Dimuat dengan judul, "MAMAN", Majalah Sabili, No. 09 Th.VI 11 November 1998/ 21 Rajab 1419 H
photo: suryaonline.com |
Baru
saja Hasan menginjakkan kakinya di terminal, hujan langsung menyambutnya. Kalau
tidak ada tukang ojek payung itu, mungkin ia sudah basah kuyup. Bocah ingusan
itu cekatan sekali menyelamatkan Hasan dari terpaan hujan. Setelah menyerahkan
payungnya, ia berlari-lari kecil di belakang Hasan.
“Ayo
sini, kita payungan sama-sama,” ajak
Hasan, “Nanti kamu sakit.”
“Nggak
usah, Pak. Saya sudah biasa basah-basahan,” tolak bocah itu.
“Nggak
usah malu-malu,” kata Hasan. Ditariknya lengan anak itu. Kini mereka berdua
berjalan berimpitan.
“Siapa
namamu?” tanya Hasan ingin tahu.
“Maman,”
jawab anak itu singkat.
“Tinggal
di mana?”
“Nggak
jauh dari sini, Pak”
Hasan
tersenyum. Namun tiba-tiba ia dikagetkan oleh ingatannya sendiri. Ia tidak
punya uang sepeserpun! Harta yang dimilikinya sekarang hanya sebuah tas gondol yang berisi pakaian kotor dan jam
tangan pemberian istrinya. Lalu, bagaimana ia harus membayar ojek payung ini?
“Kamu
biasa dibayar berapa?”
“Terserah
yang memberi saja,” jawab Maman. “Kata Emak, rezeki itu datangnya dari Allah.”
Hasan
kaget mendengar jawaban anak kecil itu. Mantan napi itu jadi teringat pada
teman satu selnya di penjara Cipinang. Ki Rodin __begitu para penghuni penjara
memanggilnya__ sering mengingatkan kalau rejeki itu datangnya dari Allah.
Ki
Rodin adalah seorang mubaligh yang dipenjara karena dituduh menghasut
masyarakat. Sementara ia adalah rajanya garong. Takdir Allah yang mempertemukan
dia dengan Ki Rodin dalam penjara. Bukan di masjid atau di tempat-tempat
pengajian. Dengan penuh kesabaran, Ki Rodin memperkenalkan Islam padanya.
“Bapak
sebenarnya mau ke mana?” suara Maman menyadarkan Hasan dari lamunannya. Refleks
tangannya menunjuk ke arah masjid.
“Man,
sebenarnya…” Hasan ragu meneruskan ucapannya. Seandainya anak itu mengerti
keadaanya, rela tidak dibaya, tentu tidak jadi soal. Tapi, kalau anak ini
ngotot menuntut haknya, dari mana ia mendapatkan uang?
Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya Hasan membulatkan hatinya. Begitu sampai di teras
masjid, ia segera menyerahkan payung itu pada Maman. Kemudian ia melepas jam
tangannya.
“Man,
saya sebenarnya tidak punya uang untuk membayar kamu. Jadi, ambil saja jam
tangan ini,” Hasan mengulurkan jam tangannya pada Maman.
Melihat
benda itu, Maman terdiam. Hasan jadi ikut diam. Siatuasi jadi hening. Yang
terdengarhanya sentuhan gerimis membentur kerikil.
“Nggak
usah, Pak. Lain kali saja. Mungkin memang bukan rezeki Maman,” ujar anak itu.
Ia lalu bergegas pergi.
“Terima
kasih, Man! Insya Allah kalau kita ketemu lagi, nanti saya bayar!” teriak Hasan.
Maman menjawab dengan lambaian tangan.
***
Maman
berjongkok di emper toko sambil menghitung uang hasil ojekannya. Sebelas ribu
tiga ratus rupiah, kata hatinya girang. Ini hasil terbesar yang pernah
diperolehnya.
Maman
bangun, lalu bergegas menyusuri jalan. Hujan sudah reda, meninggalkan kubangan
air di sana sini. Bagai seekor anak kijang, Maman melompati kubangan air itu.
Begitu asyiknya ia melompat-lompat sampai-sampai ia tidak menyadari munculnya sebuah bis yang
akan masuk terminal. Orang-orang yang melihat kejadian itu berteriak
mengingatkan Maman. Tapi terlambat. Sopir bis yang terkejut melihat ada seorang
bocah kecil tepat di depannya segera membanting stir. Anak yang malang itu
terpental dan membentur aspal dengan keras.
