Mamat Metro

Mamat Metro

Mushola Terminal

Cerpen:  Zaenal Radar T.

Dimuat: Majalah Sabili, No. 3 Th. XII, 27 Agustus 2014/ 11 Rajab 1425 H


gbr: tengbot.com



Sejak tinggal dan menjadi pedagang asongan di terminal bis antar kota, mushola itu yang menjadi tempat saya tinggal. Untuk melepas lelah, kongkow dengan sesama pedagang asongan lain, dan tentu saja, untuk melakukan solat lima waktu. Bagi penghuni terminal lain, mushola itu sering digunakan buat tidur-tiduran bila waktu masuk solat belum tiba.

Mushola itu tidak bernama. Ukurannya sekitar empat kali lima meter saja. Letaknya di sebelah WC umum, yang digunakan sebagai kamar kecil sekaligus tempat orang-orang mengambil wudhu. Para pengguna terminal bis antar kota sangat terbantu oleh mushola itu. Sebab kalau tidak ada mushola, mungkin solat mereka akan tertinggal. Masalahnya di sekitar terminal tak ada mushola atau masjid, selain mushola yang terletak di sebelah WC umum itu.

Namun bagi sejumlah pedagang asongan  macam rekan-rekan saya, seperti Bang Mardan atau Bang Minen misalnya,  mushola tidak begitu perlu, selain sebagai tempat untuk sekadar melepas penat. Begitu pula dengan anak-anak timer, anak-anak parkir, pengamen, calo, atau para preman terminal, yang tak pernah saya lihat solat di situ, saya kira tak pernah menganggap penting mushola itu.

Terkadang saya kesal juga bila melihat orang-orang yang saya sebutkan tadi cuma mencuci muka di WC umum, padahal waktu solat telah tiba. Mereka benar-benar tak merasa terketuk pintu hatinya untuk ‘menggugurkan kewajiban’. Dan yang paling membuat saya jengkel,  seringkali anak-anak terminal masih tertidur saat waktu solat tiba.

Kalau sudah begitu, saya juga yang repot. Maklum saja, saya tak pernah berani menasehati mereka. Sebab selain bosan, saya pernah jadi bulan-bulanan cibiran mereka.

“Alaa, ngapain solat! Emangnya kalo kita solat kita bisa kaya?! Elo aja yang setiap hari solat masih jadi pedagang asongan?!”

“Tuh, lu liat Mpok Jumineh, dia kagak pernah solat.  Tapi duitnya banyak. Pangkalannya selalu rame! Langganannya semakin banyak! Nah, elu! Solat rajin, ngutang jalan terus! Hahaha...!”

“Udah! Jangan sok jadi ustadz! Ustadz kan enak, duitnya banyak. Malahan, ada ustadz yang rajin ngomong soal kemiskinan di tipi, tapi mobilnya mersi! Lagian, kalo lu mau jadi ustadz, jangan dagang di terminal! Hahaha!”

Begitulah jawaban mereka, ketika saya mengajak mereka solat. Sehingga saya jadi malas menawarkan mereka lagi. Selain itu, meskipun saya tak menegur mereka, ada saja ledekan atau gurauan mereka  bila saya hendak menunaikan solat.

“Eh, mau solat nih yee? Jangan lupa ya, titip salam...”

“Doain gue ya, semoga gue masup surga!”

“Sori, gue lagi dapet...hehehe...!”

Gurauan yang terakhir sungguh melecehkan! Yang bicara anak laki-laki, bukan perempuan. Apa maksudnya “lagi dapet...”, kalau bukan cuma ingin meledek saya?

Tapi biarlah. Meskipun begitu, mereka tak pernah mengusik solat saya. Saya dan mereka, sesama penghuni terminal, sudah seperti layaknya saudara. Kami tak pernah saling menganggu. Yang ada justru saling membantu. Seperti ketika mushola terminal membutuhkan karpet dan sajadah, mereka mau diajak gotong royong untuk menyumbangkan uang. Alasan mereka, “Lumayan, buat alas tidur-tiduran...”

Tetapi setelah kami membeli karpet itu, tak seorang pun bisa semaunya tidur di atas karpet. Sebab selepas waktu solat, karpet itu disimpan. Saya yang melakukannya. Dan ternyata tidak ada penghuni terminal yang protes. Barangkali, meski mereka tak menggunakan mushola itu untuk solat, mereka juga masih punya pikiran sehat. Mereka mengerti, mereka mau menghormati. Apalagi Bang Romli, salah satu jawara terminal,  mendukung apa yang saya lakukan.

“Bagusnya memang begitu. Karpet itu digunakan untuk solat saja. Biar tetap bersih!” ucap Bang Romli pada saya. Sayangnya, Bang Romli sendiri sama seperti kebanyakan penghuni terminal lainnya: tidak pernah saya lihat solat!

