Cerpen: Zaenal Radar T.
Dimuat: Majalah Sabili, No. 14, Thn XII, 28 Januari 2005/ 16 Julhizah 1425 H
Siang ini aku kembali berjumpa
dengan perempuan muda yang minta diantar ke jalan beringin dua itu. Sebenarnya
aku males harus mengantarnya. Takut
ditanya-tanya lagi. Setelah becak kugenjot, benar saja, ia bertanya lagi.
“Maksud mbak?”
“Koran atau majalah apa saja yang pernah muat karangan kamu?”
“Saya belum berani mengirimkan karangan saya ke media, mbak!”
“Wah, kamu! Bagaimana mau jadi pengarang!? Mengirimkan karya saja nggak berani!!”
“Ma.....” (waduh tanjakkan!!) “...malu, mbakkk!”
“Malu?!”
“Pake tulisan tangan!”
“Ngerental aja! Rental komputer kan banyak.”
“Nggak bisa pake komputer, mbak!”
“Mesin ketik bisa?!”
“Bisa. Sedikit-sedikit!”
“Nanti deh, saya pinjemin!”
“Dah sampe, mbak!”
“O’ya. Makasih.” perempuan muda itu turun. Ia mengelurkan isi dompetnya.
“Tiga ribu, kan?!”
“Ya, mbak.”
“ Oke, nanti saya pinjemin mesin ketik. Kamu harus berani mengirimkan karya kamu ke media!”
“Ya, mbak!”
Dimuat: Majalah Sabili, No. 14, Thn XII, 28 Januari 2005/ 16 Julhizah 1425 H
gbr: dinamicvector.blogspot.com |
"Udah lama narik
becak, bang?” perempuan muda berjilbab itu bertanya, saat aku mengantarnya ke
sebuah alamat.
“Lumayan, non,” kujawab dengan santun, sambil menggenjot
becakku.
Sejak narik becak
setahun lalu, aku baru melihat perempuan itu, yang minta diturunkan di sebuah
rumah langganan becakku.
“Ganteng-ganteng kok, narik becak bang?” tanya
perempuan muda itu lagi. Kupikir ini pertanyaan aneh. Baru kali ini aku
mendapat pertanyaan ‘genit’ begini! Masih ada aja orang yang perhatian
sama orang kayak aku!
“Habis mau
ngapain lagi, mbak. Saya cuma bisa narik
becak!”
“Sudah menikah?”
walah!! Pertanyaan apa lagi ini?!!
“Belum.”
“Belum menikah
kok cari uangnya gesit banget, bang?!”
“Daripada nggak
ngapa-ngapain, mbak. Lagian, biar belum menikah, saya kan perlu makan!”
“Memangnya gak ada
kerjaan lain, ya? Dulu sekolahnya sampe dimana, sih?”
Ini lagi!
Pertanyaan menyebalkan! Apa dia nggak tahu kali ya, nyari kerjaan itu susahnya
minta ampun! Apalagi nggak ada koneksi! Mana pake tanya-tanya sekolah
segala! Tapi, kalau dia tahu aku ini mahasiswa, aku bisa-bisa dihinanya!
Mahasiswa kok, narik becak! Khh, Rasanya aku kepingin buru-buru sampai ke
tempat tujuannya!
“Jalan Beringin dua
kan, mbak?!”
“Iya! Jangan
sampai salah lho, bang! Nomor enam
belas, ya. Awas, ya. Jangan nyasar!
Soalnya saya baru nih!”
“Tenang. Alamat
si mbak ini langganan becak saya juga, kok!”
“Eh, tadi kok
belom jawab pertanyaan saya?”
“Apa ya, mbak?!”
“Ya Allah! Itu
tadi, kenapa abang gak kerja yang lain aja?! Terus, emang sekolahnya sampai di
mana?!”
“Ah,
mbak! Kenapa sih pake tanya-tanya se...” (huh! Tanjakkan lagi!) “...segala!
Emangnya... kalo sekolah kenapa, kalo nggak... kenapa?!”
“Ditanya
kok malah nanya!?”
“Bentar
lagi nyampe, mbak!”
“Oh,
gitu ya!”
“Yap!
Dah sampe, mbak!”
“Ongkosnya
berapa?” perempuan muda berjilbab itu turun, lalu mengeluarkan dompetnya. Aku
sempat menatap wajahnya. Ya Tuhanku!!!
Nih orang cekap banget, ya...!!!
“Ongkosnya
berapa, bang?! Kok, bengong?”
“Eh,
tiga ribu aja, mbak!”
“Nih. Makasih, ya.”
“Sama-sama,
mbak!”
***
Aku anak Ciputat yang
kuliah di Kota Tangerang. Setahun lalu kehidupanku nyaris bangkrut! Hidup
mengontrak jauh dari orangtua. (padahal satu daerah, tapi aku memilih hidup
mandiri!). Kiriman orangtua macet. Kontrakkan nunggak! Banyak makalah yang
perlu dipoto kopi. Belum lagi buat bayar SKS. Bujuk buneng! Eits, itu
satu tahun lalu! Sekarang, setelah jadi
penarik becak, semuanya bisa diatasi. Asal nggak neko-neko, ternyata
semua urusan bisa lancar!