***
Setelah
menunaikan shalat maghrib, hasan duduk berdzikir. Waktu isya akan masuk
kira-kira dua puluh menit lagi. Hasan memutuskan untuk menunggu.
Usyai
shalat isya, Hasan segera keluar dari masjid. Ia ingin cepat-cepat menemui
anak-anak dan istrinya. Selama di penjara, istrinya tidak pernah menjenguk. Tapi
ia maklum. Selain soal ongkos, istrinya tentu repot mengurus dua orang anak.
Sudah untung dia tidak minta cerai. Setelah dua bulan berada dalam penjara, ia
mendengar istri dan anaknya pindah ke rumah salah seorang saudaranya di
Sukabumi. Ia mengetahui alamat mereka dari secarik kertas yang dititipkan
istrinya pada sipir penjara.
Setelah
keluar masuk gang, Hasan sampai di depan sebuah rumah petak. Di depan rumah itu
ada sebuah meja dan bangku panjang dalam posisi terbalik. Hasan tersenyum getir.
Istrinya pasti berjualan gado-gado di situ.
“Assalamu’alaikum…”
Hasan beruluk salam.
“Wa’alaikumsalam,”
terdengar jawaban seorang perempuan dari dalam. “Tunggu sebentar.”
Tidak
lama kemudian muncul seorang perempuan berkerudung hijau lumut. Ketika melihat
Hasan, ia tertegun. Perempuan itu seakan tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri.
Hasan
meraih tangan istrinya dan memeluknya. “Maafkan abang, Fatma. Maafkan abang…”
katanya penuh penyesalan.
Fatma
menangis dalam pelukan suaminya. Ia tidak mampu berkata-kata. Setelah Hasan
melepaskan pelukannya, perempuan itu segera mengajaknya masuk.
“Abang
dapat keringanan hukuman,” kata Hasan tanpa ditanya. Fatma hanya mengangguk.
“Mana
anak-anak?”
“Rahmat
dan Hakim giliran masuk malam. Mereka kerja di pabrik roti,” jawab Fatma. Tiba-tiba ia tersenyum, “Anak kita yang
bungsu mestinya ada di rumah. Tapi…”
“Apa?
Anak kita yang bungsu?” Hasan kaget.
“Masak
Abang lupa?” Fatma ikut terkejut. “Waktu Abang ditangkap dulu, Fatma kan lagi
hamil dua bulan.
“Astaghfirullah…”
Hasan terhenyak. Cepat ia mengingat-ingat. Ya, istrinya pernah bilang kalau ia
kemungkinan sedang hamil. Tapi saat itu ia sedang sibuk menyusun rencana untuk
merampok sebuah rumah. Jadi ucapan istrinya tidak ia tanggapi.
“Di
mana ia sekarang?” tanya Hasan tidak sabar.
Baru
saja Fatma ingin menjawab, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Hasan
segera bangkit karena ada orang yang memanggil-manggil istrinya. Fatma pun
mengikuti gegas suaminya.
“Ada
apa?” tanya Hasan.
Orang-orang
yang berkumpul di depan rumah tertegun. Mereka jelas belum mengenal Hasan.
“Itu
suami saya, Mang Usep,” ujar Fatma. Ia
kemudian berjalan mendekat. “Aya naon
Mang, rame-rame begini?”
“Si
Maman, Ceu Fatma,” kata Mang Usep
terbata-bata. “Si Maman ketabrak bis waktu ngojek payung. Sabar Ceu, sabar… Ini
sudah takdir Allah. Si Maman meninggal, Ceu. Sekarang sudah dibawa ke rumah
sakit.”
Mendengar
kabar Mang Usep, Fatma langsung pingsan. Untunglah Hasan segera menangkap
tubuhnya. Tapi kemudian ia tersentak. Maman? Tukang ojek payung? Ya Rabbi, jadi
anak itu?
Hasan
terpaku di tempatnya. Orang-orang yang berkerumun juga ikut mematung.Kebisuan
itu pecah sesaat kemudian, ketika gerimis turun tiba-tiba…*)
Zaenal
0 comments:
Posting Komentar