. Riri seperti
mengalaminya. Isak itu. Jerit itu.
Tangis perlahan yang menyayat hati itu…
Bedebah
kau Bayu!!
Cowok
gombal!
Cowok
brengsek!
Apakah
semua cowok memang gombal dan brengsek?
Semua
cowok gombal dan brengsek...!? Bagaimana
dengan Rico?
Diam-diam
sebenarnya Riri ada hati sama Rico, yang tak lain sohib kentalnya si brengsek
Bayu. Rico yang cute, yang anaknya kocak, yang manis buanget, yang enggak kalah tampannya dibanding Bayu, ia kenal
lewat kak Risha di sebuah mal. Entah apa maksud kak Risha dan Bayu waktu itu
memperkenalkan Riri pada
Rico. Barangkali… barangkali biar
Riri merasakan betapa indahnya punya
pacar? Uh, Riri kan baru kelas dua es-em-pe?
Lagian, kalo papi mami tahu, bisa habis dia! Riri enggak mau ambil resiko kayak kakaknya.
Waktu
itu Riri bimbang. Apa salahnya
mencoba. Kan kak Risha pernah bilang, punya cowok itu asyik banget. Ada yang melindungi. Ada yang merhatiin. Bisa kangen-kangenan. Bisa mesra-mesraannn… (Ampun, dah!
Mesra-mesraannn…? Syerem… Att-ttuuhhh…!!!)
Hampir
aja Riri kepincut. Dan belum sempat Riri
dan Rico jadian, tiba-tiba kak Risha diputusin Bayu! Rencana Risha berantakkan. Namun begitu, ada getar-getar aneh, sesuatu
yang entah apa, yang diam-diam merebak di hati Riri. Sejak ketemu di mal itu, Riri
terbayang-bayang terus sama wajah manisnya Rico. Riri kangen berat pada Rico. Riri kepingin banget ketemu sama cowok kocak
itu. Sayangnya, Riri takut!
Seperti
dua minggu lalu. Rico menelpon
Riri. Rico ngajak Riri jalan ke toko
buku. Tapi Riri enggak bisa. Riri bilang, lain kali aja. Lagi banyak PR. Keesokannya Rico nelpon lagi. Janjian lagi.
Tapi Riri bilang, lagi enggak enak badan.
Dua hari berikutnya nelpon Riri lagi.
Riri malah enggak mau jawab dan beralasan pengin tidur siang. Malamnya ditelpon lagi. Paginya juga.
Terus siangnya. Dan kayak
biasanya, Riri selalu enggak bisa dengan alasan macam-macam.
Gigih
sekali Rico, pikir Riri. Apakah karena
Rico suka banget padanya? Apakah Rico jatuh
cinta padanya? Cinta pada pandangan
pertama? Alaa, dulu juga Bayu begitu
sama kak Risha. Sehari bisa nelpon lebih
dari tiga hari. Tapi sekarang, setelah
ada gantinya, mannaa…?!
Sekarang
ini pun Riri masih bingung, apa yang harus ia lakukan. Apakah Riri
mesti menolak Rico? Eh, menolak
apa? Bukankah Rico belum pernah
menyatakan apa-apa padanya? Ketemu aja
baru sekali. Tapi, dari nada telponnya
kemarin malam sih, rasa-rasanya Rico emang sangat mengharapkan Riri jadi teman
dekatnya.
“Kenapa
sih, kamu selalu gak bisa?” selidik Rico lewat telpon, kemarin malam.
“Lain
kali aja, Ric.”
“Ya,
kapan?”
“Kapan-kapan…”
“Kapan-kapan
itu kan enggak tentu, Ri.”
“Nanti,
deh…”
“Nanti?!”
“Sekarang
belum waktunya…”
“Kamu…
enggak suka ya, sama saya?”
Sampai
pada pertanyaan ini, sebenarnya Riri kepingin nangis. Sebenarnya Riri enggak mau terus-terusan
berbohong. Apakah ia memang harus
berbohong terus, atau jujur apa adanya?
Huh, sesungguhnya Riri paling benci pada kebohongan! Tapi dalam hal ini, Riri terpaksa jaga gengsi. Meski… meski ia kasihan juga pada cowok yang
ia kagumi ini. Dan… kasihan pada dirinya
pula.
“Ri,
kamu itu enggak suka sama saya, atau kamu udah punya cowok?”
Apalagi
ini, mengapa mesti ada pertanyaan kayak gini?
“Ya
udah, Ri. Saya enggak maksa. Kalo kamu enggak suka sama saya, enggak
apa-apa. Tapi ya, enggak usah pake
alasan ‘ nanti’ atau ‘kapan-kapan’ begitu
dong.…” nada Rico begitu memelas.
Tapi seperti menyimpan kegeraman.
Geram segeram-geramnya!
“Ric,”
akhirnya Riri nyerah. Lalu katanya,”Saya mau ketemu kamu, tapi jangan
sekarang-sekarang ini, ya?”
“Oke.
Tapi kapan?”
Sampai
pada pertanyaan ini, Riri kembali bingung.