Beruntung sekali waktu
itu aku ketemu Bang Sanip. Dia yang minjemin becaknya buat belajar. Setelah itu aku berani-beraniin nyewa sama
juragan becak. Sehari sepuluh ribu. Lumayan, narik becak bisa dapet tiga puluh
ribu sehari. Kalau mujur bisa lebih.
Nah, sisanya itu aku gunakan buat tambal sana-sini. Buat kebutuhan sehari-hari. Untung nggak
punya pacar! Coba kalau seperti anak-anak kampus lainnya. Bisa modar! Hehe, lagian siapa sih yang mau pacaran sama
tukang becak kayak aku ini!? Meski mahasiswa, ganteng, tetap aja genjot becak!
“Gue salut sama elu, Han!
Gue rasa di dunia ini cuma elu mahasiswa yang mau narik becak!” puji Bang Sanip
waktu itu, saat berada di pangkalan.
“Abis mau ngapain lagi,
bang! Kalo orangtua saya kaya, saya nggak mau narik becak begini!”
“Elu kan anak Betawi
Han! Biasanya anak Betawi pan
tanahnya lebar!”
“Emangnya anak Betawi
kayak saya nggak boleh kuliah tanpa harus jual tanah, bang! Lagian, keluarga
saya udah kagak punya tanah lagi, bang! Tinggal serumah-rumahnya. Babeh saya cuma jadi satpam pasar. Nyak saya jualan nasi uduk!”
“Biasanya anak Betawi kan
gengsinya gede!”
“Ya nggak semuanya, bang!
Kalo mikirin gengsi, dari dulu saya udah mati!”
Sejak kecil aku tak
pernah gengsi. Kelas tiga SD, aku berjualan kantong plastik eceran di pasar
Ciputat. Selain jualan kantung plastik, aku juga menawarkan jasa membawakan
belanjaan orang. Caranya begini.
Biasanya ibu-ibu suka ribet membawa barang-barang belanjaanya. Maka aku membantu membawakan belanjaan itu.
Lumayanlah. Mereka memberi uang
sekadarnya.
Setelah masuk SMP, aku
jadi tukang parkir di depan pasar swalayan. Itu berlangsung sampai kelas dua
SMU. Setelah kelas tiga, aku berhenti gara-gara ribut dengan anak-anak geng
lain, yang juga tukang parkir. Akhirnya kedua orangtuaku mengirimku ke sekolah
di Kota Tangerang. Aku dititipkan di rumah paman. Setahun aku menumpang hidup
di rumah paman. Menyelesaikan SMU.
Karena malu menumpang
sama paman, ketika masuk kuliah aku memilih mengontrak. Aku kuliah jurusan
sastra pada sebuah universitas yang banyak pegawai negerinya. Maksudnya,
ternyata di kelasku banyak sekali orang-orang pemda! Aku sengaja mengambil
kelas malam, biar siangnya bisa cari kerjaan. Ternyata cari kerja susah! Pernah
ditawari kerja di pabrik, aku nggak kuat! Habis kerjanya lembur terus!
Sudah begitu gajinya cuma pas buat ongkos transport dan makan!
Dan ternyata narik becak
lebih lumayan. Hanya saja, gang tempatku narik nggak jauh dari kampus! Gila kan
aku?! Narik becak di dekat kampus sendiri! Uh, peduli amat sama yang namanya
malu. Semua anak kampus sudah tahu kalau aku tukang becak. Dan belum pernah kudengar
mereka menghinaku. Yang kudapat justru pujian.
“Gue salut sama elu, Han!
Gue bener-bener baru nemuin cowok kayak elu! Suwer!” puji Wulan, cewek sekampus
langganan becakku. Dia cewek yang pernah masukkin kerja di pabrik. Dia kuliah
sambil kerja di pabrik itu. Kalau dia
sih bagian sekretaris. Mungkin gajinya gede. Kalau aku waktu itu jadi buruh
kasar. Makanya aku nggak kuat!
***
photo: catatanamanda.com |
“Eh, nama abang siapa,
sih?!”
“Kalo bisa jangan panggil
abang, mbak.” Aku protes. Dan mudah-mudahan dia nggak tahu kalau aku
cemberut.
“Saya kan belum tahu nama
kamu.”
“Nama saya Subhan! Saya
biasa dipanggil Han!”
“O, gitu. Ternyata kamu
satu kampus dengan Wulan, ya?!”
“Kok, mbak tau?”
“Wulan yang cerita.”
“Wah, si Wulan!
Brengsek...!” gerutuku dalam hati.
“Kamu ngambil sastra, kan?
Mbak juga dulu sastra. Sastra Perancis.
Kamu sastra apa?!”
“Sastra Indonesia, mbak!”
“Kenapa ngambil sastra?”
“Dulu saya ingin jadi
pengarang, mbak!”
“Ingin jadi pengarang
nggak harus kuliah di sastra. Kamu suka
mengarang?”
“Ya, kadang-kadang mbak!”
