Mamat Metro

Mamat Metro

Bunda, Aku Jatuh Cinta

Cerpen:  Zaenal Radar T.


Sumber: Majalah PUTRI, Edisi 11 Tahun I/ Jumadil Akhir 1425 H - Agustus 2004

photo: setbyus.com



            Bunda, aku jatuh cinta. Aku tidak tahu entah dari mana datangnya, tiba-tiba perasaanku menjadi merah jambu. Bunda tahu merah jambu kan? Kata salah satu temanku, merah jambu itu warna Cinta, Bunda. Aku sih sebenarnya tidak begitu percaya. Tetapi setelah kurasakan kegelisahanku semalam, ternyata aku harus bertekuk lutut pada keadaan, bahwa aku telah terbius oleh cinta meski tak kelihatan apakah warnanya memang benar-benar  merah jambu atau bukan.
“El, kamu kan masih kecil, sayang...” Bunda membuyarkan lamunanku.
“Elliza juga nggak ngerti, Bunda.  Tiba-tiba aja El teringat-ingat terus sama wajahnya!”
Astaghfirullah...!
“Gimana dong, Bunda!??”
“Ya Bunda ndak tahu, deh!”
“Memangnya Bunda nggak pernah jatuh cinta, yah...?”
Bunda tidak menjawab pertanyaanku. Ia sibuk memeriksa tas sekolahku, seolah tak mendengar apa yang keluar dari mulutku.
“Bunda...!”
“Eh, ngagetin aja!”
“Bunda kok nggak jawab pertanyaan El, sih?!”
“Iy... iya! Apa, sih?!”
“Bunda... pernah jatuh cinta nggak?!”
“Ooh.... Kok, pertanyaannya gitu? Ngapain sih, tanya-tanya gitu?! Kamu kan masih kecil!”
Uh, Bunda! Sebel! Kenapa sih Bunda selalu bilang kalau aku masih kecil?! Apakah kalau aku masih kecil tak boleh jatuh cinta? Dan kenapa kalau aku masih kecil aku bisa merasakan cinta?!
“Cinta itu apa sih?“
“Eh, Ayah...”
“Kamu masih bau kencur sudah ngomong cinta. Sekarang Ayah mau tanya. Cinta itu apa?!”
“Eee... El nggak mau jawab sekarang! Nanti El terlambat sekolah!”
“Bilang aja nggak bisa!”
“Bener, Yah! Soalnya kalau dijelaskan sekarang nggak keburu waktunya. Panjang!”
Ayah geleng-geleng kepala. Bunda menepuk jidatnya sendiri. Mungkin mereka pusing karena sikapku ini?!