Dari waktu ke waktu, keberadaan mushola terminal itu sungguh berarti bagi saya dan para pengguna terminal yang melaksanakan kewajiban solat lima waktu. Begitu pula bagi penghuni terminal lain, meski mereka tidak menggunakannya sebagaimana mestinya.

Masalah timbul ketika pada suatu hari seorang berpakaian rapih melihat-lihat mushola itu. Orang itu ditemani oleh dua orang lainnya yang mengaku dari pemerintah kota. Para penghuni terminal percaya, karena terlihat dari pakaian yang mereka kenakan.

Ketiga orang itu mengukur mushola itu, mencatatnya, entah untuk keperluan apa. Setelah orang itu pergi, terdengarlah bisik-bisik dari mulut ke mulut para penghuni terminal, bahwa mushola itu akan digusur! Katanya, bangunan itu akan diganti dengan toko kelontong.

“Kita bisa apa? Ini kan milik pemerintah! Kalau maunya dia begitu, kita harus bagaimana?!”

“Wah, saya nggak bisa tidur-tiduran lagi dong...?!”

“Padahal mushola ini penting sekali bagi kita. Kalau mushola ini diganti dengan bangunan lain, orang-orang akan solat di mana?!”

“Wah, wah, kok mereka seenaknya dewek!??”

Yang paling bingung sebenarnya saya.  Sebab bagi saya, mushola itu sudah seperti rumah saya sendiri. Tempat saya beribadah, melepas lelah, sekaligus tempat beristirahat bila malam tiba. Karena saya tidak mampu mengontrak rumah.

Seminggu setelah kedatangan orang-orang yang mengaku dari pemerintahan kota, tibalah saatnya saya harus mengeluarkan barang-barang saya yang tidak begitu banyak. Mengeluarkan karpet, sajadah, dan satu dua kitab suci Al-Quran yang berada di dalam mushola. Saya tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah orang dari pemerintahan kota itu. Beberapa pekerja akan segera membongkar mushola itu untuk dialihfungsikan sesuai keinginan orang yang mengaku sebagai pemiliknya. Barangkali pemerintah kota memang telah menjual tanah dan bangunan itu untuk keperluan mereka.

Namun sebelum mushola itu dibongkar, seseorang yang sudah sangat saya kenal, berteriak-teriak sambil menghalang-halangi para pekerja. Orang itu Bang Romli, biang preman terminal.

“Kalau kalian ingin mampus, silahkan bongkar mushola ini! Tapi kalau kalian masih ingin hidup, tinggalkan sekarang juga!!”

Para pekerja tak berani melanjutkan pekerjaan mereka, karena di belakang  Bang Romli berdiri sejumlah laki-laki kasar yang sudah sangat saya kenal. Mereka tak lain para penghuni terminal, seperti tukang parkir, timer, calo, pengamen jalanan, kernet bis, para sopir angkutan, dan teman-teman saya sesama pedagang asongan.

Akhirnya beberapa orang yang mengaku wakil dari pemerintahan kota berunding dengan Bang Romli dan para penghuni terminal. Perundingan itu tak menghasilkan kata sepakat. Orang-orang terminal yang dipimpin Bang Romli tetap bersikukuh bahwa mushola terminal tak boleh dibongkar!

“Seharusnya, pemerintah kota justru menambah sarana ibadah ini agar lebih baik lagi. Bukan justru membongkarnya! Dan saya kira, pemerintah kota sudah banyak mendapat subsidi dari hasil restribusi terminal ini!” Bang Romli bicara berapi-api.

Setelah perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan itu berlangsung, Bang Romli dan para penghuni terminal lainnya, termasuk saya, berunjuk rasa di depan gedung pemerintah kota. Kami disambut dengan baik, dan ternyata pemerintah kota tak pernah bermaksud menghilangkan mushola itu. Setelah diselidiki, semua itu hanya rekayasa segelintir staf pemerintahan kota dan pimpinan terminal. Hari itu juga, pemerintah kota memecat orang-orang yang terlibat dalam rencana aksi penggusuran mushola terminal itu.

Saya sendiri merasa senang atas keputusan tersebut. Mengucapkan banyak terima kasih pada Bang Romli dan kawan-kawan yang sangat kompak!

“Sesama muslim, kita harus bersatu! Harus kompak! Bener nggak!??” ucap Bang Romli, di depan para penghuni terminal lainnya.

“Betul!! Setuju!! Akuur!!” para penghuni terminal menyambutnya.

Akhirnya, berkat kekompakan kami, mushola terminal itu masih tetap seperti sedia kala. Hanya saja, sayangnya, yang solat di sana masih orang yang itu-itu saja. Bang Romli sendiri, sampai saat ini, belum pernah saya lihat solat di mushola itu. Saya tak berani menegurnya. Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan suatu waktu ia dan para penghuni terminal lainnya yang belum menggunakan mushola itu untuk solat, mau melakukannya***

*)Jakarta, Juli 2004
Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...