“Mengarang apa?!”
“Kadang cerpen, kadang
puisi!”
“Wah, hebat kamu! Sudah
dimuat di mana saja?”“Maksud mbak?”
“Koran atau majalah apa saja yang pernah muat karangan kamu?”
“Saya belum berani mengirimkan karangan saya ke media, mbak!”
“Wah, kamu! Bagaimana mau jadi pengarang!? Mengirimkan karya saja nggak berani!!”
“Ma.....” (waduh tanjakkan!!) “...malu, mbakkk!”
“Malu?!”
“Pake tulisan tangan!”
“Ngerental aja! Rental komputer kan banyak.”
“Nggak bisa pake komputer, mbak!”
“Mesin ketik bisa?!”
“Bisa. Sedikit-sedikit!”
“Nanti deh, saya pinjemin!”
“Dah sampe, mbak!”
“O’ya. Makasih.” perempuan muda itu turun. Ia mengelurkan isi dompetnya.
“Tiga ribu, kan?!”
“Ya, mbak.”
“ Oke, nanti saya pinjemin mesin ketik. Kamu harus berani mengirimkan karya kamu ke media!”
“Ya, mbak!”
***
Seminggu kemudian aku mendapat pinjaman mesin ketik. Itu
perempuan bener-bener perhatian banget! Bayangkan, dia membawa-bawa mesin ketik
itu dari Jakarta ke Tangerang! (Ah, kadang orang baik memang selalu ada! Bang
Sanip. Perempuan muda itu!)
Tapi aku bingung,
karangan seperti apa yang akan kubuat. Tempo hari aku bohong sama dia. Selama
ini aku nggak pernah menulis karangan. Wah, susah juga ya membuat
karangan.
Setiap malam, selepas
kuliah, setelah berjam-jam berada di depan mesin ketik, aku selalu bingung
harus mengarang apa. Berlembar-lembar kertas habis keluar-masuk mesin ketik.
Hasilnya nihil!! Akhirnya aku menyerah. Biasanya aku memilih tidur saja. Capek!
***
Pagi ini, setelah
mengantar seseorang, perempuan muda berjilbab yang meminjamkan mesin ketik itu
minta diantar sampai depan kompleks. Dia menanyakan soal karanganku! Seperti
kemarin-kemarin, aku dan dia bercakap-cakap sepanjang perjalanan.
“Sudah jadi karangannya?!”
“Belum, mbak! Habis,
susah!”
“Yang gampang-gampang
aja!”
“Ternyata mengarang nggak
gampang, mbak!”
“Siapa bilang? Apanya
yang susah? Mengarang itu gampang, kok!”
“Mbak suka mengarang
juga?”
“Dulu sih. Sekarang udah
nggak. Nggak ada waktu. Habis, sekarang ini saja, sejak perusahaan nugasin saya
ke daerah ini, saya nggak punya waktu buat ngapa-ngapain.”
“Kalo saya sih waktu ada
aja. Kalo kelas lagi kosong, saya bisa
langsung pulang! Lagian, saya jarang narik malem!”
“Ngomong-ngomong, kamu
udah nyobain mesin ketiknya, kan?!”
“Setiap malem, mbak! Tapi
nggak selesai-selesai! Bingung, apa yang mesti saya karang!”
“Katanya udah biasa
mengarang?”
“Maaf mbak, waktu itu
saya bohong!”
“Anak sastra nggak bisa
mengarang malu, dong! Cerita pendek aja, dulu!”
“Iya. Saya udah nyoba
bikin cerpen! Tapi bingung, mau ngarang soal apa?!”
“Tadi saya udah bilang.
Yang gampang-gampang aja. Tentang diri sendiri aja dulu.”
“Tentang diri sendiri?!”
“Iya. Misalnya, kamu
seorang mahasiswa yang narik becak! Unik kan?!”
“Apa cerita kayak gitu
layak, mbak?!”
“Jangan mikirin layak
nggak layaknya. Bikin aja dulu, terus langsung kirim.”
“Apa yang baca nanti
percaya mbak, ada anak kuliahan yang narik becak seperti saya?!”
“Disitulah uniknya. Ya,
stop, stop! Mbak turun di sini aja! Nih, tiga ribu kan?!” perempuan muda itu
menyodorkan uangnya setelah becak yang kugenjot berhenti.
“Nggak usah bayar, mbak!
Gratis aja!”
“Eh, kok...?!”
Setelah perempuan itu
turun, aku langsung menggenjot becakku.
“Gratis, mbak! Saya mau
pulang, mau ngarang, ah!”
Perempuan muda berjilbab
itu terbengong-bengong. Aku tak peduli. Kugenjot becakku, menuju rumah
kontrakkan. Setibanya di kamar kontrakkan, langsung kubuka mesin ketik itu,
lalu memulai mengetik. Membuat karangan!
Aku tak akan bingung lagi. Aku akan menulis cerita pendek tentang diriku sendiri!
Judulnya apa, ya? Ah, gampang.
Akan kuberi judul: ‘BECAK’!***
*)Tangerang, 07 Desember 2003.
0 comments:
Posting Komentar