***

Di sekolah aku bertanya pada semua teman, apa yang dimaksud dengan cinta.  Aku ingin mendengar dari teman-temanku yang mungkin punya pengalaman dengan cinta. Satu dua anak memberi pendapat tentang cinta.
 “Cinta... adalah... kenangan... yang tak mudah untuk... dilupakan...!”
“Aeh... itu mah, lagu!”
“Cinta adalah... kumpulan antara senang, benci, rindu, sebal, muak, marah, sakit, bahagia, sengsara, sedih dan tertawa... itulah cinta...”
“Kok, rumit banget!”
“Cinta emang rumit!”
Mana yang benar, aku nggak tahu. Yang jelas aku nggak sepenuhnya percaya apa kata teman-temanku itu. Aku nggak percaya kalau cinta kumpulan antara... ah, sudahlah! Lebih baik kutanyakan pada Bapak guru bahasa Indonesia.
“Selamat siang, Pak!”
“Siang El. Ada apa gerangan, kamu datang ke ruangan bapak?!”
“Ee.. maaf, Pak. El pingin ngomong sebentar...”
“Maksud kamu, ingin bicara dengan bapak...?!”
“Ya, maksudnya, El ingin bicara dengan bapak...”
“Bicaralah...”
“Begini Pak. Semalam El merasakan sesuatu yang begitu indah. El jatuh cinta. Tapi Bunda nggak percaya. Ia bilang El masih kecil. Nggak mungkin merasakan cinta. Menurut Bapak gimana?!”
“Wah, bagaimana ya El. Kamu kan tahu. Bapak belum begitu tua. Usia Bapak tiga puluh tahun. Bapak belum pernah pacaran. Jadi, bapak tidak mengerti apa itu cinta...”
“Yaa, bapak!!”
“Lebih baik kau tanyakan pada orang lain!”
Ternyata guru bahasa Indonesia yang sangat kuhormati itu tak tahu menahu apa itu cinta. Lebih baik kutanyakan pada Asmara aja. Asmara kan udah lebih dari lima kali gonta-ganti pacar! Nah, tuh dia anaknya!
“Hai El, pa khabar?!”
“Baik, Mara. Kebetulan, aku ada perlu sama kamu...”
“Tentang apa?!”
“Ee.. tentang... cinta!”
“Cinta!??  Wah, sori deh El! Gue nggak mau lagi ngebahas tentang cinta.  Cinta itu taik kucing!  Jangan ngomongin cinta ke gue! Udah lima cowok yang ngaku jatuh cinta ke gue, tapi kenyataannya... justru bikin hati gue sakit!  Udah ah, tanya orang lain aja!!”
Asmara pergi begitu saja meninggalkan aku. Huh! Sebel. Baiknya, nanti sore kutanyakan pada Bunda saja.
***
Sorenya, aku menghadap Bunda. Sore ini sebenernya aku harus cepet-cepet ke masjid. Menghadiri pengajian rutin yang baru-baru ini kuikuti di masjid kompleks perumahanku. Dan sebenarnya, di masjid itulah aku jatuh cinta. Ssst... Aku jatuh cinta sama Pak Ustadz yang mengajariku mengaji. Aku benar-benar terpesona padanya...
“El, kamu mau berangkat mengaji?!”
“Iya nih, Bunda! Tapi El deg-degan...”
“Deg-degan...?  Nggak ada salahnya deg-degan. Kamu kan baru belajar mengaji. Lama-lama juga kamu bisa!”
“Bukan begitu, Bunda...”
“Terus apa, dong!?”
“Anu Bunda... Eee...”
“Kamu kenapa sih?!”
“Anu Bunda... Eee... El naksir sama Pak Ustadz Jaka...”
“ASTAGHFIRULLAH...”
“Itulah makanya El tanya-tanya ke Bunda, mengapa El jadi begini...”
“Kamu jatuh cinta sama Ustadz Jaka!? Kamu ini gimana, ditanya sama Ayah apa arti cinta aja kamu nggak tahu, kok bisa jatuh cinta!?”
“Nggak tahulah, Bunda!  Gimana dong, Bunda...?!”
Bunda diam. Tapi kulihat Bunda senyam-senyum. Seolah meremehkan masalah yang tengah kuhadapi ini.
“Sekarang Bunda mau tanya. Kenapa kamu jatuh cinta sama ustadz Jaka?”
“Ee... karena... ustadz Jaka lain daripada cowok-cowok yang pernah El liat di sekolah!”
“Gitu aja!?”
“Selain itu... ustadz Jaka pinter ngaji! Banyak tahu tentang bagaimana menghadapi persoalan hidup!”
Bunda geleng-geleng kepala lagi. Uh, sebel deh! Bunda kok jadi kayak orang lagi olahraga aja. Geleng-geleng kepala terus!
“Sekarang gini aja. Gimana kalo kamu tanyakan pada Ustadz Jaka, apa itu cinta. Lalu kamu tanyakan juga, kenapa kamu bisa suka sama dia?!”