Riri bingung harus menjawab
kapan. Ia takut, tapi sebenarnya ingin. Riri asli enggak kuasa membendung gejolak
hatinya, gak mampu membohongi diri bahwa ia pun merindukan Rico. Enrtah kenapa, meski baru sekali ketemu, Riri
langsung jatuh hati pada Rico! Dan
akhirnya…
“Minggu
depan aja ya, Ric?”
“Minggu
depan?”
“Ya…”
“Nah.
gitu dong!”
*
* *
Minggu
berikutnya Risha sudah nampak membaik.
Tapi tidak bagi Riri. Bila wajah Risha
kelihatan lebih cerah dari kemarin-kemarin, Riri justru sebaliknya. Ya, Riri memang tengah mengalami sesuatu yang
brengsek, sesuatu yang sebenarnya tak ia inginkan. Pagi itu Riri baru saja memutuskan sebuah keputusan maha
berat. Keputusan yang berlawanan dengan
katahatinya. Di satu sisi Riri merasa
ingin, di lain sisi ia takut!
Keputusan
itu: Riri baru aja membatalkan ketemu dengan Rico! Riri menolak ketemu Rico dengan alasan ia ada
janji dengan teman sekelasnya. Ketika Rico menanyakan kapan Riri bisa, Riri
bilang, Rico enggak usah repot-repot nelpon Riri lagi. Nanti ia yang menghubungi Rico bila ia
bisa. Lalu terdengar jelas di telinga
Riri, Rico membanting horn telponnya!
Puas
hati Riri, meskipun nyeri sebenarnya.
Ketika Riri merasa begitu bodoh telah menolak ajakan Rico, seketika itu
juga Riri teringat akan kesedihan kak
Risha tempo hari. Peduli amat
Rico, pikir Riri. Riri enggak mau
bernasib seperti kak Risha. Sori ya,
Ric!
“Rico
itu anaknya baik,” ujar kak Risha pada Riri, pada sabtu sore, saat keduanya
kembali main curhat-curhatan di kamar mereka..
“Baik
gimana? Kenal aja belum.”
“Enggak
kayak Bayu!”
“Enggak
kayak… si brengsek Bayu itu?!”
“Ya…”
“Kok,
kak Risha tahu?”
“Kami
kan sekelas. Lagian, kenapa kamu baru
cerita sekarang kalo dia sering ngajak kamu?”
“Itu,
yang sering nelpon itu…”
“Oh,
itu rupanya? Kasihan Rico, pantas di kelas selalu
kelihatan murung!”
*
* *
Malam
minggu ini Riri sekeluarga berkumpul di
ruang tengah. Riri lagi asyik
membalik-balik majalah. Papi mami nonton
acara kuis di tivi. Si mbok sibuk menyiapkan kue dan minuman. Kak Risha nampak duduk-duduk gelisah. Eh, ada apa lagi dengan kak Risha? Baru aja kelihatan ceria, tiba-tiba murungnya
kumat.
“Kenapa,
Cha?” tegur papi, demi melihat putri tertuanya kelihatan resah. Baru aja papi dan mami merasa lega atas
perubahan Risha dua hari belakangan ini, tapi sekarang… kembali kelihatan
enggak karuan. Padahal papi mami tahu masalah yang menimpa Risha, karena Riri
udah menjelaskan semuanya. Dan papi-mami
merasa enggak perlu ikut campur karena sepertinya Risha mampu menyelesaikan
masalahnya sendiri. Terbukti atas
perubahan sikapnya baru-baru ini. Selain
itu, papi pun mengupas panjang lebar tentang etika berteman. Soal siapa-siapa aja yang boleh atau tidak
diajak berteman. Juga soal teman cowok
yang mungkin kedua putrinya miliki. Kalo
memenuhi syarat, mereka boleh berteman
dekat. Tapi papi dan mami mesti tahu siapa orangnya.
“Ada
apa, sayang… kamu …?” mami ikut prihatin
“Lagi
nunggu temen, pi, ma…” potong Risha.
“Memangnya
ada yang mau datang, ya…?” selidik mami, tersenyum.
“Ya…”
Ting-tong!
Ting-tong!
Bunyi
bel mengagetkan seisi rumah. Risha langsung bangkit dari duduknya. Beringsut ke luar. Enggak lama kemudian
kembali masuk bersama seorang cowok keren!
“Pi,
Mi, Ri, kenalin temen Risha, Adit!”
Papi
mami tersenyum. Riri melongo. Beberapa saat kemudian papi mami ke
belakang. Riri masuk kamar. Si mbok
mengantar minuman. Ruang tengah
tiba-tiba terdengar ramai. Kak Risha dan
teman cowoknya cekikikan. Jelas
terdengar keceriaan Risha sore ini.
Di
kamar, Riri terheran-heran. Tiba-tiba ia merasa bego sekali. Siapa tadi nama
cowok yang disebut Risha barusan? Adit? Haaa...?! Riri mendadak geram begitu ia
mulai bisa mengingat dengan jelas wajah cowk itu. Tidak. Dia bukan Adit. Dia...
dia... Rico!
Riri
membenamkan wajahnya dibantal. Dasar cowok! Gak punya perasaan! Ditolak sama
adiknya, menclok ke kakaknya! Muka tembooook!!! ***
*)Pamulamg,
2004
0 comments:
Posting Komentar