“Malu dong, Bunda!”
“Ya... daripada kamu tanyakan pada semua orang, kan lebih baik tanya pada orangnya langsung!”
“Oke deh, Bunda!”
Bunda tercengang atas sikapku yang begitu antusias!
***
Sore ini aku berangkat ke masjid seperti biasa. Baru tiba di halamannya, dadaku terasa sesak. Apalagi ketika kulihat ustadz Jaka tengah berdiri di pintu masjid, entah memperhatikan siapa. Aku semakin nggak kuat aja.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam... Sendirian, El?!”
“Ya, Pak ustadz...”
“Tapi El... bukankah kamu sudah diberitahu, kalau malam minggu pengajian diliburkan... Ini kan atas kesepakatan teman-teman kamu!? Ingat, nggak...?!”
“Ya ampuuun..!! El lupa, Pak Ustadz!!”
“Ya sudah! Kalau kamu memang mau mengaji, saya nggak keberatan.  Itu lebih baik!”
“Tapi... apa nantinya malah jadi mengganggu Pak Ustadz...?”
“Mengganggu apa...?!”
“El baru inget kalo ini malam minggu. Apa Pak Ustadz nggak apel?!!”
“Apel...!???”
“Iya, apel!  Ke rumah pacar!”
Pak Ustadz geleng-geleng kepala. Lalu tersenyum. Sama seperti Bunda. Gawat. Rupanya mereka benar-benar nggak memahami apa yang kini tengah kuresahkan.
“Pak Ustadz nggak punya pacar!”
“HAH!?? Kok, bisa...?! Pak Ustadz kan ganteng!”
“Ssst... jangan keras-keras... Kalau kamu mau ngaji, silahkan tunggu di tempat biasa. Saya ambil wudhu dulu.”
“Baik, Pak Ustadz!”
Aku menunggu Pak Ustadz di tempat biasa kami belajar mengaji, pada salah satu sudut masjid. Pak Ustadz yang kutaksir tampangnya seumuran denganku itu berjalan dengan tenang ke arahku. Dadaku rasanya bergemuruh. Seperti ombak di lautan menerjang batu karang!  Apalagi ketika Pak Ustadz sudah duduk di dekatku, membuka kitab Al-Qur’an...
“Pak Ustadz... boleh nanya, nggak?!”
Pak Ustadz mengernyitkan dahi. Seolah menunggu apa kata-kata yang akan keluar dari mulutku.
“Tanya apa...?”
“Anu Pak ustadz... Ee... Pak Ustadz pernah jatuh cinta nggak?!”
“Jatuh cinta...?!” Pak Ustadz tersenyum. “Pernah dong!”
“Pernah Pak Ustadz?! Jatuh cinta sama siapa?!” Aku semakin deg-degan. Degup jantungku seperti mau meledak.
“Jatuh cinta pada Allah!”
“Jatuh cinta pada Allah!!???”
“Ya, El... Pak Ustadz hanya cinta pada Allah!  Karena Dia-lah yang maha pengasih lagi maha penyayang! Dia-lah yang memberi rahmat dan hidayah, sehingga kita menjadi seperti saat ini...”
“Selain kepada Allah, Pak Ustadz cinta pada siapa..?!”
“Ee... pada semua makhluk ciptaan-Nya!”
“Pada Elliza juga...?!”
“Maksud kamu...?!”
“Apakah Pak Ustadz cinta sama El...?!”
“Astaghfirullah! El, sebaiknya sore ini kita keluar dari masjid. Mungkin kita bisa mengobrol di luar. Atau, kalau kamu mau main ke rumah saya juga boleh!”
“Main ke rumah Pak Ustadz...?!”
“Yah... nanti kamu akan saya perkenalkan dengan Fikri, bayi saya yang lagi lucu-lucunya, dan juga istri saya...”
“HAH!!!??? Ba-ba-baik... pak Ustadz! Tapi... EL ada janji sama Bunda...”
“Ya sudah... besok kita bisa ketemu lagi. Salam sama Bunda kamu...”
Akhirnya aku dan Pak Ustadz meninggalkan masjid. Pak Ustadz mengantar sampai beranda. Aku ingin segera tiba di rumah, menceritakan apa yang baru saja kualami. Ternyata... aku mencintai seseorang yang telah beristri! Aduh Bunda, tooo...long!***
                                                                                                                                                    *)2004

Share on Google Plus

About zaenal radar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Cowok Romantis

Cerpen  Zaenal Radar T. Dimuat majalah Gadis , No.30   11-20 November 2008 gbr: premiumtours.co.uk Bagiku, Palris cowok rom...